Lewat beberapa menit setelah jadwal yang ditentukan ketika akhirnya lampu penerang tribun penonton dimatikan. Gantinya, lampu sorot dihidupkan. Kuricorder Quartet & Friends pun masuk. Setelah menduduki kursi masing-masing, setiap personel grup musik itu dengan ramah menyapa penonton yang sudah memenuhi Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta, 26 Oktober 2017.
Tak lama kemudian, Konser “Suluk Matahari” pun dimulai. Kuartet asal Negeri Matahari Terbit itu membuka pertunjukan dengan sebuah nomor berjudul My Lady Carey’s Dompe, sebuah komposisi pengiring tarian tradisional Inggris peninggalan Zaman Renaisans. My Lady Carey’s Dompe diperkirakan ditulis hampir setengah milenium yang lalu, 1525, semasa Raja Henry VIII.
Lagu yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Kekasihku Termangu itu pun sukses membuat para penonton termangu. Mereka tak kuasa mengalihkan perhatian dari Kuricorder Quartet & Friends—yang terdiri dari Kuricorder Quartet (Masaki Kurihara, Yoshiyuki Kawaguchi, dan Takero Sekijima), Minoru Yoshikawa, dan Toshiaki Chiku—sampai nada terakhir tuntas dimainkan.
Keindahan yang sederhana dan elegan dari musik Kuricorder Quartet & Friends
Kuricorder Quartet & Friends seolah-olah ingin mengatakan pada dunia bahwa kualitas musik tidak semata bergantung pada kecanggihan instrumen. Rekorder, yang di Indonesia cuma dijadikan alat musik untuk memperkenalkan kesenian pada anak-anak, menjadi menarik ketika dimainkan oleh para virtuoso itu.
Grup musik asal Jepang ini memang mengusung instrumen-instrumen aerophone (alat musik tiup). Berganti-ganti mereka memainkan rekorder, melodica, crumhorn, great bass recorder, saksofon, tuba, jew’s harp, dan lain-lain. Alat-alat musik tiup itu ditemani oleh guitalele dan ukulele yang dipetik secara jenaka oleh Toshiaki Chiku (Chiku). Harmonisasi dari alat musik tiup dan petik itu menghasilkan sesuatu yang indah, tegas, dan mengakar.
Sensasi saat mendengarkan Kuricorder Quartet & Friends seperti sensasi yang muncul ketika melihat tunas baru tumbuh di pagi hari. Daunnya memang seperti kepayahan menahan embun, tapi tunas itu sendiri adalah sesuatu yang menjanjikan sekaligus misterius. Tidak ada yang bisa menebak ia akan tumbuh menjadi pohon seperti apa.
Misalnya ketika Minoru Yoshizawa (maestro rekorder) dan Chiku berduet membawakan komposisi John Dowland, The Frog Galliard. Hanya berbekal dua instrumen, yakni rekorder dan guitalele, melodi-melodi yang mereka mainkan secara presisi berhasil membuat panggung terasa meriah.
Seperti mendengarkan musik pengiring film kartun “Tonari no Totoro”
Barangkali penonton terpana menyaksikan penampilan Kuricorder karena lagu-lagu yang dibawakan grup musik itu mengingatkan mereka pada masa kecil. Bukan berarti bahwa Kuricorder membawakan lagu-lagu yang pernah didengar penonton di masa kecil; Kuricorder berhasil membangun suasana segar khas masa kanak-kanak, yang seolah ditinggalkan begitu saja saat manusia beranjak dewasa.
Repertoar Kuricorder dalam Konser Suluk Matahari ini memang didominasi oleh lagu anak-anak. Yukidaruma Kozoku adalah lagu tentang keluarga boneka salju. Lagu berjudul Ranchu merupakan lagu anak-anak tentang ikan mas yang dinyanyikan secara solo oleh Chiku, yang aksi kocaknya mengundang tawa penonton. Nomor-nomor lain seperti Little Suite “Pythagora Switch”, Sunayama (Gunung Pasir), dan Osaru no Kagoya (Curious Basket of Curious) juga adalah lagu yang digubah untuk anak-anak.
Suasana ceria khas dunia anak-anak pun bertambah kental oleh suara Chiku yang begitu bersemangat dan jenaka. Meskipun para penonton tidak paham apa yang dinyanyikan—karena dalam bahasa Jepang—berkali-kali mereka terpingkal-pingkal melihat tingkah musisi itu. Suara Chiku mengingatkan saya kepada suara unik Elda Suryani dari Stars and Rabbit, mantan vokalis Evo.
Mendengarkan musik Kuricorder Quartet & Friends membawa saya pada adegan-adegan dalam salah satu film Studio Ghibli, Tonari no Totoro. Serasa berlari-lari di halaman rumput yang luas, berkali-kali terjatuh, tapi tidak kapok juga untuk bermain, sebab matahari masih di atas sana—hari belum malam dan ibu belum memanggil untuk pulang.
Ketika kolaborasi terjadi
Kua Etnika mulai “ikut main” pada repertoar kedelapan, yakni Mayonnaise No. 2 yang digubah oleh Masaki Kurihara. Tapi yang naik panggung baru Djaduk Ferianto dan Sukoco.
Fusi mulai terjadi. Akurasi instrumen modern yang dibalut oleh potensi ketidakterdugaan alat musik tradisional ternyata berbuah pada sesuatu yang unik. Lagu Mayonnaise No. 2 yang semula terdengar “mono” menjadi “stereo” setelah ditambah tabuhan kendang dan perkusi oleh dua musisi tanah air tersebut.
Setelah Kuricorder menampilkan sepuluh lagu, barulah Kua Etnika muncul dengan anggota lengkap. Komunitas musik yang digagas oleh Djaduk Ferianto, Butet Kertaradjasa, dan Purwanto itu menyapa penonton dengan sebuah lagu berjudul Bromo. Suasana pun berubah. Akurasi Kuricorder Quartet & Friends sekarang ditemani oleh alunan musik Kua Etnika yang kaya rasa. Simplisitas Jepang mulai berkelindan dengan nuansa etnik Nusantara.
Kuricorder dan Kua Etnika berkolaborasi penuh dalam empat lagu, yakni Sheep Thief (Pencuri Domba), Srengenge Yunar, Jawa Dwipa, dan Ashi (Stand on Your Own Two Feet). Lagu pertama dan lagu terakhir dari Kuricorder, sementara dua lagu lain berasal dari Kua Etnika.
Di antara keempat lagu itu, kolaborasi yang paling gayeng terjadi dalam lagu Srengenge Yunar, yang bercerita tentang matahari.
“Mataharinya satu, milik kita bersama,” ujar Djaduk Ferianto sebagai pembuka. Di nomor itu, Djaduk Ferianto dan Chiku bergantian bernyanyi dalam bahasa Indonesia dan Jepang diiringi oleh alunan musik Kuricorder dan Kua Etnika. Nuansa tembang yang semula Jawa-Indonesia berubah begitu saja ketika Chiku menyanyikannya dalam bahasa Jepang.
“Gayeng” meskipun tanpa “encore”
Di lagu terakhir, Kuricorder dan Kua Etnika seperti dua anak yang sedang membuat kerajinan tangan. Kuricorder membuat kerangka yang presisi, Kua Etnika menghiasi kerangka itu dengan ornamen indah aneka warna. Hasilnya adalah sebuah prakarya yang tak mungkin diberi nilai rendah oleh guru kriya.
Begitu Ashi selesai dimainkan, penonton langsung bertepuk tangan dan bersorak riuh. Para musisi membungkuk hormat kepada para penonton, lalu satu per satu turun dari panggung.
Saya yang tetap diam di bangku penonton diam-diam menantikan encore, sebab kebanyakan konser di PSBK akan diakhiri dengan teriakan “Lagi! Lagi! Lagi!” atau “Encore! Encore! Encore!” Dan para musisi akan kembali ke panggung dengan nomor anyar yang sudah dipersiapkan atau mengulang salah satu lagu.
Tapi, kali ini sepertinya para penonton begitu terpukau sampai-sampai lupa berteriak, “Lagi!” Ini bukan sarkastik; penonton memang sangat terpesona oleh konser kolaborasi ini. Buktinya hanya sedikit sekali yang sibuk main ponsel waktu konser sedang berlangsung. Dalam hati, mereka pasti bertanya-tanya, “Kapan Kuricorder Quartet & Friends main lagi di PSBK?”
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.