Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis.
Tradisi makan lalab sebagaimana yang tertuang pada sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno, menurut Riadi Darwis, menegaskan bahwa budaya mengonsumsi lalab sudah cukup tua. Bisa jadi, umurnya sejak manusia hadir ke muka bumi.
Riadi Darwis lalu mengingatkan cerita dalam Alquran tentang kisah manusia pertama, Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika tergoda ingin memetik dan memakan buah pohon khuldi karena terkena bujuk rayu iblis, hingga akhirnya mereka diturunkan dari surga ke bumi.
Lalab dan Citra Budaya Makan Sunda
Sejarawan kuliner Indonesia, Fadly Rahman, dalam artikel berjudul Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (Metahumaniora, nomor 3, Desember 2018) meneguhkan tradisi kuliner lalab pada masyarakat Sunda yang telah berlangsung sejak masa kuno berdasarkan telaah terhadap bukti tinggalan tertulis dalam prasasti dan naskah.
Menurut Fadly Rahman, tradisi lalab selaras dengan lingkungan alam Sunda berupa citra tanah suburnya yang mendukung pertumbuhan banyak jenis tanaman bermanfaat untuk bahan lalab. Tradisi itu kemudian membentuk keunikan budaya makan Sunda jika dibandingkan dengan budaya makan di wilayah lainnya di Indonesia.
Kedatangan orang-orang Eropa mempengaruhi kebiasaan makan orang Indonesia. Di antaranya dengan meningkatnya tingkat konsumsi daging. Hal itu seiring dengan pembudidayaan hewan ternak pada abad ke-19 di Jawa dan berbagai wilayah lainnya.
Namun, kecenderungan itu tidak menampak di kawasan Jawa Barat. Populasi ternak di Jawa Barat ternyata tercatat rendah. Kondisi ini turut berpengaruh pada rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda.
Hingga awal abad ke-20, menurut Fadly Rahman, kebiasaan makan orang Sunda ternyata tetap diidentikkan lekat dengan konsumsi nabati daripada hewani. Setidaknya dalam beberapa riset botani yang dilakukan sarjana kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) acap menyebut kata lălăb (sic.) sebagai makanan Soendaneezen (orang Sunda).
Sampai saat ini, lalab boleh dibilang merupakan budaya kuliner yang mencirikan orang Sunda. Sehingga ada yang berkelakar bahwa orang Sunda ‘suka daun muda’—yang dimaksud tentu adalah lalab yang sebagian besar merupakan dedaunan muda.
Kekayaan Vegetasi
Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyatakan, orang Sunda dapat memilah dan memilih daun yang akan dijadikan lalab. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang tanaman secara turun-temurun dari orang tuanya. Sejak kecil mereka melihat orang tua dan masyarakat sekitar memakan jenis tumbuhan tertentu sebagai lalab. Kebiasaan ini mendorong masyarakat di sana memanfaatkan pekarangan dan halaman rumah mereka untuk menanam sayuran yang akan dijadikan lalab.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, jenis sayuran yang digunakan sebagai lalab antara lain: selada, kacang panjang, mentimun, tomat, daun pepaya, daun singkong, dan daun kemangi. Sedangkan bagi masyarakat Sunda, selain jenis yang sudah umum dikonsumsi tersebut, mereka juga mengonsumsi jenis tanaman lain seperti leunca, kenikir, buah nangka, serta honje atau bunga kecombrang.
Bahkan, beberapa jenis tanaman yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hama yang tidak bermanfaat, oleh orang Sunda dapat dinikmati menjadi sajian yang lezat. Selain itu, berbagai jenis umbi-umbian seperti kunyit dan kencur, juga dapat dinikmati sebagai lalab.
Jenis lalaban dalam tradisi makan orang Sunda memang ada banyak jumlahnya. Mengutip penelitian Prof. Unus Suriawiria, sampai tahun 2000 ditemukan tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalab. Namun riset terbaru Dr. Riadi Darwis yang dituangkan dalam buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 cukup mencengangkan, karena ia telah berhasil mendata tidak kurang 718 jenis tanaman lalab yang masih hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.
Riset dilakukan oleh Riadi Darwis untuk membuktikan kelangsungan keberadaan lalaban pada masa-masa klasik yang telah dirisetnya. Untuk pembuktian itu, Riadi Darwis melakukan sejumlah observasi ke sejumlah daerah yang ada di kawasan budaya Sunda. Di antaranya yang paling banyak ditemukan varian lalab-nya serta diperjualbelikan di lingkungan masyarakat adalah di daerah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.
Menurut Riadi Darwis, sangat bisa jadi seluruh kabupaten dan kota tersebut adalah representasi daerah pegunungan, penghasil pertanian dan perkebunan. Tidak mengherankan apabila jumlah varian tanaman lalab akan dengan sangat mudah ditemukan.
Dari 718 jenis tanaman lalab yang didata Riadi Darwis, ada beberapa yang masih menggunakan istilah Latin ataupun bahasa daerah lain karena belum diketahui persamaan bahasa asli daerahnya. Misalnya tanaman bernama Latin Albelmoschus Manihot (L.) Medic (forma anisodactylus, Bakh) yang dikonsumsi sebagai lalab pada bagian daunnya. Ada juga tanaman Acacia rugata (L.) Merr yang dikonsumsi sebagai lalab bagian batangnya. Lalu ada Alocasia culculata Schott di mana yang dikonsumsi sebagai lalab adalah bagian umbinya. Dan banyak lagi, bisa dibaca di buku ini.Kekayaan vegetasi tanaman lalab di kawasan Sunda yang telah didata secara baik oleh Riadi Darwis bisa menjadi referensi dan dokumentasi penting serta bahan kajian lebih lanjut bagi upaya pengembangan gastronomi Sunda di masa-masa mendatang. Buku ini adalah sumbangan penting bagi dunia gastronomi Sunda khususnya, juga bagi dunia gastronomi Indonesia pada umumnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.