Travelog

Kenangan tentang Pulau Rote (2)

Saya bisa menebak, dengan waktu tidur yang begitu molor membuat sebagian dari kami bangun terlambat. Alhasil kegiatan yang seyogianya direncanakan pukul 07.00 WITA harus bergeser satu jam. Sekitar pukul 08.00 WITA, rombongan kami bergerak menuju tempat pelaksanaan kegiatan di hari kedua, yakni tempat pembuatan gula lontar, yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Pulau Rote.

Di Pulau Rote, keberadaan pohon lontar menjadi salah satu potensi unggulan daerah. Pohon lontar bahkan disebut sebagai pohon kehidupan karena kebermanfataannya yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat. Gula lontar, seperti gula lempeng dan gula semut, menjadi salah satu produk pangan paling banyak dihasilkan oleh masyarakat dari pemanfaatan tanaman lontar. 

Perjalanan menuju tempat produksi gula lontar membawa kami semakin jauh menyusuri keindahan alam Pulau Rote. Kian jauh, jalanan yang kami lewati kian sempit. Meski secara umum sudah beraspal, beberapa kerusakan kecil masih kami temui di beberapa titik.  

Setiap tikungan seperti membuka jendela ke pemandangan yang lebih menakjubkan dari sebelumnya. Kami merasakan getaran bus saat melewati jalan yang rusak, meski laju bus melambat, antusiasme kami tidak pudar. Di beberapa titik, bus yang kami tumpangi berhenti musabab kabel listrik yang melintang terlalu rendah dan menghalangi laju kendaraan. Kondektur bus pun segera turun, menyangga kabel dengan kayu, dan memastikan bus dapat melintas. 

Di kiri kanan jalan, mata kami disuguhkan dengan keindahan pemandangan alam yang tak tergoyahkan. Pemandangan perkebunan lontar pun mulai muncul di sepanjang perjalanan, menyambut kami perlahan. Pohon-pohon tinggi dengan daun-daun rimbun menjulang di sekitar, menciptakan bayangan sejuk yang melindungi perjalanan kami dari terik matahari. Kami juga merasakan angin yang lembut bertiup di antara pepohonan, seperti bisikan dari alam yang memberi kami semangat untuk melanjutkan perjalanan.

Tiba di Desa Daudolu
Tiba di Desa Daudolu/Oswaldus Kosfraedi

Tiba di Kantor Desa Daudolu, kepala desa dan jajarannya menyambut kami. Senyum lembut dan ramah dari penduduk setempat menyirami perjalanan kami dengan kehangatan khas Pulau Rote. Seberes berkenalan, mereka berbagi informasi tentang desa, terutama kekayaan budaya dan potensi gula lontar yang menjadi warisan berharga masyarakat setempat.

Perjumpaan itu menjadi begitu berharga. Kami mendapat penjelasan secara detail tentang peran penting gula lontar dalam kehidupan masyarakat dan ekonomi lokal, juga cerita panjang tentang bagaimana gula lontar telah lama diolah secara tradisional dan memberikan mata pencaharian bagi masyarakat Desa Daudolu. Beberapa orang pegawai kantor Desa Daudolu lalu memandu kami menuju salah satu tempat produksi gula lontar. 

Kami tiba di sana saat matahari berada tepat di atas kepala. Mama Sarce, pemilik tempat produksi gula yang kami tuju, membuka ruangnya untuk kami. Kami satu per satu menyalaminya, yang tampak anggun dalam balutan kain tenun Rote di badan. Mama Sarce lalu mengarahkan kami menuju halaman belakang rumahnya, tempat produksi gula miliknya berada.

Bangunan ini  masih sangat sederhana, dengan atap terbuat dari daun lontar, memberikan nuansa autentik yang seakan langsung menghubungkan kami dengan tradisi yang mendalam. Asap perapian mengepul di dalamnya, menciptakan pemandangan yang memikat sekaligus mengundang rasa penasaran tentang bagaimana proses pengolahan gula lontar. Tungku api tradisional di tempatkan di tengah bangunan, seolah-seolah menjadi jantung dari serangkaian proses pembuatan gula. 

Di sekitarnya, kayu-kayu tersusun rapi, menyatu dengan periuk serta wajan yang akan digunakan untuk memasar air nira. Bagian dalam bangunan tampak menghitam. Asap api telah memberi jejak yang mencolok di dinding dan langit-langit bangunan. Meskipun mungkin terlihat tua, jejak-jejak itu menggambarkan usaha dan dedikasi para pembuat gula dalam menghasilkan gula lontar yang khas. 

Di tempat produksi gula ini, kami merasa terhubung dengan sejarah dan tradisi, menyaksikan proses yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Saat kami mengamati proses pembuatan gula dan mendengarkan penjelasan Mama Sarce  dengan saksama, kami tidak hanya melihat proses pembuatan gula, tetapi juga sepenggal cerita kehidupan masyarakat di sini yang tetap menghormati dan memelihara kearifan lokal mereka.

Mama Sarce, kemudian mulai menjelaskan proses pengolahan gula lontar. Dengan nada bicaranya yang khas, beliau memulai penjelasan mengenai beberapa tahapan dalam pembuatan gula lontar, mulai dari penyadapan (pengirisan) tandan bunga mayang pohon lontar untuk mendapatkan nira segar. 

Setelah penyadapan, nira disaring, kemudian memasaknya hingga mendidih, sambil diaduk perlahan hingga mengental. Begitu tahap memasak selesai, nira yang sudah kental didinginkan hingga menjadi padat. Proses produksi kemudian dilanjutkan dengan pencetakan gula lempeng, sementara untuk proses pengolahan gula semut dilanjutkan dengan proses pengkristalan, pengayakan, dan hingga pengemasan.

Menit demi menit berlalu, secara istimewa kami diberi kesempatan mencicipi langsung hasil olahan gula lempeng dan gula semut. Rasa manis yang khas dan wangi yang unik langsung memenuhi lidah kami. “Rasanya sangat khas, dan aromanya begitu berbeda,” kata Annis, suara tanggapannya penuh kekaguman, menggambarkan betapa istimewanya pengalaman ini.

Sebelum beranjak pulang, beberapa dari kami membeli gula semut dan gula lempeng buatan Mama Sarce. Kata mereka, sebagai oleh-oleh yang akan membawa potongan kisah manis Pulau Rote ketika kembali ke daerah asal masing-masing. 

  • Pembuatan gula lontar
  • Foto bersama di depan lokasi pembuatan gula lontar

Beres mengunjungi produksi gula di Desa Daudolu, kami melesat menuju Pantai Nemberala, salah satu spot wisata unggulan Pulau Rote yang terkenal dengan pesona baharinya. Ombak Pantai Nemberala telah lama menjadi magnet bagi para wisatawan pecinta surfing. Selain itu, dari penjelasan beberapa wisatawan lokal yang saya temui, pantai Nemberala juga menawarkan keindahan bawah laut yang tak kalah memukau.

Musabab cuaca, sore hari itu kami bahkan tidak sempat menyaksikan secara langsung sunset di Nemberala. Namun, Nemberala dengan keindahan dan ketenangan alamnya tetap saja membuat kami merasa bahagia dapat melabuhkan kaki di sana. Kami berbagi tawa satu sama lain di sana dan larut dalam kebersamaan yang sepertinya tak akan terulang untuk kedua kalinya.

Sembari menikmati suasana sore itu, saya berbincang dengan beberapa petani rumput laut yang tengah beraktivitas di pinggir pantai. Sesekali saya menyapa wisatawan asing. Konyolnya, basa-basi saya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata malah ditanggapi dengan jawaban bahasa Indonesia yang terdengar cukup fasih. “Banyak bule yang sudah lama menetap di sini, kebanyakan orang Australia,” jelas seorang warga lokal yang duduk tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya mengangguk paham.   

Pantai Nemberala
Pantai Nemberala/Oswaldus Kosfraedi

Gerimis menghias Minggu pagi kami di Pulau Rote. Ada rasa tak rela ketika menyadari kami harus kembali ke Kupang hari ini. Siang nanti, sesuai jadwal kapal, kami akan meninggalkan pulau yang benar-benar menciptakan efek kagum pada kunjungan pertama ini.

Pagi itu, Pak Thom tiba-tiba menawari kami untuk berangkat ke kolam pemandian Oemau yang terletak tak terlalu jauh dari tempat penginapan. Tak menunggu lama, kami menyetujui tawaran Pak Thom. Paling tidak ini akan menjadi kenangan terakhir sebelum kembali ke Kupang. 

Kolam Oemau menyajikan sumber mata air alami, tampak begitu jernih dengan rimbun pepohonan yang mengelilinginya. Kami lantas melompat dan menikmati kesegaran air Oemau pagi itu. Uniknya lagi, kolam ini dipenuhi ikan-ikan kecil yang siap menggerogoti kaki.

Menjelang siang, kami pamit pada pengelola penginapan. Tak disangka, meski hanya tiga hari di sini, meninggalkan Pulau Rote ternyata menjadi momen haru yang bahkan membuat beberapa dari kami menitikkan air mata. Pesona dan “rasa” pulau ini dan banyak hal yang kami temui di dalamnya telah memberi warna dalam perjalanan kami. 

Pulau Rote bagi kami juga adalah ruang jumpa dengan orang-orang baik, yang dengan segala keramahannya menerima kami dengan penuh penuh ketulusan hati. Pengalaman ini, segala kebersamaan di dalamnya telah dan akan selalu menjelma menjadi kepingan cerita yang istimewa.   

Pukul 14.00 WITA, seiring kapal yang meninggalkan Pelabuhan Pantai Baru, kami benar-benar mengucap salam perpisahan dengan Pulau Rote dengan segala pengalaman baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *