Itinerary

Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1)

Menyebut Demak, maka yang terlintas adalah wisata religinya. Sulit menyebut wisata lainnya di Kota Wali itu selain wisata religi yang berupa makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak. Kedua destinasi wisata itulah yang paling masyhur di Demak. Wisatawan—atau lazim disebut peziarah, datang dari berbagai daerah di seantero Indonesia, terutama dari Jawa dan Madura.  

Di Demak sendiri, Makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak menjadi semacam “paket wisata” yang tak terpisahkan. Bila ke Demak, para peziarah hampir bisa dipastikan melawat ke keduanya. Apalagi dari sisi jarak tidak terlalu jauh alias sangat dekat, dan dari sisi historis saling berkelindan erat.

Makam Sunan Kalijaga terletak di Kelurahan Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak.  Hampir setiap hari dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Apalagi di bulan-bulan tertentu seperti Rajab, Syakban, dan Muharram, makam Sunan Kalijaga hampir selalu disesaki oleh para peziarah. 

Ramainya peziarah tak bisa dipisahkan dari sosok Sunan Kalijaga sebagai salah satu anggota majelis dakwah walisongo yang fenomenal. Sosok Sunan Kalijaga menjadi daya pikat paling magnetis bagi para peziarah untuk mengunjungi makamnya. 

  • Makam Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Mengenal Sosok Sunan Kalijaga

Siapakah Sunan Kalijaga? Dibanding dengan wali yang lain di majelis dakwah Walisongo, nama Sunan Kalijaga boleh dibilang paling fenomenal. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid—putra dari Ki Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. 

Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menulis, di antara wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pemimpin, pejuang, muballigh, pujangga, dan filsuf. Daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena beliau adalah terhitung seorang reizende muballigh (mubalig keliling). Jikalau beliau bertablig, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.

Sementara Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2017) menulis, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Walisongo yang mengembangkan dakwah Islam melalui seni dan budaya. Sunan Kalijaga termasyhur sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang, melainkan dikenal pula sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang dimasuki ajaran Islam. Melalui pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali pelindung Jawa.

Dari cerita legenda yang masyhur, nama Kalijaga yang disematkan kepadanya konon bermula dari perintah gurunya—Sunan Bonang, untuk bertapa di pinggir sebuah sungai. Lamanya bertapa hingga semak belukar tumbuh dan merambati badannya. Dari situlah, kemudian beliau disebut Kalijaga yang artinya “menjaga kali atau sungai”.

Namun ada pula yang berpendapat beda—dan relatif lebih logis. Menurut pendapat ini, nama Kalijaga hanyalah simbolisme dan bukan makna yang sebenarnya. Nama Kalijaga berasal dari kata kali yang berarti sungai atau air yang mengalir, dan kata jaga yang berarti menjaga. Jadi, Kalijaga berarti “penjaga sungai atau aliran air” yang dimaknai sebagai “penjaga aliran kepercayaan—yang hidup di masyarakat”. 

Masjid Sunan Kalijaga
Masjid Sunan Kalijaga di kadilangu Demak, diperkirakan tahun 1910 via universiteitleiden.nl

Realitanya, seperti dinyatakan oleh Umar Hasyim dalam buku Sunan Kalijaga (1982), sebagai seorang mubalig, Sunan Kalijaga tidak menunjukkan sikap antipati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tetapi dengan kebijaksanaan, aliran-aliran kepercayaan yang hidup dalam masyarakat itu, dihadapi atau digauli dengan sikap penuh rasa toleransi yang tinggi.

Dalam cerita disebutkan, Sunan Kalijaga-lah satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan dan aliran kepercayaan yang hidup di kalangan rakyat. Sehingga pelbagai strategi dakwahnya dikenal paling “membumi”, antara lain melalui sarana seni dan budaya.

Meski begitu fenomenal, namun tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, kecuali diyakini jasadnya dikebumikan di Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak—kira-kira berjarak tiga kilometer dari Masjid Agung Demak. 

Sejumlah sumber menyebutkan, Sunan Kalijaga termasuk berusia lanjut. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir tahun 1440-an. Dalam masa hidupnya, beliau mengalami empat kali masa pemerintahan, yakni zaman akhir Kerajaan Majapahit tahun 1478, zaman Kesultanan Demak 1478-1546, Kesultanan Pajang 1560-1580, dan awal Mataram Islam.

Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, Sunan Kalijaga pernah datang di Mataram saat Panembahan Senopati telah mengangkat dirinya menjadi sultan. Kalau informasi ini benar, berarti usia Sunan Kalijaga mencapai sekitar 140 tahun.  

  • Masjid Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Berziarah ke Makam Sunan Kalijaga

Sebenarnya, terdapat dua versi makam Sunan Kalijaga. Makam pertama terletak di Kelurahan Kadilangu, Demak—sebagaimana yang sudah masyhur; dan yang kedua adalah di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori, Tuban. Klaim makam Sunan Kalijaga di Tuban merupakan pendapat dari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur—presiden ke-4 RI—berdasarkan firasat yang diperolehnya.

Terlepas dari mana yang lebih valid dari kedua versi itu, yang pasti, versi makam Sunan Kalijaga di Kadilangu lebih masyhur dan paling banyak dikunjungi para peziarah hingga kini. Selain itu, laman resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah juga menyebut lokasi yang diyakini sebagai makam Sunan Kalijaga ada di Kadilangu Demak.

Di Kadilangu, apabila kita masuk lewat gerbang utama menuju kompleks Makam Sunan Kalijaga, maka kita akan memasuki lorong beratap rapi sepanjang sekira 160 meter yang di kanan kirinya dipenuhi kios pedagang. Gerbang utama itu sendiri terletak di sisi selatan masjid atau dekat kolam Segaran peninggalan Sunan Kalijaga.

Di kios-kios yang terdapat di lorong menuju makam, dijual aneka oleh-oleh dan buat tangan seperti kaos bertuliskan Sunan Kalijaga, aneka tasbih, peci, baju koko, blangkon, mainan anak, serta berbagai kuliner sebagai oleh-oleh, baik yang khas Demak atau pun khas daerah sekitarnya.

Begitu memasuki kompleks makam, kita akan mendapati berbagai pusara tokoh-tokoh yang terkenal dalam cerita seputar Walisongo seperti makam Pangeran Haryo Penangsang, Empu Supo, dan lain sebagainya. 

Masjid Sunan Kalijaga
Selo atau batu tempat duduk Sunan Kalijaga saat memberi wejangan kepada para muridnya/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelum sampai ke lokasi makam Sunan Kalijaga, kita juga akan menjumpai sebuah batu yang dikelilingi tembok pendek. Keterangan yang ada menyebutkan bahwa batu itu merupakan Selo Palenggahanipun Kanjeng Sunan Kalijaga. Artinya selo atau batu yang dulu digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai tempat duduk, yaitu saat memberi taushiyah atau wejangan kepada para muridnya.

Adapun makam Sunan Kalijaga, sebagaimana makam Walisongo pada umumnya, berada dalam bangunan tungkup berdinding tembok dengan hiasan dinding terbuat dari kayu berukir. Di sekeliling makam itulah para peziarah melantunkan serangkaian dzikir dan doa.

Di sisi utara makam yang sekaligus jalur keluar yang dilewati, terdapat gentong peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut informasi, terdapat dua gentong peninggalan Sunan Kalijaga, yakni padasan (tempat air wudlu) dan pedaringan (tempat menyimpan beras). Di dua gentong itu diisi air yang kemudian dituangkan dalam gelas-gelas sebagai minum para peziarah.

Airnya diambil dari sungai yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi makam, kemudian diendapkan di bak penampungan, lalu disalurkan ke dalam gentong lewat mesin filter untuk disterilisasi agar layak minum.

Masjid Peninggalan Sunan Kalijaga

Bila kita berziarah ke makam Sunan Kalijaga, kita juga akan mendapati masjid peninggalannya. Letak masjid berada di sisi timur kompleks Makam Sunan Kalijaga. Menurut cerita, dulunya masjid ini dibangun oleh Sunan Kalijaga dalam bentuk langgar (musala). Sayangnya, tak diketahui pasti kapan Sunan Kalijaga mendirikannya. Yang jelas, Sunan Kalijaga membangun langgar sebelum Masjid Agung Demak berdiri. Bahkan menurut cerita, corak bangunan Masjid Agung Demak diilhami oleh bangunan langgar yang didirikan oleh Sunan Kalijaga.

Secara arsitektur, bangunan awal Langgar Sunan Kalijaga memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Demak. Bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan bersusun tiga yang melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Gentingnya terbuat dari kepingan kayu jati (sirap) dan memiliki empat saka guru (tiang penyangga utama bangunan) yang terbuat dari kayu jati pilihan.

Langgar Sunan Kalijaga mengalami perluasan dan pengembangan menjadi masjid karena tuntutan jumlah jemaah yang semakin banyak. Pengembangan dilakukan di masa Pangeran Wijil—putra Sunan Kalijaga. Entah Pangeran Wijil yang mana, tak ada data yang bisa dirujuk. Hanya saja, dari prasasti yang tersimpan di masjid, diketahui bahwa Masjid Sunan Kalijaga direnovasi pertama kali pada tahun 1564 M oleh Pangeran Wijil.

Sumur Jolotundo
Sumur Jolotundo, sumur keramat peninggalan Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Lalu pada tahun 1970, dilakukan renovasi besar-besaran. Bangunan induk yang aslinya berukuran 10 x 16 m mengalami perluasan dengan tetap mempertahankan saka guru atau tiang penyangga utama masjid. Dan pada tahun 1990, kembali dilakukan pembangunan fisik meliputi pembangunan tempat salat dan tempat wudhu perempuan yang dibuat terpisah dengan pria.

Selain masjid, jejak historis lainnya yang dapat kita jumpai saat berziarah ke makam Sunan Kalijaga adalah sebuah situs peninggalan Sunan Kalijaga berupa sumur keramat yang disebut dengan nama Sumur Jolotundo. Terletak sekira 200 meter di timur kompleks Makam Sunan Kalijaga atau timur Masjid Sunan Kalijaga. Hingga sekarang, air di sumur itu dipakai oleh warga dan peziarah untuk berbagai keperluan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Nasi Kropokhan, Warisan Kuliner Kesultanan Demak