Melayang di udara, pesawat kami sudah tinggal landas dari Bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul 18.00 WITA saat langit sudah tak lagi menyisakan sedikit pun semburat jingga. Pesawat ini membawa kami menuju Jogja, sebuah kota berbudaya adiluhung yang dalam banyak hal selalu menjadi barometer nasional.

Gugus-gugus lampu rumah di bawah sana menyala menciptakan pemandangan indah tiada tara, seakan-akan berupaya menyaingi gemintang di atas sana; pemandangan lazim ketika malam-malam menumpang moda transportasi udara. Tapi ada yang tak lazim kali ini; kami terbang saat wabah corona melanda.


Sebulan lalu, perjalanan ke sebuah pulau terluar di Sulawesi Selatan kami mulai. Kami tidak berpikir panjang sebelum menempuh perjalanan yang ujung-ujungnya penuh risiko ini.

Tepat 19 Februari 2020 perjalanan kami mulai. Saya dan suami berangkat bersama. Tidak ada yang berbeda, semua berjalan sewajarnya. Kami berangkat pukul 20.00 WIB dari Bandara Adisutjipto dan mendarat 01.00 WITA tanggal 20 Februari 2020.

Kegiatan di pulau bernama Kapoposang itu kami laksanakan juga tanpa halangan. Seperti kebanyakan pejalan, setelah kegiatan selesai kami berharap kembali dengan selamat ke daerah asal.

Namun, 18 Maret 2020 Indonesia mengumumkan status siaga menyusul semakin bertambahnya penduduk yang terdeteksi positif COVID-19. Saat itu, imbauan untuk stay at home sudah diberlakukan meskipun belum seketat sekarang. Penerbangan kami kembali ke Jogja adalah 23 Maret 2020 pukul 18.00 WITA. Beberapa hari sebelum berangkat pulang, kami mendapat kabar bahwa sudah ada beberapa suspek corona di Jogja. Rasanya seperti mendengar petir menyambar siang bolong musim kemarau. Waswas kami rasakan. Kami semakin waswas ketika dapat kabar tambahan; masker telah langka di Makassar dan sekitarnya.

Tanggal 22 Maret kami bergeser menuju Makassar menumpang kapal cepat BKPN Kupang. Meskipun sudah mendengar kabar sebelumnya, saya masih tak percaya ketika benar-benar mendapati bahwa masker—dan hand-sanitizer—benar-benar langka. Sejak berlabuh di dermaga POPSA, kami, ditemani Mas Syukron dan Bang Fai, berputar-putar mencari masker dan cairan pembersih tangan. Di semua Alfamart, Indomaret, dan apotek yang kami singgahi, stok kedua barang itu kosong.

Kami akhirnya memutuskan melipir dulu ke Pangkep dan menginap di rumah salah seorang teman. Malam itu saya menyerah mencari masker. Lanjut besok pagi saja. Lagipula, tempat kami menginap berada di daerah Pasar Pangkep. Rasa-rasanya benda-benda yang saya cari akan ada di sana. Jam 7 pagi WITA, keesokan harinya, saya hampiri dua apotek. Kedunya kehabisan stok masker. Salah seorang penjaga apotek bercerita bahwa masker yang dijual apotek itu diborong oleh satu orang saja.

Panik tak kunjung menemukan masker, saya memilih opsi lain, yakni mencari sarung tangan plastik di toko kue. Setidak-tidaknya, kami bisa menjaga tangan agar tetap bersih dengan sarung tangan. Terkait masker, sebenarnya saya tidak terlalu waswas; ke mana pun bepergian kami selalu membawa buff. Upaya mencari masker medis itu akibat mendapat informasi bahwa masker kain masih dapat ditembus oleh virus corona. Saya jadi sedikit paranoid.

Pagi itu saya, suami, dan Mas Syukron merapat ke sebuah kafe bernama Logos di dekat Tugu Bambu Runcing Pangkep. Kafe itu terlihat sepi. Di depannya ada sebuah kursi kayu yang di atasnya diletakkan galon kecil berisi air, sabun, dan sekotak tisu kecil. Di sekitarnya ada sebuah tong sampah. Pintu Logos ditutup setengah, seolah bimbang antara mau tutup atau buka.

Segera setelah mencuci tangan sebersih mungkin dan mengelapnya dengan tisu, kami pun segera masuk. Empunya Logos, Bang Ramez, menyambut kami dan segera saja kami mengobrol tentang corona dan betapa langkanya masker dan cairan pembersih tangan. Bang Ramez akhirnya menyarankan kami untuk memakai masker buatan Logos yang terbuat dari kain berlapis tisu.

Ketika menunggu waktu “boarding” di Bandara Sultan Hasanuddin/Annise Rohman

Kami bertolak ke bandara pukul 16.00 WITA. Masker Logos kami pakai. Tebal, pengap, dan saya merasa susah bernapas. Saya geser ke kanan dan ke kiri; tisu menempel di bibir. Kami berdebar-debar menuju bandara. Rasanya bandara tak lagi jadi tempat istimewa; bandara telah menjadi tempat yang menakutkan.

Namun, betapa terkejutnya kami setiba di bandara mendapati pemadangan yang tidak sesuai dengan bayangan. Sebagian besar orang lalu-lalang tanpa masker. Semuanya seakan berjalan seperti biasa. Aneh sekali, pikir saya. Mungkinkah ini efek kelangkaan masker? Tak ambil pusing dengan pemandangan janggal itu, saya dan suami tetap memakai masker kain Logos. Petugas yang melayani proses check-in dan mencetak boarding pass menggunakan masker serta sarung tangan karet. Di gerbang keberangkatan, para penumpang masih saja tak bermasker. Barangkali memang mereka tak kebagian masker.

Pukul 20.30 WIB kami mendarat di Bandara Adisutjipto. Saat berjalan di tarmak bandara, semua terasa biasa-biasa saja, sampai akhirnya kami diberhentikan di pintu masuk. Kami diminta berbaris kemudian petugas mengecek suhu tubuh kami dengan termometer digital yang modelnya seperti pistol. Perasaan saya tak keruan. Tapi suhu kami ternyata normal.

Kami pun bergeser ke pengambilan bagasi dan akhirnya pulang dengan menumpang taksi. Masih jam 21.00 WIB tapi jalanan daerah Maguwo tampak sepi. Mungkin karena hujan habis turun. Tapi, ini terasa tak biasa. Setiba di rumah, kami mengetahui fakta baru; gang masuk kampung sekarang ditutup jam 22.00 WIB. Biasanya, 24/7 portal tak pernah ditutup. Pembatasan gerak mulai terasa semenjak corona menyapa Jogja.


Tiga hari di rumah, tepat tanggal 26 Maret 2020 desa kami melakukan lockdown mandiri untuk 14 hari. Semua portal ditutup. Bahkan, portal yang bawahnya masih bisa dilewati pejalan kaki pun dikunci rapat, ditutupi papan dan palang kayu. Warga yang ingin pergi ke luar karena keperluan mendesak harus lewat satu pintu. Suatu kali, saat pulang belanja dari pasar, saya mesti rela disemprot disinfektan di pintu desa. Tangan saya juga disemprot cairan pembersih yang entah takarannya bagaimana. Indera penciuman saya menangkap bau pembersih lantai dan sabun. Sangat menyengat.

Menjalani “protokol” sebelum masuk kampung/Annise Rohman

Dari peristiwa itulah kami akhirnya mengarantina diri selama 14 hari—dan saat ini diperpanjang lagi selama 14 hari. Tak tahu kapan ini berakhir. Ibadah Jumat suami pun safnya sudah dijarangkan, untungnya tidak diliburkan.

Semoga wabah COVID-19 segera berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar