Nggak ada cara yang lebih pas buat ngisi libur Imlek dibanding traveling ke destinasi-destinasi bernuansa Tionghoa, seperti Singkawang, Bagansiapiapi, Solo, Surabaya, atau Jogja.
Nah, sebenarnya selain destinasi-destinasi di atas, ada satu kota lagi yang bisa kamu kunjungi pas Imlek, yakni Semarang. Dan kalau lagi Imlekan di Semarang—kecuali makan lumpia—mungkin nggak ada aktivitas yang lebih seru dibanding jalan-jalan ke Klenteng Sam Poo Kong di Simongan.
Lebih dari sekadar rumah ibadah Tri Dharma
Kalau Forbidden City di Beijing masuk dalam bucket list-mu, kamu pasti bakal senang sekali ke klenteng ini. Soalnya, bangunan Sam Poo Kong memang mirip banget sama yang ada di Kota Terlarang itu. Tapi, nyatanya daya tarik Klenteng Sam Poo Kong lebih dari sekadar keindahan arsitekturnya.
Selain sebagai rumah ibadah Tri Dharma (Taoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme), Klenteng Sam Poo Kong mungkin juga bisa dibilang sebagai penanda zaman. Klenteng itu saksi bisu sejarah sekaligus perubahan-perubahan besar yang terjadi di bumi Semarang.
Andai saja klenteng itu bisa ngomong, mendengarkan kisahnya soal perubahan-perubahan yang dialami Semarang pasti sama serunya dengan menonton timelapse yang diambil selama bertahun-tahun; bagaimana laut menyusut, tanah muncul ke permukaan, memadat, kemudian ditindih oleh permukiman.
Dulunya, areal Simongan, lokasi di mana Klenteng Sam Poo Kong berada, adalah wilayah pelabuhan. Jadi, garis pantainya bukan sejajar sama Tanjung Mas atau Pantai Marina seperti yang sekarang.
Waktu pun berjalan dan perlahan terjadilah pendangkalan. Bibir pantai pun menjauh. Di antara bibir pantai dan Klenteng Sam Poo Kong, permukiman-permukiman baru bermunculan. Generasi demi generasi manusia datang dan pergi. Lama-lama cerita soal bibir pantai yang bergeser ini jadi terlupakan.
Hasil dari perpaduan beragam budaya
Mengunjungi Sam Poo Kong juga bakal ngasih kamu banyak perspektif baru. (Yang bakal berguna banget saat ini, minimal supaya “sumbu” kamu nggak pendek.) Soalnya, sejarah Sam Poo Kong ternyata nggak bisa dilepaskan dari kelindan berbagai pengaruh budaya—nggak cuma satu budaya saja.
Konon, wilayah klenteng sekarang dulunya adalah lokasi pendaratan awak kapal Laksamana Cheng Ho. Mereka berlabuh buat mengobati salah seorang awak kapal yang sakit.
Melihat sebuah gua, mereka lalu masuk ke sana. Gua itu kemudian dijadikan “… tempat tinggal, tempat sholat dan sekaligus tempat menyebarkan ajaran agama Islam bagi masyarakat sekitarnya.” Sampai di sini saja sudah ada dua budaya yang bermain: Tionghoa dan Islam.
Pasukan Cheng Ho pun kembali berlayar. Lalu, tahun 1704 gua yang pernah ditinggali pasukan Cheng Ho di Simongan itu longsor. Sebagai pengingat, di sana dibangun sebuah gua baru beserta altar plus patung Cheng Ho dan pasukannya.
Juga jadi tempat ngalap berkah
Uniknya, banyak juga peziarah Jawa—yang mayoritas beragama Islam—yang datang ke Sam Poo Kong buat ngalap berkah.
Orang-orang yang sebagian besar pedagang ini biasanya datang pas Jumat kliwon dan menziarahi “Makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang, Ruang Pemujaan Kyai Jangkar serta Makam Kyai dan Nyai Tumpeng dan Kyai Tjundrek Bumi.” Macam-macam yang mereka minta, dari mulai rezeki, keselamatan, jodoh, dan lain-lain.
Kalau kamu mau tahu, syaratnya gampang saja. Kamu tinggal memberikan kembang setaman pada Juru Kunci, sang Juru Kunci bakal mendaraskan doa-doa bernapaskan Islam, kemudian di akhir ritual ia akan ngasih kamu kembang yang dibungkus kain kecil buat disimpan.
Tapi, perkara harapan kamu bakal jadi kenyataan atau nggak, siapa yang tahu?
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.