Semarang juga sangat kaya khazanah kuliner. Beberapa kuliner ikonis akan muncul di benak ketika menyebut kota yang pernah berjuluk “Venesia dari Timur” itu: lumpia, wingko babat, soto bangkong, mi kopyok, tahu bakso, dan tahu gimbal.
Bila menyelisik lebih jauh, masih banyak lagi kuliner legendaris di Semarang. Salah satunya adalah Sate Sapi Pak Kempleng. Lokasinya memang bukan di jantung kota Semarang, melainkan berada di Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Meski hanya kota kecil, lokasi Ungaran strategis karena berada di jalan utama Kota Semarang ke Solo dan Yogyakarta atau sebaliknya. Daerah yang terletak di kaki Gunung Ungaran ini populer dengan julukan “Kota Seribu Rumah Makan”. Banyak rumah makan yang menawarkan beragam menu bagi pejalan. Sate Sapi Pak Kempleng, menurut saya, termasuk yang paling menonjol karena sudah teruji oleh waktu.
Asal Usul Nama “Kempleng”
Di kalangan penggemar satenya, setidaknya terdapat dua versi asal usul nama “Kempleng”. Versi pertama berasal dari kebiasaan Pak Sakimin, sang pendiri, memiringkan kepala (kempleng) saat jualan sate sapi dengan berkeliling di sekitar alun-alun Ungaran. Istilah itulah yang akhirnya melekat pada Pak Sakimin, yang di kemudian hari menjadi nama keberuntungan untuk usahanya. Termasuk mewariskannya ke anak-anak dan keturunannya.
Versi kedua mengacu pada cita rasa sajian satenya, yakni “sega ngampleng”. Istilah ini bermakna nasi dengan potongan daging sapi yang dibakar, dan rasanya seperti ngampleng (menampar) mulut saking lezatnya.
Konon para pelanggan dari etnis Tionghoa susah melafalkan kata “ngampleng”. Mereka menyebutnya dengan kempleng”, yang berlanjut menjadi julukan Pak Sakimin.
Dua versi yang berkembang tersebut biasa menjadi bumbu cerita penghangat obrolan. Umumnya para penikmat sate Pak Kempleng tidak terlalu peduli. Mereka lebih tertarik dengan cita rasa sate sapi Pak Kempleng yang memang istimewa.
Perkembangan Bisnis Sate Sapi Pak Kempleng
Pak Sakimin memulai usaha sate pada tahun 1946. Di masa-masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia itu, Pak Sakimin menjajakan satenya secara berkeliling menggunakan pikulan. Ia berjualan malam hari di sekitar kota Ungaran.
Setiap malam, Pak Sakimin alias Pak Kempleng keluar masuk gang di sudut-sudut kota. Alun-alun Ungaran biasanya menjadi akhir perjalanannya. Rutinitas itu Pak Sakimin lakukan dengan tekun hingga akhir hayatnya pada 1972.
Sepeninggal Pak Sakimin, hampir saja tidak ada generasi penerus yang melanjutkan usaha satenya. Padahal ketika itu nama “Sate Sapi Pak Kempleng” sudah cukup kondang.
Beruntung akhirnya Sumorejo, salah seorang anak Pak Sakimin, mau meneruskan usaha sang ayah. Bermodal nama besar Pak Kempleng, Sumorejo jualan sate sapi secara berkeliling seperti ayahnya biasa lakukan.
Kehadiran kembali Sate Sapi Pak Kempleng menjadi penawar rindu para penggemarnya, yang merasa kehilangan sejak Pak Sakimin wafat. Banyaknya pelanggan menjadikan usaha Sumorejo relatif lebih mudah dan tidak mendapatkan kendala berarti. Kelezatannya pun terjaga sehingga memiliki banyak pelanggan dari berbagai kalangan, termasuk etnis Tionghoa.
Pada tahun 1986, Sumorejo mampu menyewa sebidang lahan di pinggir jalan raya Ungaran untuk membuka warung sate. Saat ini generasi penerus sate sapi Pak Kempleng, meliputi anak-anak dan keponakannya, membuka rumah makan dengan nama Sate Sapi Pak Kempleng 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Semuanya berlokasi di ruas jalan yang sama.
Cita Rasa Khas Sate Sapi Pak Kempleng
Berbeda dengan sate klathak Yogyakarta dan sate buntel Solo yang anti mainstream, sate sapi racikan Pak Kempleng merupakan prototipe sate pada umumnya. Berupa potongan daging yang ditusuk sujen lalu dibakar. Namun, ketiganya sama-sama enak.
Sate sapi di warung Pak Kempleng bercita rasa manis yang agak mirip sate maranggi di Purwakarta dan Cianjur, Jawa Barat. Formula bumbunya mengandung gula aren dan bahan rempah lainnya. Ciri khas sate sapi di sini adalah proses pembuatannya, yaitu dengan cara merendam potongan daging terlebih dahulu dalam bumbu marinasi agak lama, sehingga dagingnya empuk dengan bumbu yang meresap.
Saya sudah beberapa kali menyantap sate sapi Pak Kempleng sejak tahun 2016, ketika beberapa kali agenda lawatan ke Ungaran. Sejak awal mencicipi, saya langsung terpikat dengan kelezatannya. Maka setiap kali ke Ungaran, hampir pasti saya tidak akan melewatkan kesempatan mampir ke warung Pak Kempleng.
Keistimewaan sate sapi Pak Kempleng adalah potongan dagingnya relatif besar, tetapi tetap empuk. Tingkat kematangannya medium well, yang membuat daging terasa kenyal dan juicy.
Penyajian sate sapi Pak Kempleng umumnya bersamaan dengan saus kacang, irisan lombok dan bawang merah yang ditempatkan terpisah. Bumbu tambahan tersebut tidak langsung kita siramkan pada sate. Namun, karena sate sapinya sudah dibumbui sebelum dibakar, sebenarnya tanpa saus kacang pun rasanya sudah sangat lezat.
Selain daging, sate sapi Pak Kempleng juga memakai jeroan sapi, seperti babat, usus, dan paru. Namun, satu tusuk berisi satu jenis jeroan dan tidak bercampur. Satu porsi sate sapi Pak Kempleng sebanyak 10 tusuk bisa kita nikmati dengan sepiring nasi atau lontong sesuai selera.
Dalam peta kuliner Nusantara, sate sapi Pak Kempleng termasuk yang paling mendapat sorotan. Bango dalam buku 80 Warisan Kuliner Nusantara (2008) merekomendasikan Sate Sapi Pak Kempleng untuk kategori sate sapi manis.
Alamat: Jalan Diponegoro No. 180, Genuk, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 09.00-21.00 WIB
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia