ItineraryPilihan Editor

Kain-kain dari Indonesia yang “Instagrammable”

Kamu yang memantau media sosial dan suka jalan-jalan pasti ngeh kalau akhir-akhir ini di Instagram sedang banyak postingan foto orang yang dibalut kain tenun ala Indian berpose di depan air terjun, di puncak gunung, di pinggir pantai, atau tempat-tempat menarik lain. Tapi tahukah kamu kalau Indonesia punya banyak kain tenun etnik yang tak kalah menarik dari kain-kain ala Native American itu?

1. Gringsing

Kain gringsing via tokopedia.com

Konon sebelum orang-orang Majapahit migrasi ke Bali, di Pulau Dewata sudah ada peradaban. Mereka tinggal di wilayah pegunungan dan punya kaitan erat dengan alam. Sekarang, beberapa desa purba itu masih tersisa dan disebut sebagai desa “Bali Aga.” Satu dari desa Bali Aga itu adalah Tenganan Pegringsingan di Karangasem yang masih memelihara tradisi. Sampai sekarang mereka pun masih melanjutkan tradisi menenun.

Tenunan ala Tenganan ini unik. Karena menggunakan teknik dobel ikat, pembuatan satu lembar kain bisa memakan waktu 2-5 tahun. Tapi apalah artinya 2-5 tahun kalau kain-kain yang dibuat oleh orang Tenganan itu memang dimaksudkan untuk bisa bertahan selama sekitar 100 tahun, untuk dipergunakan dalam upacara-upacara adat khusus. Kalau mampir ke Bali, jangan lupa ke Tenganan dan melihat-lihat kain gringsing. Serunya, di sini kamu juga bisa belajar menulis di daun lontar sama seniman-seniman lokal.

2. Ulos

Kain tenun ulos

Kain tenun ulos via tobadetour.com

Sumatera Utara ternyata tak hanya punya alam yang indah. Daerah yang terkenal dengan Danau Toba itu juga punya banyak warisan budaya yang indah. Salah satunya ulos. Ulos yang berarti kain dalam bahasa Indonesia pasti familiar di telinga kamu. Disampirkan di bahu, ulos menjadi asesoris di acara-acara adat suku Batak. Namun di masa kini ulos juga sudah mulai menyesuaikan diri dengan zaman dan dijadikan sarung bantal, ikat pinggang, tas, sampai gorden—barangkali karena motifnya yang cenderung minimalis, tidak ramai. Lumayan, nih, Sis, untuk dipakai mejeng atau kondangan teman.

Sedihnya, di masa kini sudah banyak motif ulos yang sudah punah karena tidak ada lagi orang yang membuatnya, seperti Ulos Raja, Ulor Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

3. Tais

Kain tenun tais

Kain tais via dhave.net

Pernah dengar kabar bahwa Timor Leste akan mendaftarkan kain tais ke Unesco sebagai warisan budaya? Sebenarnya sah-sah saja karena Timor Leste itu satu wilayah daratan dengan sebagian wilayah NTT, dan karenanya punya kebudayaan yang relatif mirip. Dan bagaimana kita mau protes sementara kita sendiri tidak tahu wujud kain tais itu seperti apa.

Dari sisi desain, gambar dan motif kain tais beragam. Biasanya tiap wilayah punya motif dan pola tersendiri berdasarkan mitos dan legenda lokal yang ada. Tapi yang sama di tiap tais adalah keberadaan pola-pola geometris yang disebut keif. Kain ini biasanya digunakan pada upacara-upacara adat, terutama pada saat menyambut tamu kehormatan dan karib kerabat.

4. Kain Tenun Songket

Kain songket via marcelinepress.com

Songket adalah kain tenun khas suku-suku yang berada dalam rumpun Melayu. Di Indonesia, kerajinan ini masih eksis dan terus dipelihara oleh etnis Minang dan Melayu Palembang, selain etnis-etnis lain yang mendiami Pulau Bali, Kalimantan, Sulewesi, dan Kepulauan Sunda Kecil. Sentra tenun terdapat di Sumatera Barat (Pandai Sikek dan Silungkang), Sumatera Selatan (Palembang), dan di Bali (Kabupaten Klungkung).

Songket sebenarnya masuk ke dalam kategori tenunan. Yang membedakannya dari tenunan lain adalah penggunaan benang-benang emas dan perak yang membuat kain ini tampak berkilau sehingga terkesan mewah jika dipakai dalam acara-acara resmi. Arti kata “songket” sendiri sebenarnya adalah mengait atau mencungkil. Sebab pada saat proses pembuatan, benang-benang emas dan perak itu diselipkan dan dikaitkan pada sejumput kain tenun.

5. Batik

Kain batik via the-patw.com

Ada yang kurang rasanya ketika membahas kain khas Indonesia tanpa menyertakan batik. Dalam salah satu novelnya, Pramoedya Ananta Toer pernah menyinggung sedikit tentang batik. Menurutnya, pembuatan batik adalah respon dari dimonopolinya Pelabuhan Semarang oleh Belanda. Akibatnya proses distribusi pakaian terhambat. Masyarakat Mataram yang semula mengimpor kain dari India terpaksa harus membuat kain sendiri. Entah benar atau tidak. Tapi jika benar, justru itulah yang sekarang menyebabkan banyak orang di wilayah Yogyakarta dan Solo bisa menyambung hidup dengan berkarya di industri batik.

Batik yang dulu terkesan oldies sekarang mulai diakrabi kalangan muda yang sudah pede saja memakai batik ke mana-mana. Selain baju dan celana, batik juga sudah merambah asesoris-asesoris seperti dompet, tas, tas laptop, dan lain-lain. Bagaimana, guys? Tertarik buat foto-foto ala Indian pakai salah satu dari kain-kain kebanggaan Indonesia di atas?

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *