Pande besi adalah keterampilan membentuk besi menjadi perkakas tajam seperti pisau, sabit, cangkul, golok, keris, dan lain sebagainya. Di sejumlah kecamatan di Kabupaten Grobogan, tepatnya di Kampung Pandean, dulunya terdapat aktivitas pande besi. Hanya saja, dalam perkembangannya, Pandean tinggal nama, karena aktivitas pande besi di sana sudah tidak ada lagi.
Namun di Kabupaten Grobogan pula, terdapat sebuah kampung yang dijuluki “Kampung Sentra Pande Besi” yang mana sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pande besi. Kampung tersebut berada di Dusun Tahunan yang secara administratif termasuk bagian dari wilayah Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Saat berkesempatan melawat ke Dusun Tahunan pada Sabtu, 23 September 2023, saya mendapatkan data bahwa di Dusun Tahunan ada lebih dari 300 warga yang berprofesi sebagai pande besi. Kemahiran menempa besi menjadi alat-alat dapur dan pertanian seperti pisau, sabit, berang, bendo, golok, cangkul, dan lainnya itu, merupakan warisan budaya dari leluhur mereka, yang diwariskan dari generasi ke generasi, sejak ratusan tahun lampau.
Jejak Pangeran Penatas Angin
Warisan kebudayaan tersebut semakin kukuh dengan jejak tokoh masa lalu yang mewarnai sejarah desa. Adalah Pangeran Penatas Angin dan Empu Supo, dua sosok historis yang selalu disebut ketika membincang asal-usul Dusun Tahunan berikut kemahiran warganya dalam menempa besi. Lalu, siapakah Pangeran Penatas Angin?
Ustaz Saiful Anam, tokoh agama Dusun Tahunan, menceritakan kepada saya riwayat ringkas Pangeran Penatas Angin. Menurutnya, Pangeran Penatas Angin adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa di Makassar. Nama aslinya Daeng Mangemba Nattisoang. Dijuluki Pangeran Penatas Angin karena kemampuan navigasi yang hebat alias memiliki “kesaktian” menghalau angin sehingga mampu menyelamatkan kapal yang ditumpanginya dari amukan badai di tengah lautan.
Singkat cerita, menurut Mas Saiful—demikian saya menyapanya, suatu ketika Pangeran Penatas Angin memutuskan hijrah ke Demak untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah bertemu dan mampu melewati “ujian” yang diberikan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Pangeran Penatas Angin pun akhirnya diterima menjadi murid resmi Sunan Kalijaga. Ia kemudian diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk mengabdi di Kesultanan Demak sebagai salah seorang senapati.
Bertahun-tahun kemudian, saat terjadi kemelut perebutan takhta Kesultanan Demak, Pangeran Penatas Angin memilih menyepi atau uzlah ke sebuah tempat yang kelak disebut “Dusun Tahunan”. Menurut Mas Saiful, nama “Tahunan” berasal dari kata “tahun”, yaitu dari rentang waktu uzlah Pangeran Penatas Angin yang hingga bertahun-tahun lamanya. Di tempat ini, Pangeran Penatas Angin membenamkan diri dalam kekhusukan ibadah dan mengembangkan syiar Islam.
Menurut riwayat, Pangeran Penatas Angin berada di Dusun Tahunan hingga akhir hayatnya selama kurang lebih 17 tahun. Makamnya berada di kompleks Makam Gedong yang berada di Dusun Tahunan. Di kompleks pemakaman ini pula terdapat sejumlah makam tokoh besar lainnya, salah satunya adalah makam Syekh Kafrawi Pangeran Kusuma Yudha yang merupakan murid kinasih Pangeran Penatas Angin atau yang kemudian populer dengan sebutan Syekh Maulana Penatas Angin.
Jejak Empu Supo
Selain Pangeran Penatas Angin, sosok historis lain yang selalu disebut saat membincang sejarah Dusun Tahunan, terutama terkait dengan kemahiran warganya dalam membuat alat-alat dapur dan pertanian, adalah sosok bernama Empu Supo.
Empu Supo sendiri adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga—salah seorang anggota Korp Dakwah Walisongo. Selain murid, Empu Supo juga berstatus ipar Kanjeng Sunan Kalijaga, karena dalam riwayat, Empu Supo disebutkan menikah dengan Dewi Rasawulan—adik kandung Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam buku-buku historiografi Jawa disebutkan, Empu Supo masyhur sebagai seorang empu yang mahir membuat keris pusaka.
Meski tak ada sumber primer yang bisa dirujuk, namun menurut Mas Saiful, cerita tutur turun-temurun menyebutkan bahwa sosok Empu Supo pernah singgah di Dusun Tahunan, sehingga hal itu selalu dikaitkan dengan warisan kemahiran masyarakat Dusun Tahunan dalam menempa besi dan memproduksi alat-alat dapur dan pertanian.
Potret Pande Besi Dusun Tahunan
Setelah berziarah ke Makam Syekh Maulana Penatas Angin dan mendapatkan cerita tentang riwayat Syekh Maulana Penatas Angin dan Empu Supo, saya berkesempatan berkunjung ke kediaman salah satu sesepuh Dusun Tahunan sekaligus seorang pande besi senior di Dusun Tahunan bernama Wargono. Mbah Wargo—begitu kemudian saya menyapanya, termasuk pelaku pande besi senior di Dusun Tahunan yang berusia 71 tahun.
Sebelum kemudian kami terlibat dalam perbincangan, saya telah terlebih dahulu berkesempatan menyaksikan langsung kepiawaian Mbah Wargo dalam menempa besi untuk dibuat produk perkakas tajam. Di usianya yang ke 71 tahun, Mbah Wargo masih gesit dalam menempa besi.
Dari Mbah Wargono saya mendapatkan informasi ikhwal prototipe, model, atau istilahnya disebut wangun alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan. Misalnya ada model sabit yang disebut dengan istilah ngembang turi sumba keplayu. Ada juga sabit atau arit dengan model nggagang terong ngembang turi tuwa. Ada pula model sabit mbatuk banyak semar ndodok yang biasanya berfungsi untuk merajang tembakau. Selain itu, ada juga sabit untuk merajang tembakau dengan model tikus mogok.
Cangkul atau pacul produksi pande besi Dusun Tahunan juga punya model tersendiri yang khas, yaitu yang disebut dengan istilah pacul krenyeh dan pacul terek. Pacul krenyeh memiliki ciri leburan baja cor anti lengket di dekat mata pacul. Baja cor di dekat mata pacul itu juga berfungsi menambah kekuatan sehingga pacul tidak gampang mleyot. Adapun pacul terek adalah pacul yang mata paculnya disambung dengan baja dengan tujuan menambah ketajaman.
Secara umum disebutkan, produk-produk alat dapur dan pertanian di Dusun Tahunan lazim disebut dengan istilah isen (isian), yaitu sebuah teknik pembuatan alat dapur dan pertanian dengan memadukan baja kualitas tinggi yang dilebur dengan besi konvensional, sehingga menghasilkan produk berkualitas tinggi dari segi fungsi dan estetika. Produknya juga mudah diasah dan awet tajam.
Mitos Larangan Membuat Bilah Pamor
Di tengah ratusan warga Dusun Tahunan yang hingga saat ini menekuni profesi sebagai pande besi, terdapat sebuah mitos yang hingga saat ini masih dipercaya oleh sebagian besar penduduk Dusun Tahunan, yaitu mitos larangan membuat bilah pamor, seperti pisau dan keris yang berpamor. Bila melanggar larangan itu, maka berkonsekuensi bisa membawa musibah dan malapetaka dalam kehidupan pembuatnya, termasuk kematian tragis.
Menurut Mas Saiful, larangan itu menemukan konteksnya dan dapat dimaknai sebagai ekspresi kearifan leluhur Dusun Tahunan agar masyarakat Dusun Tahunan tidak terjebak dalam produksi senjata yang berguna untuk membunuh, yang bisa mengantarkan masyarakat Dusun Tahunan masuk ke dalam pusaran konflik dan peperangan yang masih sering berkecamuk ketika itu. Menurutnya, mitos itu perlu disikapi secara kritis, sehingga larangan itu tidak diterima begitu saja tanpa reserve.
Meski sebagian besar masyarakat Dusun Tahunan masih memegang erat mitos itu, namun saat ini ada saja warga Dusun Tahunan yang berupaya mendobrak mitos tersebut. Salah satunya adalah Farid Muhammad Fadhila, salah seorang empu termuda Dusun Tahunan, yang saat ini justru menekuni bilah pamor berupa pisau dan keris berpamor.
Saat berbincang santai dengan saya, Farid—demikian ia biasa disapa—mengaku tidak takut dengan mitos yang melarang warga Dusun Tahunan membuat bilah pamor. Menurutnya, hal itu hanya mitos belaka yang tidak benar. Sedangkan motif dirinya menekuni pembuatan pisau atau keris berpamor adalah dalam rangka melestarikan warisan budaya leluhur Indonesia.
Membuat bilah pamor, menurut Farid, selain mengandung nilai seni tinggi, juga mendongkrak nilai jual produk yang dibuatnya. Di pasaran, produk bilah pamor buatan Farid dihargai Rp1 juta hingga Rp5 juta per pcs. Farid sendiri sudah mulai belajar pande besi sejak Kelas 6 SD. Lalu fokus menekuni bilah pamor sejak duduk di kelas 2 SMK. Farid adalah cucu Mbah Wargo. Ayah Farid—menantu Mbah Wargo—juga seorang pelaku pande besi.
Menuju Desa Wisata Berbasis Sejarah dan Budaya
Dengan segenap potensi yang dimiliki Dusun Tahunan, kampung ini memiliki daya tarik yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata desa berbasis sejarah, budaya, dan edukasi. Saat bersua dengan Sumarno, Kepala Desa Putatsari, di kantornya, saya mendapatkan master plan terkait pengembangan desa wisata di kampung yang dipimpinnya itu. Gagasan mengembangkan wisata desa itu, saat ini on progress. Secara bertahap sedang dalam proses eksekusi.
Kepada saya, Pak Marno menyampaikan tiga elemen pengembangan Desa Wisata Putatsari, meliputi pertama; wisata sejarah karena di kampung ini terdapat makam sosok-sosok penting dalam sejarah. Selain makam Pangeran Penatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin, juga ada makam tokoh-tokoh lainnya seperti Syekh Kafrawi Pangeran Kusuma Yudha, Pangeran Delimas, Pangeran Sosro Kusuma Atmaja, dan lainnya.
Kedua; 300-an lebih warga Dusun Tahunan yang berprofesi sebagai pande besi bisa menjadi potensi atraksi wisata desa berbasis budaya yang cukup magnetis. Nantinya, wisatawan bisa melihat geliat aksi warga dalam menempa besi, membuat alat-alat dapur dan pertanian.
Ketiga; wisata edukasi dengan membuat museum yang berisi narasi jejak sejarah Dusun Tahunan sebagai kampung sentra pande besi dan display pelbagai model alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan.
Menurut Pak Marno, dirinya sudah menyiapkan lahan untuk pendirian museum dan saat ini sudah dalam tahap pembuatan fondasi. Ia berharap, wisata desa dapat segera terealisasi dan nantinya dapat menjadikan perekonomian warga yang dipimpinnya bisa meningkat tajam.
Sehari di Dusun Tahunan sungguh banyak hal baru yang saya jumpai dan dapatkan. Tentang sejarah, juga tentang warisan budaya yang berhasil dilestarikan oleh masyarakat pewarisnya. Dusun Tahunan adalah potret kampung sentra pandai besi yang sangat magnetis.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia