IntervalPilihan Editor

Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata

Apa jadinya kalau berwisata adalah perjalanan jiwa dan pikiran? Apa jadinya hasil dari jalan-jalan adalah pengamatan yang lebih cemerlang tentang sekitar? Begitulah mungkin yang ingin Sarani Pitor Pakan sampaikan kepada para pembaca dalam buku yang berjudul Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata. Pitor mengajak para pembaca terlibat dalam melihat pariwisata dan lika-liku di dalamnya dalam kacamata yang tidak biasa.

Buku setebal 140 halaman ini adalah kumpulan esai-esai yang pernah ditulis oleh Pitor di berbagai media daring seperti TelusuRI, Traveler Kaskus, Geotimes, studipariwisata.com, dan blog pribadinya. Dalam pengantar yang ia tulis, Pitor menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai jurnalis—pejalan—akademisi membentuk pola pikir kritis soal pariwisata, yang tidak hanya melekat pada perpindahan tempat dan bersenang-senang, tapi juga sebagai reflektif dan proses belajar.

Tulisan di buku ini dimulai dengan sebuah esai yang berjudulPerjalanan: Menemukan Bhinneka, Memperbarui Keindonesiaan”, Pitor menerangkan kenapa perjalanan bisa membentuk kita lebih “Indonesia” dan lebih “bhinneka tunggal ika”. Dalam sekolah maupun pidato-pidato kebangsaan, kata  bhinneka tunggal ika populer didengungkan untuk menegaskan bahwa perbedaan dalam tubuh bangsa ini adalah suatu keniscayaan yang harus kita jaga, dan itulah yang ditanamkan dalam setiap benak putra-putri bangsa. Apa jadinya kalau falsafah yang ditanamkan justru terasa asing dalam perilaku ataupun perangai kita sebagai masyarakat?

Mengapa kemudian perjalanan—yang kemudian banyak dimaksudkan untuk bersenang-senang dan ajang pamer—menjadi salah satu cara yang efektif untuk menerapkan kebhinekaan? “Perjalanan menciptakan semacam proses dialog di dalam kepala kita. Kita mengevaluasi, menimbang, dan menginterpretasi ulang cara pandang yang kita miliki. Pada akhirnya, laku-laku reflektif dan hermeneutik itu memperkaya pandangan kita,” tulisnya.

Pitor lalu mengajak pembaca untuk menjadi orang lokal dalam konteks tempat wisata “Apa Rasanya Menjadi ‘Lokal’”. Pengalaman Pitor yang hidup di luar negeri seketika berubah saat sekembalinya ia ke Depok, yang sudah dipenuhi ojek daring. Ia menilai perubahan aktivitas di depan rumahnya yang tiba-tiba ramai ojek daring, sama seperti perubahan sekitar lingkungan yang menjadi objek wisata. Kita yang sering berwisata mungkin sadar, perubahan-perubahan yang terjadi pada tempat wisata tidak hanya dari aspek lingkungan saja, tetapi juga pola pikir warga sekitar.

Ada juga tulisan menyoal slow traveling. Gaya hidup serba cepat pada era modern ini telah membuat banyak orang hasil yang instan dalam waktu yang relatif singkat, hal itu turut mempengaruhi cara bepergian orang-orang yang menginginkan banyak spot wisata dalam rentang waktu yang sedikit. Slow travel menjadi sebuah solusi untuk menghadirkan sebuah perjalanan yang lebih bermakna dan juga go green.

Kritik tentang machoisme dalam pariwisata juga dituliskan Pitor dengan lugas. Bagaimana backpacking dipandang sebagai sesuatu yang mengandung elemen “macho” karena pendefinisiannya yang cenderung melebih-lebihkan sebagai sesuatu yang “tangguh”, “keren”, “petualang”. Menurutnya, masalah machoisme ini berasal dari siklus patriarki yang memandang lelaki sebagai “kiblat dunia”. Alhasil, perjalanan-perjalanan jadi lekat dengan penaklukan dan penjelajahan, dan lagi-lagi lelaki diasosiasikan sebagai aksi dan kekuatan, alih-alih perempuan yang hanya dilabeli dengan kepasifan.

Interval: Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata

Di banyak tulisannya, Pitor mengkritik tentang eksotisme yang begitu lekat dengan tempat-tempat kunjungan wisata. Bagaimana suatu tempat harus bertahan seperti asalnya tanpa bisa berjalan organik untuk mengalami perubahan seperti tempat lainnya. Eksotisme adalah label yang terus bertahan pasca kolonialisme yang cukup panjang di negara ini dan terus diumbar dalam upaya mendatangkan banyak devisa negara, tapi apakah sesuatu yang tampak “eksotis” tersebut tidak boleh berubah dan harus terus menerus tetap pada “kekunoan dan keunikannya”? 

“Yang lebih pelik dari itu adalah kebanggaan sebagai “yang eksotis”. Agak mengerikan kalau upaya promosi pariwisata Indonesia ke wisatawan mancanegara masih memakai istilah “eksotis”. Jualan sih, boleh. Tapi, ya, mbok nggak gitu juga. Tapi nyatanya itu kerap terjadi,” tulis Pitor dalam sebuah narasi yang berjudul “Eksotisme?”.

Satu hal yang saya suka dari pemaparan yang disampaikan Pitor adalah penelusuran yang  dibungkus dengan kata-kata yang ringan namun penuh pertanyaan dan menelisik. Kelimpahan turis dan tempat wisata adalah sebuah kesyukuran, namun apalah arti kelimpahan tanpa pemaknaan yang memadai mengenai pariwisata dan perjalanan? 

Pitor juga banyak mengutip hasil penelitian maupun pendapat para ahli dan kemudian disandingkan dengan pendapatnya tentang permasalahan pariwisata, yang kemudian berakhir dengan sebuah kesimpulan atau kembali menjadi sebuah pertanyaan untuk para pembaca.

Tulisan-tulisan ini adalah sedikit pencerahan akan makna dari pariwisata yang sudah kadung banyak diterima kepala banyak orang sebagai sarana bersenang-senang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana