Beberapa hari setelah lebaran ketika itu. Tahun 2011. Saya berjalan menyusuri Jl. Sudirman, Palembang, tanpa tahu ke mana harus menuju. Maklum, itu adalah kali pertama saya ke ibukota Sumatera Selatan. Yang saya tahu, Jl. Sudirman adalah jalan protokol. Mungkin juga jalan paling besar dan ramai di Palembang.
Karena masih pagi—bahkan kabut masih melayang-layang—kota itu masih sepi. Suara riuh hanya terdengar dari pasar-pasar, tempat para pedagang dan pembeli tawar-menawar sampai menemukan kata sepakat. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas. Masih enak untuk menelusuri kota dengan berjalan kaki.
Ternyata jalan itu panjang juga. Ketika akhirnya tiba di depan Masjid Agung Palembang saya sudah kecapekan. Perut saya sudah tak bisa kompromi. Sungai Musi, Jembatan Ampera, dan Benteng Kuto Besak yang letaknya hanya selemparan batu dari sini sepertinya masih bisa menunggu.
Di pojok atas sebuah kompleks ruko di seberang jalan terpampang sebuah tulisan lumayan menggoda: “Toko Kopi HAR.” Tak mungkin kedai kopi itu hanya menjual kopi, pasti ada makanan lain yang barangkali lumayan untuk mengganjal perut. Tanpa ragu saya pun melangkah ke situ.
Martabak HAR tak seperti martabak mesir
Kedai itu tipikal kedai-kedai makanan lain di pasar-pasar sepanjang Sumatera. Ruangannya luas dan penerangannya agak lindap. Mejanya besar-besar dan dikelilingi kursi berbantalan tipis. Para pelanggan tersebar di meja-meja itu. Ada yang bersama-sama karib kerabat, ada pula yang sendiri saja dan menyibukkan diri membaca halaman-halaman koran pagi.
Di bagian depan dekat pintu masuk, sebuah kuali datar raksasa sedang memasak makanan seperti martabak. Bukan martabak mesir—martabak mesir khas Kubang, Sumatera Barat, lebih tebal dan besar. Yang ini lebih kecil dan tipis. Ketika saya tanya itu makanan apa, kokinya menjawab, “Martabak telur, Mas.” Sebagai penggila martabak asin, tanpa ragu saya pesan seporsi martabak telur plus secangkir kopi hitam.
Tak lama menunggu, pesanan saya pun tiba. Bersama martabak telur itu, penyaji juga menyertakan semangkuk kecil kuah kari (berisi potongan kentang dan daging kambing) dan sedikit cuka ala pempek plus potongan cabe rawit. Air selera saya terbit di rongga mulut, pertanda sudah tak sabar lagi untuk mencicipi martabak telur ala Toko Kopi HAR.
Ketika asap martabak masih mengepul, saya tuangkan kuah kari ke pinggan martabak. Bunyi “Kresss…” keluar dari kulit martabak ketika saya mulai menyendok. Mencurigakan; pasti lezat, batin saya. Benar saja. Yang masuk ke mulut saya pagi itu adalah kombinasi rasa gurih kulit martabak dan asin, pedas, rempah yang kaya dari kuah kari.
Walaupun isinya bersahaja—telur—cita rasa martabak telur sesungguhnya adalah warisan dari kebudayaan rempah nusantara. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa dalam martabak ada juga pengaruh kebudayaan India; pada zamannya India juga pernah jadi sentra perdagangan lada dan rempah lain.
Martabak HAR dirintis oleh Haji Abdul Rahman dan Haji Abdul Rozak
Perintis martabak HAR juga sebenarnya adalah dua bersaudara keturunan India bernama Haji Abdul Rahman dan Haji Abdul Rozak. Konon, yang pertama kali berdagang martabak ini adalah Haji Abdul Rozak, yang menikah dengan perempuan Palembang. Dari Toko Kopi HAR inilah resep martabak telur ala HAR menyebar seantero Palembang dan Sumatera Selatan. (Bahkan sempat ada Martabak HAR di Jl. Gejayan, Yogyakarta, meskipun akhirnya tutup atau pindah entah ke mana.)
Mulai mewarnai ragam kuliner Palembang pada 1947, warisan Haji Abdul Rozak ini sepertinya akan awet lumayan lama. Kedelapan anak HAR juga berdagang martabak. (Cucunya yang bernama Haji Richard membuka resto Martabak HAR dengan suasana yang lebih kekinian.) Belum lagi mantan-mantan karyawan di Toko Kopi HAR yang datang dan pergi silih berganti. Banyak yang kemudian membuka kedai martabak sendiri.
Cerita HAR bersaudara ini mengingatkan saya pada para pemilik warung martabak india di sebuah pojok dekat Bioskop Mega di Jambi, yang juga adalah orang Indonesia keturunan India. Barangkali karena masih belum sestabil Martabak HAR, setiap hari masih mereka sendiri yang mengurusi warung martabak india itu. Mereka yang meracik adonan martabak, membuat minuman pesanan pelanggan, sampai jadi kasir. Mungkin di zaman dahulu HAR bersaudara juga seperti itu.
Satu porsi martabak HAR hanya Rp 12.000
Tak terasa satu porsi martabak telur itu tandas. Semuanya, kecuali alat makan, masuk ke dalam perut saya tanpa sisa. Perut saya sudah tak keroncongan lagi.
Harga satu porsi martabak itu sebenarnya tidak terlalu mahal, hanya sekitar 12 ribu. Kalau mau nambah bisa saja—lagian rasa karinya juga enak sekali. Tapi karena berpikir bahwa perjalanan masih panjang, saya tahan keinginan itu. Saya mesti berhemat. Lain kali kalau ada kesempatan pasti saya bisa makan martabak telur HAR lagi.
Setelah membayar, saya keluar dari Toko Kopi HAR yang legendaris itu dengan masih dibayang-bayangi kelezatan martabak telur dan kari daging kambing. Makanan lezat memang begitu; membuat kita ingin mencicipinya terus-menerus. Saya geleng-gelengkan kepala menghalau godaan untuk kembali ke Martabak HAR. Sudah, sekarang saatnya melihat Jembatan Ampera… yang juga tak kalah legendaris.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
1 Comment