Travelog

Mencicipi Tiram Kakar Lajari hingga Singgah ke Celebes Canyon dan Lappa Laona

Deru motor menyatu dengan suara angin, menjadikan perjalanan mengendarai sepeda motor terasa menyenangkan. Pagi itu, saya dengan tiga kawan lainnya berangkat ke Kabupaten Barru dari Kota Makassar. Selain untuk menghabiskan akhir pekan, kami berencana singgah untuk menelusuri sungai-sungai, pegunungan cadas, hingga pantai.

Saya dan Mila, seorang kawan asli dari Barru telah merencanakan perjalanan ini sejak dua minggu lalu. Namun selalu gagal karena jadwal kami yang tak kunjung cocok, atau urusan mendadak di kampus yang harus segera diselesaikan. 

Jumat, 13 November 2020. Pukul sembilan tepat, rombongan kami yang berjumlah empat orang memulai perjalanan panjang sekitar dua jam berkendara dari pusat Kota Makassar. Tidak ada hambatan yang berarti, kecuali ban motor yang terkena paku di sekitar jalan utama Kabupaten Pangkep. Selain itu, perjalanan menuju Barru secara umum menyenangkan.

Kami tiba di Kecamatan Tanete Riaja, rumah Mila tepat sebelum salat Jumat. Chandra, teman KKN kami pun berangkat ke masjid bersama ayah Mila, sementara saya, Mila, dan Fika, menikmati bolu peca dan aneka kue-kue Bugis yang disediakan oleh ibu Mila di ruang tamu. 

Lappa Laona/Nawa Jamil

Menuju sore, kami mengunjungi tempat tujuan pertama di Barru, yakni Pusat Kuliner Tiram Kakar Lajari. Barru adalah sebuah daerah dengan lanskap perpaduan laut dan pegunungan. Daerah ini juga dikenal dengan penghasil tiram-tiram lezat dengan harga murah. Bahkan hanya dengan Rp20.000 saja, kami bisa menikmati sebakul nasi, sebaskom tiram bakar, dan cocolan segar dari jeruk nipis, cabai, dan garam. 

Sabtu yang tak terlupa

Hari Jumat kami tutup dengan senja di pantai tidak jauh dari Lajari. Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali. Lepas sarapan, kami langsung menaiki motor dan bergerak ke pemberhentian tempat tujuan pertama, yakni Celebes Canyon, aliran sungai yang diapit oleh tebing batuan cadas alami, menyerupai Grand Canyon yang terletak di Jawa Barat, namun punya skala lebih kecil. Celebes Canyon terletak di Desa Libureng, Kecamatan Tanete Riaja, sekitar 20 menit dari rumah tempat kami menginap selama di Kabupaten Barru.

Jalan menuju Celebes Canyon sudah beraspal mulus, sehingga tidak butuh waktu lama untuk tiba di sana. Sepanjang perjalanan, pepohonan, aliran sungai besar, serta bukit-bukit karst menemani perjalanan kami. Setelahnya, kami berbelok masuk ke dalam jalan di sisi kiri dengan plang bertuliskan “Celebes Canyon” dan tanda arah panah yang mengarah masuk ke jalan kecil tersebut. Kedua motor kami beriringan memasuki jalan beraspal kacau, sudah bolong dan rusak di kedua sisinya, bahkan sekitar 50 meter dari tempat wisata, jalan sudah berganti tanah dengan bebatuan-bebatuan beraneka ukuran. Melewati satu tikungan curam dan sampailah kami di tempat parkir.

  • Celebes Canyon
  • Celebes Canyon
  • Celebes Canyon

Sungai dengan batuan uniknya itu belum terlihat, tetapi saya bisa mendengar gemericik air dari kejauhan. Kami melewati jalan setapak yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Pemandangan hamparan ladang hijau dan deretan pegunungan-pegunungan menyapa kami. Begitu sampai di pintu masuk wisata, kami membayar retribusi sekitar Rp5.000/orang. Fasilitas yang disediakan disini pun standar, hanya kamar ganti, toilet, dan dua orang penjual aneka makanan ringan. 

Bebatuan berwarna beige dengan bentuk yang unik, disandingkan dengan air bening berwarna biru dengan sedikit hijau segar, membuat kami tidak tahan untuk tidak langsung berenang. Sebuah kolam alami besar dengan air terjun setinggi dua meter menjadi area bermain.

Kebetulan, kami datang saat curah hujan tidak begitu tinggi, sehingga air sungai begitu jernih dan cukup aman untuk berenang. Singkat cerita, kami selesai berenang saat adzan dzuhur berkumandang. Kami pun langsung bergerak ke rumah seorang teman untuk berganti pakaian dan santap siang. 

Dari Celebes Canyon menuju Lappa Laona

Setelah selesai santap siang dan istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke Lappa Laona, dataran tinggi di perbatasan antara Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng. Wisata ini berupa bentang alam luas di ketinggian dengan padang rumput dan tebing-tebing curam. Di sini, pengunjung bisa menikmati pemandangan Kabupaten Barru dan laut yang berbatasan dengan Kota Pare-pare. 

Kami tiba sekitar pukul 14:00, atau 30 menit perjalanan dari rumah tempat kami istirahat siang tadi. Untuk masuk ke wisata ini, pengunjung membayar Rp10.000/motor. Begitu masuk, kami langsung disuguhi pemandangan hijau dan bentang alam luas yang sangat luas.

Di sini terdapat beberapa sapi gembala yang merumput, rumah-rumah mini dengan atap melengkung yang unik, masjid, toilet, dan spot foto. Namun yang terbaik dari Lappa Laona tetaplah pemandangan padang rumput luas yang diapit bentang pegunungan, juga tebing yang menghadap langsung ke Kabupaten Barru dan jalan-jalan yang kami lewati tadi. 

Lappa Laona/Nawa Jamil

Lappa Laona sering dijadikan lokasi foto pre wedding, ataupun tempat berkemah kampus/organisasi pramuka setempat. Areanya sangat luas, sehingga untuk berpindah ke satu spot foto ke spot foto lainnya harus menggunakan motor. Kami menghabiskan waktu dengan menikmati pemandangan Barru dari atas Lappa Laona, berfoto, dan mengagumi deretan pegunungan sampai sore tiba. 

Senja di Bukit Marmer Pujananting

  • Bukit Marmer Pujananting
  • Bukit Marmer Pujananting
  • Bukit Marmer Pujananting 2

Saat hendak pulang, kami langsung memutar arah motor ke daerah Pujananting. Fika, warga lokal yang lumayan sering menjelajahi daerahnya ini, menyarankan kami untuk mampir ke lokasi terakhir sebelum pulang. Perjalanan ditempuh sekitar 15 menit, menyusuri jalan beraspal yang cukup kecil, hanya pas dilalui dua mobil yang berpapasan. 

Lembayung senja mulai tampak begitu kami memarkir motor kami. Di samping tempat kami memarkir motor, terdapat sebuah portal tertutup yang menandakan larangan masuk. 

“Memangnya di sini tidak boleh masuk?” kataku. 

“Bisa, kok. Cuma memang daerah ini jarang diketahui orang, bahkan orang Barru sekalipun.” 

Kami berjalan kaki sekitar 5 menit. Tanjakan yang benar-benar menukik sekitar 45 derajat benar-benar menyiksa otot-otot kaki. Untung saja pemandangan yang disajikan jauh mendebarkan.

Berada di atas ketinggian, kami menyaksikan cahaya merah senja dan deret pegunungan. Bukit marmer ini merupakan bekas tambang perusahaan. Maka tidak heran, beberapa bagian bukit ini sudah dibelah, menampakkan batu-batu marmer besar yang belum pernah saya temui sebelumnya. Perjalanan di hari sabtu ini ditutup dengan senja di Bukit Marmer Pujananting.Sayang rombongan kami harus kembali ke Makassar di hari Minggu. Namun kata ibu Mila, kami akan selalu diterima di rumahnya, juga lain kali kami harus berkunjung ke wisata-wisata underrated lain di Barru. Dalam perjalanan pulang, saya sudah merasakan kerinduan akan alam dan keramahan Barru.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *