Interval

Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara

Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok Fatris, bagaimana sarkasmenya tentang kota besar Indonesia yang selalu ia sebut “Jakarta”. Dari kelas beberapa waktu lalu, saya tertarik dengan satu perkataan Fatris tentang objektivitas seorang penulis dalam tulisannya, sama seperti apa yang diamini Johnny Harris, seorang jurnalis yang pernah menulis untuk The New York Times. Dalam salah satu videonya yang berjudul ‘7 Things I’ve Learned About Journalism in 7 Years of Being Journalist’

“Tidak benar-benar ada tulisan yang objektif. Penulis perlu mengambil sudut pandangnya dalam menyusun sebuah tulisan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan informasi yang berimbang.” 

Lawa Tawa Nusantara

Saya membaca karya Fatris MF berjudul Lara Tawa Nusantara, sebab saya tahu, tulisan perjalanan setebal 337 halaman ini tidak seperti majalah pariwisata yang lebih banyak membahas keelokan alam Nusantara. 

Sambil menikmati teh lemon dingin dan roti bakar jadul di Centeng Mok—sebuah kafe bertema tempo dulu di Jalan Kijang Kota Makassar—saya menyelesaikan tulisan terakhir dari buku ini ‘Bambu, Perang, dan Kebahagiaan’. Lara Tawa Nusantara merupakan kumpulan catatan perjalanan Fatris ke berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun. Dalam buku ini, Fatris membawa pembacanya menyusuri berbagai daerah, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, NTB, Sumatera, dan lainnya. 

Meskipun blurb buku ini tidak cukup menarik, tetapi percayalah, Lawa Tawa Nusantara menyajikan cerita perjalanan yang dalam, tidak melulu tentang eksotisme dan bentuk kekaguman akan alam Indonesia yang juga sama-sama dikagumi orang-orang kompeni di masa lalu.

Saya sangat terkesan dengan cerita pembuka dari Kalimantan, beragam daerah yang ia kunjungi dalam menceritakan tarian kematian dan perjalanannya ke Kampung Lopus, Lamandau, Kalimantan Tengah. Banyak deskripsi yang cukup detail serta selingan sejarah dan sumber masa lalu yang menulis tentang daerah maupun kebudayaan yang ada di sini. 

Dari Kampung Lopus di Lamandau, Fatris membawa pembacanya menelisik cerita menarik dari senjata tradisional Dayak yang sarat akan ilmu hitamnya, mandau. Satu tulisan penuh berjudul ‘Pertarungan Terakhir’ menceritakan sejarah salah satu sosok termasyhur di Camp Leakey, Kusasi. Sosok yang mentereng, terkuat di kawanannya, bahkan sosok yang telah terkenal sampai ke berbagai dunia, bahkan dikunjungi si cantik Julia Roberts dari Hollywood. 

Dua cerita menceritakan pedalaman Kalimantan, Fatris lalu mengajak para pembacanya menyusuri tanah Sulawesi dalam beberapa ceritanya. Ia menceritakan tentang kehebatan kapal phinisi dan para pelaut ulung dari tanah Bulukumba, cerita perihal upacara pemakaman menyenangkan di Tana Toraja, tanah Mandar, dan Mamasa yang jarang diceritakan. 

Di Mamasa, Fatris tidak hanya bercerita tentang bagaimana keindahan alamnya. Lebih dalam, tulisan Fatris menelaah cara hidup dan bagaimana masyarakat desa sangat menghargai alam mereka. 

“…Ajaran ini penganjur untuk adil, melayani sesama, hidup dalam keseimbangan. Menebang kayu tidak boleh sembarangan, mesti diritualkan dulu, supaya “roh” kayu merelakan dirinya untuk diambil.” 

Setiap tulisan dalam buku ini disertai delapan sampai belasan foto yang melengkapinya pada akhir cerita, serta deskripsi pada halaman terakhir. Setiap hal tentang buku ini sangat menyenangkan, termasuk foto-foto yang diambil dengan professional, seolah setiap objek dalam fotonya mampu bercerita tidak kalah dengan deretan tulisan-tulisannya.

Saya sangat menikmati tulisan tentang Hidup Mati Toraja sebanyak 12 halaman lebih. Secara pribadi, daerah ini telah menarik saya kembali ke sini beberapa kali. Berbeda dengan tulisan-tulisan pariwisata yang menonjolkan keindahan alam dan eksotisme rambu solo, upacara penguburan super mahal di daerah ini, tulisan Hidup Mati Toraja membawa pembacanya ke lorong-lorong terkecil pariwisata Toraja. Tidak ada menyusuri kuburan batu Londa, atau melihat sunset di Lolai, tulisan Fatris justru membawa pembacanya ke pasar hewan, daerah-daerah minim turis tempat warga lokal menghabiskan kesehariannya, juga menyingkap sedikit fenomena di balik upacara Kematian Rambu Solo, prosesi adat yang memakan ratusan hingga milyaran rupiah. 

Rangkaian kata dalam buku ini, tidak sampai setengahnya menceritakan keindahan alam. Lebih banyak, tulisan-tulisannya bercerita lebih jauh: tentang manusia-manusia, kebudayaan di sana, persoalan-persoalan pelik, dan hal-hal dekat yang jarang ditemui para pelancong mainstream. Sama seperti tulisan Fatris tentang Bali, sekeping tanah “surga” yang dipenuhi turis-turis berkulit pucat. Sama sekali tidak membahas keindahan dan pariwisatanya, Fatris justru menceritakan Bali dengan beragam keluhan: jauh berbeda dari Bali yang pernah didatanginya, kesejahteraan hanya dirasakan pihak-pihak tertentu, dan masyarakat lokal yang banyak menawarkan tanahnya untuk dijual. 

Kembali ke pernyataan awal, buku ini bukan sekedar catatan perjalanan. Fatris tidak hanya menceritakan tawa, melainkan lara yang ada di Nusantara. Tak hanya alam, tetapi juga keseharian budaya masyarakatnya. Sebuah buku yang sangat cocok untuk kamu yang mencari sudut pandang berbeda, dan mungkin saja setelah membaca lembar demi lembar buku ini, kamu bisa menciptakan sebuah perjalanan yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, atau bahkan membaca karya-karya Fatris MF lainnya seperti Hikayat Sumatra, Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, dan Jurnal Banda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata