Travelog

Surat untuk Saudara-saudara Sepondokan

Hai, abang dan masku sekalian!

Bagaimana kabar? Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu.

Dipertemukan dengan kalian di Wisma P adalah sebuah takdir yang semesta kehendaki, menjadi bagian dari penempaan diri ini. Menjadi sosok paling muda di antara penghuni lain membuatku banyak belajar dari kalian. Menerima berbagai petuah dan nasihat soal kehidupan, pendidikan, percintaan, cita-cita, perpolitikan, dan lain-lain membuatku merasa menjadi individu paling beruntung.

Bercerita tentang kalian tentunya tidak akan pernah ada habisnya. Setiap hari selalu menjadi sebuah kejutan di masa-masa itu. Namun, sedikit bercerita tentang kalian rasanya tidak salah, bukan?

Penghuni pertama yang kukenal dan paling cepat akrab denganku adalah Bang B. Namamu aslinya bukan itu, tapi kau akrab dipanggil begitu. Bisa dibilang dirimulah ketua suku kala itu, sebab kau yang paling tua dan salah seorang penghuni Wisma P terlama. Sungkan aku waktu pertama kali diperkenalkan saudaraku kepadamu. Kau merantau jauh-jauh dari Ujung Pandang sana untuk lanjut studi di Pascasarjana Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sebagai mahasiswa baru, aku banyak dapat cerita darimu. Di tempat asalmu kau sudah menekuni diving. Dari anggota unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampusmu, dirimu pun akhirnya jadi ketua Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (FOPMI). Kau yang mengenalkanku pada kegiatan menyelam. Hampir setiap hari aku dengar cerita darimu tentang indahnya dunia bawah air dan serunya berjejaring dengan para penggiat olahraga selam. Itu yang bikin aku tertarik mengikuti jejakmu. Aku pun mendaftar masuk UKM selam di kampus sampai akhirnya jadi anggota, punya lisensi selam, dan bisa membuktikan bahwa di balik birunya air laut ternyata memang ada ekosistem warna-warni.

Sosok kedua adalah kamu, Mas S. Lulus dari Teknik Geodesi, kamu menetap di Jogja, tidak pulang ke Kalimantan, tempat asalmu. Mungkin karena leluhurmu dari Jawa. Seingatku tak sulit untuk bisa berkenalan dan mengobrol denganmu. Kau ramah dan terbuka soal banyak hal, membuat siapa saja merasa nyaman mengobrol denganmu. Tak heran kamu banyak cemceman. Dirimu adalah salah seorang guru terbaik soal asmara.

Berikutnya, sang Penghuni Gua—ya, begitulah kami memanggilmu. Kau jarang keluar, namun sekalinya keluar lama untuk kembali. A sapaan akrabmu. Lulus dari Geofisika, kau memutuskan untuk berkarier dalam dunia kata. Manusia yang menulis, membaca, dan berjalan, demikian aku mendeskripsikan sosokmu.

Kamarmu di lantai dua serta paling dekat dengan tangga utama. Kata pepatah, buku adalah jendela dunia—dan aku bisa menyaksikannya di sana. Kamarmu biasa kuhampiri untuk mengobrol dan berdiskusi. Tak jarang kamu menawarkan secangkir kopi yang kau giling sendiri. Kau pasti ingat bahwa sebelum naik, ada kata kunci yang selalu kutanyakan lewat WhatsApp: “Open, Mas?” Itu wajib, mengingat kesibukanmu membaca dan menulis—aku tak mau mengganggumu. Aroma khas tembakau tingwe menjadi identitas kamarmu. Kau sangat terbuka untuk mendiskusikan banyak hal, dari mulai filsafat, agama, politik, lingkungan, perjalanan, perkopian, pertembakauan, perkuliahan, organisasi, dan masih banyak lagi. Dari dirimu aku mengenal dunia kata. “Tulis,” katamu, “tulislah apa pun yang kau lihat, kau rasakan, kau cita-citakan, kau keluhkan.” Godaanmu membuatku melahirkan sebuah tulisan, “Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu.”

Lalu ada kamu, Mas E. Kamu kukenal dari Mas A. Kamu datang dari Makassar untuk menempuh studi di Pascasarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh. Kamu penuh canda dan kamarmu penuh makanan—makanya aku sering mampir. Darimu kumengerti betapa pentingnya pemetaan. Kamu pun dengan sabar menerangkan satu per satu soal peta dan kegunaannya. Meskipun sedang studi pascasarjana, hobimu menonton serial anime Jepang. Awalnya, kupikir apa asyiknya melihat tontonan hari Minggu yang biasa dikonsumsi anak SD itu. Namun aku salah. Beberapa kali ikut kamu menontonnya, kulihat banyak juga pesan moral yang terkandung pada tayangan itu, seperti soal kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, disiplin dalam menjalani suatu hal agar bisa jadi pemenang sejati….

Tak mungkin aku tak menyebutkan namamu, Mas D. Seingatku, waktu itu kamu penghuni paling baru. Kamu masuk Pascasarjana Teknik Industri dengan beasiswa LPDP. Kamu pendiam, pribadimu susah diungkap. Tapi pelan-pelan, setelah sekian obrolan, kita bisa menjadi kawan. Kamu adalah pribadi yang tangguh. Demi mewujudkan mimpimu untuk jadi pengajar di perguruan tinggi, kamu bekerja keras dan berkorban banyak hal, termasuk posisimu di sebuah perusahaan finance di Kalimantan. Denganmu aku sering berdiskusi soal organisasi yang kuikuti. Sabar sekali dirimu mendengarkan dan memberi arahan. Momen terakhir yang kuingat adalah ketika aku curhat soal posisiku sebagai penanggung jawab kegiatan yang kesulitan mengarahkan anggota. Masih terngiang dalam kepalaku saat kau mengutip pesan dari Ki Hajar Dewantara, bahwa seorang pemimpin harus memahami kapan harus di depan, di tengah, atau di belakang rekan setimnya.

Sampai tulisan ini dibuat, kabar terakhir yang kudapat adalah kalian terus berjuang di jalan masing-masing. Terima kasih atas kebaikan serta bimbingan kalian selama ini. Aku berharap suatu saat bisa berjumpa kembali serta mendengarkan banyak cerita dari kalian.

With love,

Haviz Maulana


Foto header: TEMPO/Subekti


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Sedang berjuang membangun otak agar berlogika.

Sedang berjuang membangun otak agar berlogika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *