Bulan Apit atau bulan Dzulqadah dalam kalenderium Hijriyah menjadi momentum sebagian masyarakat Jawa untuk melakukan tradisi apitan atau sering juga disebut merti desa atau sedekah bumi. Sedekah bumi sendiri menurut Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (2018) merupakan upacara tradisi yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya sebagai rezeki, sekaligus bentuk permohonan kepada Tuhan agar hasil bumi pada periode yang akan datang berhasil dengan baik.
Tradisi sedekah bumi banyak kita temui pada masyarakat Pulau Jawa, khususnya daerah pantai utara. Umumnya, mereka berprofesi sebagai petani atau berladang yang menggantungkan hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam.
Beberapa waktu lalu, saya singgah ke Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini juga melangsungkan tradisi sedekah bumi setiap setahun sekali di bulan Apit dalam penanggalan Jawa, tepatnya pada hari pasaran Selasa Kliwon. Pemerintah desa beserta masyarakat Desa Sugihmanik menggelar tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu ini.
Prosesi Pembersihan Sendangsari
Sedekah bumi Desa Sugihmanik tahun ini jatuh pada hari Selasa, 13 Juni 2023. Masyarakat memulai tradisi dengan prosesi pembersihan telaga Sendangsari, sebuah sumber mata air peninggalan Sunan Kalijaga di desa tersebut. Prosesi membersihkan telaga dilakukan pagi hari sekitar pukul 07.00, seluruh masyarakat desa menyaksikannya.
Prosesi pembersihan telaga berlangsung unik, karena sesuai adat yang telah berlaku turun-temurun, mereka yang bertugas membersihkan telaga harus merupakan keturunan asli Desa Sugihmanik. Selain itu, saat membersihkan telaga, para petugas tidak boleh mengenakan celana dan baju, cukup mengenakan sarung saja. Di tengah pembersihan telaga, mereka juga harus menyantap ingkung bebek dan minum air tape (badeg).
Siangnya sekitar pukul 13.00, di Balai Panjang yang juga merupakan peninggalan Sunan Kalijaga, terselenggara langen tayub. Balai Panjang memiliki jejak sejarah sebagai tempat Sunan Kalijaga beristirahat (ngaso) bersama para pendherek-nya saat misi pencarian kayu sirap dan saka untuk bahan mendirikan Masjid Agung Demak. Selain menjadi balai, tempat ini berfungsi sebagai tempat musyawarah, mengajar, dan mengaji.
Sebelum dan sesudah prosesi pembersihan telaga dan pagelaran langen tayub, masyarakat melakukan doa dan makan bersama sejumlah ambengan yang telah disediakan.
Prosesi dalam tradisi sedekah bumi tersebut merupakan napak tilas jejak Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan Islam di Desa Sugihmanik, sekaligus wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan yang telah memberikan rezeki yang melimpah.
Kirab Bendhe Pusaka
Sehari sebelum prosesi pembersihan sendang, terselenggara kirab budaya. Jajaran perangkat desa dan BPD serta sejumlah elemen masyarakat terlibat. Ratusan warga pun berduyun-duyun menyaksikan kirab yang bermula di kompleks Sendangsari menuju ke Balai Desa Sugihmanik ini.
Bendhe—pusaka peninggalan Sunan Kalijaga—ikut serta dalam kirab. Bendhe dimasukkan dalam sebuah kotak berlapis kain putih dan digotong empat pemuda yang berperan sebagai manggala yudha. Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, yang memimpin rombongan ini.
Malamnya, selepas Isya, dihelat pentas wayang yang malam itu menghadirkan dalang Ki Anom Dwijo Kangko dari Surakarta. Pagelaran wayang ini menyedot antusiasme masyarakat untuk menyaksikannya. Sebelum pentas wayang, digelar prosesi penyerahan bendhe pusaka oleh Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, kepada Kepala Desa Sugihmanik, Imam Santoso. Setelahnya, dilakukan pembacaan sejarah ringkas asal-usul Desa Sugihmanik oleh tokoh masyarakat yang juga mantan kades Sugihmanik, Istiyanto.
Napak Tilas Jejak Sunan Kalijaga
Semua prosesi sedekah bumi di Desa Sugihmanik bermaksud untuk napak tilas kisah asal-usul Desa Sugihmanik, khususnya yang berkaitan dengan jejak Sunan Kalijaga dan para pendherek-nya.
Diceritakan, suatu saat, rombongan Sunan kalijaga dalam misi pencarian kayu sirap dan saka untuk pembangunan Masjid Demak sampai di suatu perkampungan pinggir hutan, yang konon perkampungan itu bernama “Matamu”. Rombongan berhenti untuk beristirahat dan melaksanakan salat.
Pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono, dalam sebuah kesempatan menceritakan kepada penulis bahwa setelah salat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan kampung Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan para santri untuk menebang pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sunan Kalijaga senang melihat genting-genting sirap itu, sehingga Sunan Kalijaga memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.
Suatu hari, Sunan Kalijaga memerintahkan para santrinya untuk membuat surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu pun berdiri. Sunan Kalijaga juga memerintahkan untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug.
Konon, kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga Sunan Kalijaga memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug dan dipasang di surau yang baru didirikan. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di Masjid Agung Demak nantinya.
Setelah surau lengkap dengan bedug dan kentongan selesai didirikan, Sunan Kalijaga masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Balai didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.
Konon ketika itu datang musim kemarau, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu agak jauh dari Balai Panjang, memohon ampun kepada Allah SWT dan memanjatkan doa agar perkampungan Matamu terhindar dari bahaya kekeringan.
Setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diperintahlah beberapa orang santri mengangkat batu besar yang tadi didudukinya. Ternyata, di bawah batu terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Di dalam telaga ada beberapa ekor ikan palung yang sedang berenang di air yang sangat jernih.
Air dalam telaga memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari telaga seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama perkampungan “Matamu” menjadi perkampungan “Sugihmanik”.
Sugih artinya kaya, manik artinya air yang berkilau bak manik-manik. Karena telaga itu berjasa menolong penduduk dari kekeringan, Sunan Kalijaga kemudian memberi nama telaga itu dengan nama “Sendang Sentono Dalem”. Sekarang lebih akrab disebut sebagai “Sendangsari” karena letaknya berada di Dusun Sendangsari, Desa Sugihmanik.
Karena suara ikan palung membuat Sunan Kalijaga dapat menemukan telaga, ia kemudian berpesan, yang intinya melarang penduduk Sugihmanik mengonsumsi ikan palung. Hingga saat ini, larangan itu ditaati oleh masyarakat Desa Sugihmanik.
Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bendhe pusaka milik Sunan Kalijaga tertinggal. Ada seorang santri berniat mengambil bendhe tersebut, tetapi dicegah oleh Sunan Kalijaga dengan berkata: ”Wis ben bendhe kuwi keri ana Kampung Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bendhe itu tertinggal di kampung Sugihmanik, karena kelak pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ucapan Sunan Kalijaga itu terbukti. Saat ini Desa Sugihmanik sangat ramai dan padat penduduknya.
Bendhe peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bendhe tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan tradisi sedekah bumi digunakanlah bendhe duplikatnya. Balai Panjang juga masih digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada, tersimpan dan terawat dengan baik hingga saat ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia