Sebagai kaum urban Jakarta, di akhir bulan, saat dompet menipis, saldo ATM meniris, sementara gaji masih belum dibingkis, apa yang akan kamu lakukan untuk menenangkan perut yang keroncongan?

Kalau bisa masak, mungkin kamu bakal ke warung, swalayan, atau pasar untuk beli persediaan bahan makanan. Tapi, kalau kemampuan memasakmu cuma sebatas merebus air, mungkin kamu akan jawab, “Makan di warteg, dong!”

Makan di warung Tegal alias warteg memang jadi salah satu pilihan logis di akhir bulan. Dengan membayar sedikit, kamu bisa makan banyak. Untuk makan nasi sayur plus telur atau oseng tempe, kamu cuma perlu mengeluarkan uang belasan ribu. Porsinya juga lumayan banyak. Energi yang kamu dapat dari seporsi makanan warteg barangkali cukup untuk bikin kamu bertahan sampai keesokan hari.

warteg modern
Sepiring makanan di “fancy warteg”/Dewi Rachmanita Syiam

Tapi, belakangan ini, muncul “spesies” warteg baru, “fancy warteg.” Berbeda dari “ordinary warteg” yang bersahaja, warteg 2.0 ini lebih mengilap. Tampilannya lebih modern dan fasilitasnya juga bisa disandingkan dengan kafe-kafe urban.

Akhir bulan lalu, saya mampir ke dua di antara banyak warteg modern yang sekarang bertebaran di penjuru Jakarta.

Warteg HITZ! Lebak Bulus

Warteg modern pertama yang saya hampiri adalah Warteg HITZ! yang berada di Jalan Karang Tengah Raya No. 11A, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Waktu saya tiba, parkiran Warteg HITZ! yang cukup luas itu penuh mobil. Pemiliknya, orang-orang urban yang merindukan masakan rumahan, sedang makan di dalam.

warteg modern
Parkiran Warteg HITZ!/Dewi Rachmanita Syiam

Ketika masuk, saya mendapati interior Warteg HITZ sama sekali berbeda dari warteg-warteg biasa, kecuali etalase lauk pauknya. Alih-alih kalender toko bangunan, temboknya dihiasi lettering artworks aneka rupa. Dalam ruangan itu ada beberapa sofa empuk ditemani meja kayu bergaya industrial. Rentengan minuman sobek tidak kelihatan. Sebagai gantinya, di salah satu pojok ada tempat semacam meja bar untuk meracik minuman seperti yang lazim ditemukan di restoran.

Dan pendingin ruangan yang sedang menyala dalam mode fan membuat warteg itu jadi makin nyaman. Wi-Fi? Tentu saja tersedia.

warteg modern
Etalase makanan di Warteg HITZ!/Dewi Rachmanita Syiam

Saya lalu memilih-milih makanan di etalase. Konon, dua menu andalan di Warteg HITZ! adalah daging oseng mercon dan paruh (paru) balado. Saya tertarik untuk menyantap yang pertama. Lalu saya tambahkan nasi putih dan kentang mustofa—menu khas warteg—ke piring.

Mata saya sempat jelalatan melihat pilihan-pilihan lain seperti nasi merah, telur dadar, ayam goreng, berbagai tumis sayuran, dan ikan tongkol balado. Tapi, rasanya siang itu saya tak begitu ingin makan banyak.

Rampung memilih isi piring, saya segera melangkah ke kasir. Ia juga segera menghitung harga makanan saya dengan mesin modern alih-alih kalkulator atau buku catatan sederhana.

warteg modern
Interior Warteg HITZ! yang dilengkapi dengan meja bergaya industrial/Dewi Rachmanita Syiam

Menurut kasir yang melayani saya siang itu, warteg ini sudah beroperasi sekitar dua tahun. Sambil memasukkan kode-kode ke mesin, ia bercerita bahwa pelanggan biasanya berdatangan saat jam makan siang.

“Bisa penuh banget, Mbak,” ujarnya seraya memberikan bukti transaksi dan uang kembalian pada saya.

Total: Rp32.000.

Wahteg, warteg yang wah

Di Tanjung Duren, sisi barat Jakarta, saya juga menjumpai warteg modern. Namanya menarik: Wahteg. Di neon box-nya tertulis slogan berbahasa Jawa, yakni “mbetahi lan ngangeni” yang artinya “bikin betah dan kangen.” Di bawah slogan ada keterangan tentang fasilitas yang ditawarkan Wahteg—free Wi-Fi, full AC, smoking room, stop kontak.

warteg modern
Motor lawas di depan Wahteg/Dewi Rachmanita Syiam

Berbeda dari Warteg HITZ!, Wahteg mengusung gaya vintage. Nuansa lawas langsung menguasai ketika saya memasuki ruangan warteg modern itu. Rangka etalase terbesarnya terbuat dari kayu. Dinding bagian atas ruangan dikapur warna hijau pirus, sementara sisi bawah ditempeli ubin-ubin putih vertikal, lengkap dengan stop kontak. Meja dan kursinya juga klasik.

Tapi, nuansa lawas Wahteg ternyata tak hanya sebatas itu. Saat memilih makanan, saya mendapati bahwa sayur di warteg modern ini ditaruh dalam baskom-baskom enamel. Makanan yang hendak saya santap pun berada di piring enamel gaya rumahan.

wahteg
Limun Oriental Cap Nyonya/Dewi Rachmanita Syiam

Wahteg punya lebih dari 40 pilihan lauk yang semuanya menggugah selera. Tapi tak mungkin saya santap semua. Akhirnya, siang itu saya mengambil setengah porsi nasi putih, baby cumi cabe ijo, tumis lenca, tempe orek kering, dan perkedel kentang.

Di ujung etalase, kasir sudah menunggu. Sebelum menghitung, ia bertanya soal minuman yang hendak saya pesan. Pilihan saya jatuh pada limun Oriental Cap Nyonya. Sebentar kemudian, nota datang: Rp32.000.

“Fancy warteg,” lebih dari sekadar tempat makan

Yang akan tetap bertahan adalah yang jeli menemukan cara untuk beradaptasi. Pemilik warteg modern seperti Warteg HITZ! dan Wahteg memilih untuk mengusung konsep warteg yang berbeda, warteg modern yang lebih dari sekadar tempat makan.

wahteg
Suasana lawas Wahteg/Dewi Rachmanita Syiam

Di warteg biasa, pelanggan barangkali akan bergegas menyantap makanan lalu kembali rutinitas. Di warteg modern pengunjung akan betah berlama-lama untuk membaca buku, nongkrong bersama teman-teman, bertemu kolega, atau memfokuskan diri untuk menyelesaikan pekerjaan.

Tapi, warteg yang fancy barangkali bukanlah solusi yang akan menyelamatkan perutmu di akhir bulan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar