Jenis-jenis roti yang beredar di masyarakat kian beragam, terutama di Jakarta, yang banyak dipengaruhi gaya Jepang dan Korea yang sangat digemari belakangan ini. Namun, saya jadi penasaran seperti apa rasa roti sesungguhnya ketika diperkenalkan ke publik pada zaman penjajahan Belanda. Di akhir pekan, saya bersama teman-teman mengunjungi toko roti dan kue pertama di Ibu Kota, Maison Weiner, untuk mencari jawabannya.

Maison Weiner, yang terletak di Jl. Kramat No. 2, Kwitang, Senen, didirikan pada tahun 1936 oleh Lie Liang Mey, ia dikenal juga dengan nama Nyonya Gem. Awalnya, Nyonya Gem sering membantu membuat kue ketika masih bekerja di rumah keluarga Belanda. Suatu hari, sang nyonya rumah menyarankan supaya ia membuka toko kue sendiri, yang peralatannya dapat dibeli dengan cara mencicil di Pasar Gambir.

Dikenal sebagai Bengkel Koewe, produk pertama yang ditawarkan adalah kue kering a la Eropa. Kemudian, variasi produk berkembang menjadi aneka roti dan kue manis. Maison Weiner mencapai puncak kejayaannya sebagai satu-satunya bakery di Jakarta hingga tahun 1970-an. 

Dengan berjalannya waktu, semakin banyak bakery baru bermunculan yang membuat persaingan bisnis semakin ketat. Banyaknya bakery modern yang melakukan inovasi produk,  rasa, hingga promosi yang jor-joran membuat Maison Weiner yang sempat meraja dibidangnya merasakan dampaknya. Sebagai contoh, pemesanan kue yang dulunya mencapai 500 loyang menjelang hari raya, kini hanya 150 loyang saja. Kerjasama konsinyasi dengan kafe-kafe besar pun sudah banyak yang putus.

Maison Weiner
Maison Weiner/Nydia Susanto

Dari generasi ke generasi

Sebagai generasi ke-3 dari Nyonya Gem yang masih meneruskan bisnis keluarga, Heru Laksana harus memutar otak untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. 

Bertambahnya kemacetan di Jakarta membuat pengunjung malas datang jauh-jauh hanya untuk membeli roti. Terlebih, sudah banyak bakery di mal yang lokasinya tidak jauh dari area pemukiman dan budaya belanja daring yang semakin berkembang di masyarakat karena dinilai lebih nyaman. Untuk beradaptasi dengan perubahan sikap konsumen, Maison Weiner ikut merambah di dunia maya dengan berjualan di Tokopedia.

Mempertahankan kualitas serta ciri khas roti dan kue zaman Belanda sesuai resep aslinya adalah salah satu daya saing Maison Weiner yang tidak didapat di bakery modern lainnya. Saucijsbrood, ontbijtkoek, amandelbrood, dreikornbrot, bloeder dan mocha cake roll adalah segelintir roti dan kue khas kolonial yang membawa kenangan tersendiri bagi yang sudah akrab dengan rasanya. Untuk generasi yang lebih muda, menyantap roti jadul tentu bisa dijadikan pengalaman baru yang menarik.

Khusus edisi Natal, Maison Weiner mengeluarkan stollen (roti isi kacang-kacangan dan potongan buah-buahan yang ditaburi gula halus) yang dibuat sesuai resep asli Jerman dan kerstkranz (roti berbentuk dekorasi Natal berisi nut paste).

Tak kalah pentingnya, seluruh roti dan kue di Maison Weiner dijamin tanpa pengawet dan kimia, yang sayangnya cukup sering dijadikan “jalan pintas” dalam industri bakery, sehingga lebih sehat dan aman untuk tubuh.

Suasana Maison Weiner

Nuansa nostalgia juga tercipta berkat keaslian bangunan yang tetap dipertahankan. Warna merah pada façade gedung sudah diperbarui, senada dengan taplak meja kotak-kotak merah-putih yang mencolok. Interior dengan tembok keramik serba putih ini nampak bersih dan sederhana yang cenderung old-fashioned dengan rak display tuanya.

Disamping itu, para pengunjung dapat duduk nyaman sambil bersantap, walaupun menurut saya bakery ini tidak mengutamakan pelayanan makan di tempat karena piring dan alat makan saja tidak tersedia, serta tidak menjual minuman dingin. 

Di salah satu sisi ruangan dekat area dapur, terpajang beberapa mesin tua pembuat roti yang ternyata masih digunakan untuk operasional karena kualitas dan daya tahannya terbukti jauh lebih baik daripada mesin-mesin zaman sekarang. Apalagi, kini mesin yang kualitasnya setara dengan mesin zaman dahulu harganya antara puluhan hingga ratusan juta per unitnya. Kondisinya yang mulus dan tidak banyak berkarat menandakan bahwa perawatan mesin-mesin tua ini memang dilakukan secara optimal. Bakery berusia lebih dari 8 dekade ini sebetulnya juga menggunakan mesin baru, khususnya untuk yang kapasitas produksinya lebih besar. 

Maison Weiner
Foto nostalgia/Nydia Susanto

Kami pun melihat foto-foto keluarga Nyonya Gem, bangunan Maison Weiner di masa lampau yang tidak berubah banyak dibandingkan masa kini, serta guntingan artikel Kompas mengenai profil Heru Laksana yang terbingkai rapi di dinding toko.

Dengan latar belakang pendidikan khusus baker di Jerman, Pak Heru membuat spesialisasi sourdough dengan berbagai rasa, antara lain smoked beef & cheese, cranberry & cheese, walnut & cranberry dan chocolate almond. Sourdough adalah roti yang terbuat dari ragi alami yang proses fermentasinya selama 2 hari. Roti jenis ini lebih sehat karena mudah dicerna dan indeks glikemiknya lebih rendah. Produk baru lain yang dapat dicoba adalah panini, roti khas Italia.

Nostalgia roti tempo dulu

Roti buatan Maison Weiner mengingatkan saya akan masa kecil di tahun 80-an. Bila dibandingkan dengan zaman sekarang, roti di masa lampau umumnya mempunyai tekstur yang sedikit kasar, lebih padat, tidak cepat gembos dan sedikit lebih berat bila diangkat karena kadar gandum yang lebih banyak sehingga mengenyangkan. Roti yang saya santap ketika masih melanjutkan pendidikan di Belanda pun memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama dengan roti di Maison Weiner.

Saya merekomendasikan Cranberry & Cheese Sourdough dengan tekstur roti yang legit, padat dan isinya cukup melimpah. Gurihnya adonan daging sapi cincang pada saucijsbrood mampu membuat saya ketagihan, sekaligus membangkitkan kenangan akan nenek saya yang sering membuat roti sosis a la Belanda ini ketika beliau masih hidup. Rasa sosis pada saucijsbrood lebih berempah dan terasa aroma daging sapi asli daripada sosis di pasaran yang sarat dengan pengawet dan perasa buatan.

Harga roti dan kue yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp275 ribu untuk menu-menu spesial seperti kerstkranz dan stollen. Untuk sourdough, harga dimulai dari Rp50 ribu.

Ketika sudah banyak toko roti jadul yang mulai redup namanya dan bahkan menghilang sepenuhnya dari dunia kuliner, Maison Weiner masih menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu toko roti dan kue tertua yang mampu bertahan berkat kegigihan dan keuletan Pak Heru, yang juga menjabat posisi Sekretaris Jenderal Asosiasi Bakery Indonesia, dan juga anggota Indonesian Bakery & Confectionery Society.

Saya berharap akan masih ada generasi penerus yang melanjutkan apa yang sudah Pak Heru perjuangkan untuk mempertahankan warisan bersejarah keluarga yang legendaris ini supaya namanya tetap harum di masa mendatang.

Tinggalkan Komentar