Bulan Oktober lalu seorang kawan mengajak saya untuk melakukan riset. Lucunya, ajakan itu dibarengi dengan pertanyaan, “Kamu suka minum kopi nggak?” Saya jawab dengan antusias: “Pastinya!”
Ia menjabat tangan saya. Lalu, dua minggu setelahnya saya masuk bandara sambil menggenggam tiket pesawat Jogja-Medan. Lokasi riset kali ini ternyata adalah salah satu destinasi kopi, yakni Dataran Tinggi Karo. (Itulah sebabnya rekan saya menanyakan apakah saya suka minum kopi atau tidak.)
Dari Medan, kami menempuh jalur darat ke Berastagi, kota kedua terbesar di Kabupaten Karo setelah Kabanjahe.
Tapi saya takkan bercerita soal perjalanan dari Medan menuju Berastagi. Saya ingin bercerita tentang kopinya saja, sebab derita akibat perjalanan “mendaki gunung lewati lembah” itu ternyata hilang begitu saja “diobati” oleh secangir kopi susu hangat.
Warung kopi berlantai tanah
Setelah istirahat sebentar di Hotel Mexico, hotel kecil dekat Pasar Berastagi, saya dan kawan-kawan kembali naik kuda besi menuju Desa Perteguhen untuk keperluan riset.
Bang Rei yang sejak tadi sibuk menelepon akhirnya mengakhiri pembicaraan dengan tertawa. “Oke. Kita ke warung kopi,” ujarnya. Orang yang kami temui ternyata tak menjamu kami di rumahnya, melainkan di warung kopi langganannya.
Dari Berastagi, perlu waktu sekitar setengah jam menuju Desa Perteguhen. Jalan yang mengitari kaki Gunung Sinabung itu dihiasi kebun-kebun milik warga. Cabai, wortel, dan kubis mendominasi pemandangan. Sesekali saya mendapati los tempat mengeringkan tembakau.
Saya menarik napas lega ketika mobil yang saya naiki mencapai gapura warna kuning bertuliskan “Selamat Datang di Desa Perteguhen.” Saya semakin tak sabar untuk turun dan memesan segelas kopi—perut saya bergejolak akibat perjalanan tadi.
Warung kopi itu berlantai tanah dan berdinding kayu. Bagian depan, kiri pintu masuk, adalah singgasana pemilik warung: dapur kecil untuk meracik pesanan. Ditemani sepasang bangku panjang dan beberapa kursi plastik hijau, dua meja panjang menguasai ruangan. Di teras warung juga disediakan tempat nongkrong—ada balai-balai malah.
Tapi, yang paling istimewa dari bangungan sederhana ini adalah televisi layar datar 40 inci yang menggantung jumawa di pojokan.
Minum kopi susu dari tatakan
Saat masuk, semua mata memandang saya. Saya baru sadar bahwa sayalah satu-satunya perempuan di warung berukuran 3×3 meter itu.
Saya memesan kopi susu. Pikir saya kopi susu itu akan sama saja dengan yang biasa saya minum di Jogja. Lazimnya kopi: air coklat muda campuran susu cair dan kopi. Ternyata saya keliru.
Kopi yang tersaji adalah segelas kecil air hitam dengan cairan kental putih gading sebagai fondasi. Gelas kecil itu datang bersama piring tatakan.
Bapak yang duduk di depan saya tiba-tiba menyeletuk, “Cepat diaduk. Nanti susunya matang.” Rupanya dari tadi saya melamun. Kemudian saya aduk gelas itu pelan-pelan. Saat menyatu dengan susu kental manis, aroma kopi yang meruap membuat saya lupa dengan perut yang bergejolak selama perjalanan tadi.
Ketika saya sedang mendekatkan bibir gelas itu ke mulut, lagi-lagi bapak itu tertawa. Rupanya bukan begitu cara mereka menyesap kopi. Pertama-tama mereka menuangkan kopinya ke tatakan. Nah, dari tatakan itulah mereka menyeruput kopi kemudian.
Saya pun buru-buru mencoba cara unik itu. Dan ternyata rasa kopinya juga unik. Selain campuran rasa pahit-manis gabungan kopi dan susu, ada aroma dan rasa manis seperti gula aren yang tertinggal di lidah setelah kopi masuk kerongkongan.
Mungkin rasa manis yang tertinggal inilah yang membuat bapak-bapak di warung kopi tidak terburu-buru menghabiskan kopinya. Minum kopi di sini diselingi obrolan, sambil membaca koran, atau bahkan sambil nonton televisi.
Dari hasil ngobrol dengan bapak-bapak tadi, saya juga jadi tahu bahwa selain tempat nongkrong warung kopi juga jadi tempat untuk mencari pekerjaan. Tidak jarang ada mandor lahan yang sedang butuh pekerja datang ke warung kopi dan menawarkan pekerjaan kepada orang-orang yang sedang nongkrong, untuk menggarap lahan entah di mana. Bisa di desa terdekat, bisa juga jauh dari Desa Perteguhen.