Setelah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, maka Masjid Agung Demak adalah destinasi lawatan selanjutnya yang tak boleh dilewatkan. Jaraknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Hanya sekitar tiga kilometer saja.
Masjid Agung Demak merupakan masjid bersejarah yang didirikan oleh Walisongo sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Kini menjadi wisata religi ikonik di Demak yang banyak menyedot peziarah dari berbagai penjuru daerah.
Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Letaknya persis di barat Alun-alun Kota Kabupaten Demak. Masjid Agung Demak termasuk masjid tertua di Indonesia yang didirikan oleh Walisongo.
Kapan Masjid Agung Demak didirikan? Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menyebutkan, setengah riwayat mengatakan bahwa masjid wali yang bersejarah itu didirikan pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 1 Dzulqaidah tahun Jawa 1428.
Akan tetapi di samping itu ada pula yang berpendapat lain mengenai tahun berdirinya Masjid Agung Demak, di antaranya pendapat yang menyatakan bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun Saka 1401, berdasarkan gambar bulus (kura-kura) yang terdapat di dalam pengimaman masjid. Gambar bulus diartikan: kepala bulus berarti angka satu (1); kaki 4 berarti angka empat (4); badan bulus berarti angka nol (0); dan ekor bulus berarti angka satu (1).
Biarlah soal kapan persisnya Masjid Agung Demak didirikan oleh Walisongo menjadi domain dan perdebatan para sejarawan. Yang jelas, Masjid Agung Demak didirikan pada sekitar abad ke-15 di masa Raden Patah—raja pertama dari Kesultanan Demak.
Masjid ini memiliki keunikan yang dilekatkan dengan eksistensi Walisongo. Dalam buku 100 Masjid Terindah Indonesia yang diterbitkan oleh PT Andalan Media (2011), Masjid Agung Demak masuk di dalamnya.
Disebutkan dalam buku tersebut, bangunan Masjid Agung Demak kemungkinan merupakan tonggak arsitektur yang menjadi ciri khas bangunan masjid Nusantara, yakni atap limas bersusun tiga layaknya atap rumah joglo dan bentuk ruangan yang mirip pendopo jika dilihat dari luar.
Disebutkan pula, sesuai dengan waktu pembangunannya, material kayu mendominasi bangunan masjid. Dengan dihiasi oleh ukiran-ukiran indah, kayu-kayu tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati secara visual. Selain bangunan masjid yang indah, berikut ini beberapa fakta historis jejak Walisongo yang dapat kita lihat dan telusuri saat melawat ke Masjid Agung Demak:
Arsitektur Bangunan yang Tidak Berubah Sejak Didirikan
Salah satu keunikan dari Masjid Agung Demak adalah corak arsitektur bangunannya yang tidak mengalami perubahan signifikan sejak didirikan hingga sekarang. Bangunan masjid ini, sebagaimana masjid lainnya, terbagi dalam dua bagian yakni bagian bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Adapun bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Sedang atap masjidnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut saka majapahit. Atap limas masjid terdiri dari tiga bagian yang konon menggambarkan: iman, Islam, dan ihsan.
Perhatikan foto-foto yang dikutip dari situs Collectie Nederland dan Wikipedia di atas. Dari waktu ke waktu hingga sekarang, corak arsitektur Masjid Agung Demak tidak mengalami perubahan signifikan. Hanya pada tahun 1932, tepatnya pada hari Selasa Pon, 2 Agustus, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan menara masjid.
Letak menara berada di halaman depan sisi selatan Masjid Agung Demak. Konstruksinya terbuat dari baja siku, kaki menara berukuran 4 x 4 meter serta tinggi 22 meter. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta lengkungan-lengkungan yang ada pada dindingnya.
Dalam buku berjudul Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak & Grebeg Besar yang ditulis Sugeng Haryadi (2003) menyebutkan, di bagian atas menara terdapat sebuah ruangan berbentuk segi delapan berdinding kayu atau papan dan atap bordes terbuat dari sirap tipis.
Saka Guru Peninggalan Para Wali
Di bagian bangunan induk Masjid Agung Demak kita akan mendapati empat tiang utama yang disebut saka guru. Keempat saka guru tersebut merupakan peninggalan empat wali dari anggota Walisongo, yakni Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Ampel (Surabaya), dan Sunan Kalijaga (Kadilangu, Demak).
Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal, yang merupakan peninggalan dari Sunan Kalijaga. Saka guru yang saat ini ada di Masjid Agung Demak tidak asli alias hanya replika. Bekasnya yang asli dapat kita lihat di Museum Masjid Agung Demak yang berada satu kompleks dengan Masjid Agung Demak.
Saka Majapahit
Disebut saka majapahit karena delapan buah saka guru itu merupakan hadiah dari Kerajaan Majapahit yang diboyong oleh Raden Patah setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara.
Di samping itu terdapat surya majapahit, yakni gambar hiasan segi delapan yang sangat populer pada era Kerajaan Majapahit, yang dibuat sekitar tahun 1479. Sebuah artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang disebut maksurah tampak mendominasi keindahan ruang dalam masjid.
Situs Kolam Wudu Bersejarah
Di kompleks Masjid Agung Demak juga kita dapati sebuah situs kolam wudu bersejarah yang berada di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak. Kolam wudu itu bersejarah karena dulu di zaman para wali, kolam itu digunakan masyarakat untuk mencuci kaki dan berwudhu sebelum masuk ke masjid untuk melaksanakan shalat dan kegiatan lainnya.
Makam Raden Patah
Di dalam kompleks Masjid Agung Demak juga kita akan mendapati beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak, termasuk di antaranya adalah Raden Patah yang merupakan raja pertama Kesultanan Demak. Makamnya berbentuk kijing sederhana dari bahan pualam kuning di bagian luar tungkub makam Sultan Trenggono.
Batu pualam kuning yang dijadikan kijing makam Raden Patah adalah untuk menggantikan batu andesit yang lama, yang sesungguhnya justru menghilangkan kesan kekunoan makam pendiri Kesultanan Demak tersebut.
Di sebelah makam Raden Patah, terletak makam istrinya, makam Adipati Unus, makam Pangeran Sekar Sedo Lepen, Pangeran Mekah, Pangeran Ketib, dan makam adik kandungnya, Raden Kusen Adipati Terung.
Siapakah Raden Patah? Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya—Raja Majapahit terakhir. Raden Patah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak yang saat berkuasa bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama.
Selain sebagai seorang sultan, Raden Patah juga populer sebagai seorang negarawan, ahli hukum, ahli ilmu kemasyarakatan, seniman, dan juga ulama. Menurut Agus Sunyoto (2017), Raden Patah berperan penting dalam mengembangkan kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya, Raden Patah berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya dan kemudian dinikahkan dengan putrinya bernama Dewi Murtasimah. Dalam struktur majelis dakwah Walisongo, sebuah sumber menyebutkan, Raden Patah termasuk anggota Walisongo angkatan kelima.
Sehingga Raden Patah tidak hanya seorang raja, namun juga seorang ulama dan wali. Hanya saja penting dicatat, selama ini banyak yang mengira bahwa Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena di zaman kesultanan inilah Islam tersebar secara elegan dan masif di seluruh penjuru Nusantara.
Namun nyatanya Kesultanan Demak bukanlah kerajaan Islam pertama di Jawa. Bertolak dari sisa-sisa artefak dan ideofak yang dapat dilacak, sebagaimana yang disampaikan oleh sejarawan NU Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2017), ditemukan fakta bahwa kerajaan Islam yang awal di Jawa bukanlah Demak, melainkan Lumajang yang disusul Surabaya, Tuban, Giri, dan baru Demak. Keislaman Lumajang paling sedikit menunjuk kurun waktu sekitar abad 12 Masehi, yaitu saat Kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara.
Bila kita berkunjung ke Masjid Agung Demak, setidaknya fakta-fakta jejak historis Walisongo itu yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan. Masih banyak lagi benda-benda bersejarah lainnya, antara lain pintu bledheg, mimbar khutbah, dan sebagainya—yang sebagian besar dapat kita saksikan di Museum Masjid Agung Demak yang didirikan dalam rangka untuk melestarikan benda-benda bersejarah terkait Masjid Agung Demak dan Walisongo.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia