Kalo ada yang mo maso minta, nona tarima saja, jang ale pikir beta lai, perkara cinta beta cinta, mo sayang paling sayang, marsio mo biking apa, parcuma beta susah di rantau.

Artinya: kalau ada yang mau melamar, nona terima saja, jangan pikirkan saya, perkara cinta saya cinta dan sayang, tetapi apa boleh buat, percuma saya sedang susah di rantau. Tetiba saya teringat lagu tersebut saat berada di tengah-tengah Pulau Timor. Kebetulan saya sedang mengikuti prosesi maso minta (lamaran). Di sinilah saya baru mengerti betapa peliknya prosesi yang harus dijalani kedua calon mempelai Timor untuk menikah.

Soal budaya melamar, masing-masing daerah memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Bagi pemuda kawasan Indonesia timur, lamaran acap kali menjadi sesuatu yang menakutkan. Bukan takut menghadapi keluarga mempelai, tetapi takut akan harga maskawin yang dipatok. Konon, di beberapa daerah untuk melamar perempuan sudah dipasang tarif yang didasarkan pada gelar pendidikan. Semakin tinggi gelarnya, semakin mahal harga maskawinnya. Ada yang dibayar dengan beberapa ekor hewan ternak seperti sapi, kuda, atau babi. Lebih ekstrem, ada pula yang satuannya bukan lagi “ekor” tetapi “kandang.” Namun ada juga permintaan yang terkadang kelewat batas, seperti adat di Flores yang harus membawa gading. Jelas-jelas di sana tidak ada gajah.

maso minta Sapi menjadi salah satu maskawin untuk meminang gadis Timor

Sapi menjadi salah satu maskawin untuk meminang gadis Timor/Dhave Dhanang

Saya terkesima dengan lelaki asal Rote yang ingin melamar gadis pujaanya asal Timor dari suku Amanuban. Dia jauh-jauh datang dari Pulau Rote membawa keluarga besarnya untuk melakukan prosesi maso minta. Tak beda dengan adat di Jawa yang harus membawa seserahan, di sana pengantin pria juga mesti membawa seserahan yang disebut dengan dulang. Mempelai lelaki akan membawa minimal lima dulang yang isinya barang-barang berharga. Dulang-dulang tersebut diberikan kepada calon mempelai wanita, ibu mertua, ayah mertua, keluarga besar, dan tokoh adat. Uniknya, pihak perempuan juga akan memberikan dulang yang sama, namun biasanya harganya di bawah dulang pihak laki-laki.

Prosesi diawali dengan kedatangan calon mempelai laki-laki berserta keluarga besarnya. Lewat seorang juru bicara, mereka mengutarakan maksud dan tujuannya kepada pihak perempuan. Dalam prosesi ini, juru bicara adalah ujung tombak dalam keluarga. Lewat bahasa-bahasa daerah dengan nada yang cepat dan tidak saya pahami mereka berkomunikasi layaknya sedang tawar-menawar. Benar saja, saya bertanya kepada Pak Nahor Tasekeb—Kepala Desa di daerah tersebut—mengenai apa yang sedang mereka lakukan. “Mereka sedang tawar-menawar maskawin, mau berapa banyak dan dalam wujud barang atau uang. Pihak perempuan akan memberikan tawaran dan pihak laki-laki tinggal setuju atau keberatan. Jika keberatan dengan harga, maka akan ditawar dan begitu seterusnya sampai ada kesepakatan.“

Calon mempelai pria menjemput sendiri gadis pujaannya di dalam kamar/Dhave Dhanang

Sebelum prosesi maso minta biasanya sudah ada kesepakatan dahulu jauh-jauh hari. Maso minta sekarang lebih berfungsi sebagai sebuah ritual, formalitas yang harus dijalankan. Berbeda dari zaman dahulu. Di Timor, adat maso minta juga dikenal dengan istilah kasih terang, yang artinya menerangkan jika ada seorang laki-laki yang sedang meminang perempuan maka lelaki lain harus mengerti untuk langkah mundur.

Kepakatan yang tercapai antara kedua belah pihak akan ditandai dengan diterimanya sirih pinang, lalu dilanjutkan dengan penyerahan dulang. Saat yang ditunggu-tunggu, calon pengantin laki-laki harus menjemput sendiri gadis pujaannya di dalam kamar. Sementara itu, di dalam kamar perempuan ada beberapa saudaranya yang juga dirias tak kalah cantik dari calon mempelai. Harapannya, mempelai laki-laki salah ambil anak gadis dan sebagai hukumannya sang pria harus membayar denda adat. Mungkin jika saya disuruh demikian, tabungan saya bakalan ludes buat bayar denda adat, karena wajahnya mirip semua dan cantik-cantik pula.

Kedua keluarga berkenalan dengan cara menari bersama/Dhave Dhanang

Sesudah menemukan gadis pujaannya, calon pengantin laki-laki akan membawa calon istrinya itu keluar dan memperkenalkannya pada semua yang hadir. Prosesi selanjutnya dilakukan di pelaminan; mempelai laki-laki akan memasangkan perhiasan kalung, anting, atau cincin sebagai pengikat sedangkan perempuan akan mengalungkan kain timor pada laki-lakinya. Acara selanjutnya adalah ibadah pemberkatan sebelum dilanjutkan dengan pesta makan-makan.

Sembari menyantap hidangan pesta saya bertanya pada Eni Tauho, seorang kolega dosen, tentang berapa uang yang dihabiskan dalam prosesi ini. Ia menjawab, “Satu ekor babi sedang, 1 ekor babi besar, 750 ribu untuk mempelai perempuan, 2 juta calon mertua, 2 karung beras, uang dapur 3 juta, tenda 2 juta. Mungkin untuk satu maso minta rerata 20 juta, bahkan lebih. Nanti waktu pernikahan bisa 75 juta sampai ratusan juta. Ini model kampung, Mas. Bayangkan mereka yang tinggal di kota bisa lebih lagi, terlebih [kalau] yang diundang pejabat.“ Dia menjelaskan seolah memberi gambaran betapa mahalnya untuk meminang seorang gadis Timor.

maso minta

Menyantap hidangan pesta/Dhave Dhanang

Dalam adat Timor saat ini, maso minta masih dilakukan namun disesuaikan dengan perubahan yang ada, walaupun ada yang masih konservatif. Bagi kaum lelaki dengan harta pas-pasan, ritual ini bisa menjadi sebuah ketakutan ketika ingin melamar gadis pujaannya. Seorang pemuda Timor yang saya temui sempat curhat, kebetulan setengah mabuk oleh tuak, “Mas jika tidak mampu bayar, kawin saja sama orang luar Timor. Sama nona Jawa enak, Mas. Jika ingin tetap sama nona Timor, kasih hamil saja dulu nanti pasti harganya diturunkan.” Entah benar atau tidak, saya hanya mengangguk dan bergumam, “Ada benarnya juga.” Saya lupa berapa tusuk sate saya habiskan dan berapa gelas bir yang disulangkan. Kepala sedikit miring dan telinga menikmati alunan lagu Timor. “Parcuma.. beta susah di rantau.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Dhave Dhanang.

Tinggalkan Komentar