Travelog

Singgah ke Masjid Tiban

Bulan Ramadan adalah bulan suci bagi umat muslim di seluruh dunia. Penganut agama Islam akan berlomba-lomba menambah frekuensi beribadat kepada Tuhan. Bersimpuh kepada Sang Maha Pencipta biasanya dilakukan di rumah ataupun di masjid. Lalu bagaimana jadinya jika niat peribadatan dibarengi dengan berwisata? Bisa, wisata religi jawabannya. 

Kekhusyukan doa yang dipanjatkan pada bulan ini, mengingatkan saya akan kunjungan ke sebuah masjid di Kabupaten Malang, Masjid Tiban. Masjid yang menjulang tinggi di antara pemukiman rumah warga nampak kontras dengan rangkaian arsitektur khas Timur Tengah. Dominasi warna biru dan putih mampu membuat nilai kemewahannya meningkat.

Masjid yang terletak di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang ini tidak hanya sebuah masjid yang umum ditemui. Cerita dari mulut ke mulut terkait unsur mistis mengiringi kemegahan bangunannya. Hal inilah yang mampu menarik minat jamaah sekaligus wisatawan untuk singgah.

Pintu Masuk Masjid Tiban
Pintu masuk Masjid Tiban/Melynda Dwi

Kisah pembangunan satu malam

Bukan hanya Candi Prambanan dengan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang-nya. Ataupun Dayang Sumbi dan Sangkuriang pada Tangkuban Perahu saja. Pembangunan Masjid Tiban disebut-sebut masyarakat setempat telah dikendalikan oleh jin.

Äh, karena kepercayaan inilah yang menjadikan saya terbawa suasana. Bagaimana tidak, saat melangkahkan kaki menuju pintu masuk. Saya begitu terpedaya dengan cerita tersebut tatkala melihat menara masjid. Kemewahan yang dibalut nuansa mistis sangat kental menggelayuti pikiran.

Kata ‘tiban’ dalam Bahasa Jawa berarti sesuatu yang muncul secara tiba-tiba atau timbul dengan tidak diduga. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya isu di masyarakat bahwa kemunculan Masjid Tiban adalah mendadak tanpa perencanaan. Karena ini juga yang menyebabkan masyarakat dari luar kota berbondong-bondong mengunjungi Masjid Tiban untuk membuktikannya. Sehingga masjid ini tidak pernah terlihat sepi pengunjung.

Pembangunan Masjid Tiban
Pembangunan Masjid Tiban /Melynda Dwi

Nyatanya hal ini hanyalah mitos belaka yang entah dari mana asalnya cerita ini bermula. Isu masjid yang mendadak jadi dan tanpa ada proses pembangunan sudah terbantahkan. Masjid Tiban telah dibangun sejak tahun 1968 hingga 1978. Dan pembangunan masjid ini sebenarnya masih terus dilakukan hingga saat ini dengan tujuan semakin memperindah.

Pembangunan masjid yang berada satu kompleks dengan Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Bihaaru Bahri’ Asali Fadlaailir Rahmah, dipimpin oleh Kiai Haji Ahmad Baru. Beliau adalah pengasuh ponpes sekaligus sebagai pengarah bagi para santri dalam kegiatan pembangunan. Namun ada hal unik dari aktivitas pembangunannya, karena beliau tidak menggunakan jasa arsitek. Penentuan ukuran, pemilihan warna dan penggunaan hiasan dilakukan melalui proses salat istikharah. Petunjuk yang diperoleh dari salat istikharah ini yang mampu menghasilkan keindahan masjid yang saat ini ada di depan saya ini.

Tujuan pendirian Masjid Tiban digadang-gadang sebagai obat atau penyejuk hati umat Islam terutama para santri. Tidak ada jumlah pasti besaran dana yang telah dikeluarkan, tetapi kira-kira telah mencapai angka 800 miliar.

Masjid Tiban begitu identik dengan banyaknya menara yang terpajang. Dari pintu masuk saja, pengunjung akan disajikan menara berbentuk persegi panjang dengan dua kubah tersusun vertikal. Selanjutnya pengunjung akan menemui bangunan mengerucut berwarna jingga sebagai pos penjagaan. Kubah terbesar berada di puncak masjid, yang disebut sebagai gunungan. Tidak ada tarif masuk yang dikenakan, tetapi sumbangan dari penjuru negeri sudah mampu menyukseskan pembangunannya.

Ada “pasar” di dalam masjid

Seperti ketika memasuki kawasan masjid pada umumnya, jamaah diwajibkan melepaskan alas kaki. Dengan luas yang sangat besar, saya merasa tidak Seperti ketika memasuki kawasan masjid pada umumnya, jamaah diwajibkan melepaskan alas kaki. Dengan luas yang sangat besar, saya merasa tidak berkunjung ke sebuah masjid. Namun serasa sedang mengelilingi perumahan.

Satu hal yang membuat saya berkesan, yaitu saat bertualang tanpa menggunakan sandal. Setiap orang terlihat setara, tidak memandang harta dan tahta, semuanya sama di hadapan Tuhan. Layaknya abdi dalem pada suatu kerajaan, jamaah tak beralas kaki seakan hidup hanya untuk mengabdikan diri kepada-Nya.

Suasana dalam Masjid
Suasana dalam Masjid TIban/Melynda Dwi

Selain kata megah yang mampu menggambarkan Masjid Tiban, kata luas juga pantas disematkan untuknya. Masjid Tiban berdiri di kompleks ponpes dengan luas sekitar 6,5 hektare. Padanan ornamen mosaik keramik Turki, India, Mesir, Spanyol hingga Rusia menambah nilai estetika.

Ukirannya sangat rapi, saat saya menyentuhnya begitu terasa halus. Karena hampir keseluruhan permukaan bangunan berlapiskan keramik, suasana sejuk nan dingin akan menembus kulit. Bangunan masjidnya pun terdiri dari 10 lantai dan konon katanya tidak ada yang tahu jumlah pasti keseluruhan ruangan yang mencapai ratusan itu. 

Saat berwisata religi, tidak lengkap rasanya jika melewatkan satu hal, yaitu berbelanja. Seperti pada Sunan Bonang di Tuban atau Sunan Drajat di Lamongan, selalu ada pasar di luar areal makam bagi pengunjung yang ingin berburu oleh-oleh. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju pintu masuk Masjid Tiban, berjejer pedagang mulai dari makanan hingga pakaian.

Namun ada satu hal yang menurut saya unik di Masjid Tiban ini. Di dalam masjid, tepatnya di lantai 5 difungsikan sebagai kawasan pertokoan. Iya, jadi pengunjung berbelanja di dalam masjid. Barang-barang yang dijual juga beragam, mulai dari tasbih hingga jenang. Karena saya baru tahu ada pasar di dalam masjid, yang hanya ada di Masjid Tiban ini.

Mungkin ada masjid yang lain?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.

Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Makam Nyatok: Makam yang Hanya Bisa Dikunjungi pada Hari Rabu