IntervalSemasa Corona

Kerai dan Pagebluk yang Mengubah Wayan

Wayan Kaung menundukkan kepala karena pagebluk. Pekerjaanya sebagai pemandu wisata di Bali sedikit demi sedikit mulai tergerus pagebluk yang berlangsung tampak tiada akhir. Kekhawatiran itu semakin memuncak ketika pemberlakuan pembatasan sosial diterapkan oleh pemerintah. Pariwisata Bali seakan runtuh, sulit untuk berdiri di tengah-tengah puingnya. Ditengah keputusasaan, ternyata penyelamatnya tidak jauh dari keluarganya sendiri. 

Sang bapak, Ketut Kawi, yang semenjak dahulu menekuni usaha seni dan kerajinan, kini menjadi sandarannya dalam berusaha. Sebuah kios kecil di Batubulan, Gianyar yang terkenal dengan daerah penghasil kerajinan bernilai seni, adalah saksi keuletan seorang bapak yang menekuni hobinya. Dulu masa-masa kejayaan seni Gianyar yang berada pada medio 80-an sampai 2000-an, karya-karya pengrajin di Gianyar terkenal bagus dan mahal. 

Salah satu pelanggan Kawi Kerai yang menghias bangunan dengan kerai via Instagram/Kawi_Kerai

Keapikan bapak dalam melihat peluang bisnis patut diacungi jempol. Melihat bisnis kerai di Bali yang didominasi oleh orang Jawa, bapak tertarik untuk ambil bagian. Sembari menjalankan usahanya dalam seni ukir kayu, kerai juga ikut dia produksi dan awalnya hanya sebagai barang tambahan. Terus menerus mengalami kenaikan permintaan dan berbagai relasi di luar pulau. Dunia pariwisata juga ikut andil dalam meluasnya pasar kerai jualannya. Tahun 2000-an merupakan tahun yang penuh gairah untuk Bali.

Kerai memang bukanlah barang mewah, hanya bambu-bambu yang dirangkai sedemikian rupa untuk menutupi rumah dari hujan atau panas. Oleh bapak, kerai dibuat tidak sekedar untuk menutupi rumah, tetapi ada bahan baku yang harus diutamakan kekuatannya. Bapak menggunakan Bambu Bali, sebagai pengganti Bambu Dampar yang dinilai tidak tahan lama. Terus menerus mendapat masukan dari pelanggan, membuat usahanya semakin berkembang. 

Sayang, bisnis bapaknya yang melambung tidak membuat Wayan tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya. Sehabis kuliah, Wayan memilih untuk terjun di dunia pariwisata, membangun travel tour dan menjadi guide. Kemilau dunia pariwisata Bali memang menyilaukan siapa saja. Menurut Wayan, dunia pariwisata lebih enak dijalankan daripada usaha. Tiba-tiba saja dunia dikejutkan dengan pagebluk yang terjadi pada akhir 2019 dan mulai memasuki Indonesia pada tahun 2020. “Waktu itu saya mikir, paling lama pagebluk ini setahun bakal beres, ditambah lagi saya baca-baca analisis-analisis yang mengatakan pagebluk ini bakal cuman sampai September,” kenangnya. Tabungan masih dirasa cukup, Wayan memutuskan untuk menikmati rehat sejenak dari pekerjaannya.

Mimpi-mimpi buruk ini belum sirna. Pagebluk belum berakhir, ditambah Indonesia menerapkan pembatasan sosial. Bali terkena dampak yang paling terasa, denyut pariwisata sudah tidak terasa lagi. Masyarakat banyak memutar otak untuk tetap bertahan hidup di masa pagebluk. Wayan mulai masuk ke dalam bisnis bapaknya, membantu sedikit-sedikit untuk mengembangkannya. “Beberapa teman mulai bikin akun yang asik-asik gitu, semisal ada yang berkebun, dia bikin Instagram tentang berkebun, ada teman bisnis kecil-kecilan juga bikin akun, kebetulan saya senang menulis juga di balebengong.id, saya juga suka main sosial media, akhirnya saya berpikir wah asyik juga nih usaha bapak dibawa ke media sosial,” ucapnya. 

Wayan menyadari meskipun pagebluk menimpa, usaha bapaknya tetap lancar, permintaan pasar lokal justru meningkat. “Saya jadi semakin sering bikin postingan di sosial media tentang usaha bapak, dan jujur saja ini sudah menghasilkan uang,” tambahnya. Pola pikir Wayan kemudian berubah, ingin lebih mengandalkan kerai daripada pariwisata yang tidak tentu juntrungannya sekarang. Wayan fokus untuk membangun strategi digital marketing dari usaha bapaknya.

Bapak, yang memang berasal dari kalangan seniman ukir kayu Gianyar, melihat usaha kerai lebih mudah dijalankan daripada seni ukir. Bapak yang juga menguasai Bahasa Jawa yang memudahkannya untuk mencari kenalan untuk bekerja sama. Berkat keapikan bapak dalam mencari teman kerja, akhirnya dia mendapatkan banyak pinjaman modal. Kepercayaan itulah akhirnya membawa toko kerajinannya semakin besar dan besar. Bapaknya mempekerjakan 3 orang untuk membantu usahanya. Sering juga mengajak adik-adik untuk membantu pembuatan kerai, pengantaran, atau pemasangan. 

Orderan kerai yang terus menerus masuk juga tidak bisa diterima semuanya. Waktu pengerjaan yang memakan sekitar 4 hari ditambah tenaga kerja yang masih sedikit membuat Wayan seringkali menolak pesanan. “Kalau ada orderan baru masuk kita tanyain pengerjaannya mungkin lebih lama, tapi lebih sering ditolak karena bakal numpuk,” jelas Wayan. Selain kerai, usaha bapak juga memproduksi tikar, keranjang, tas, tudung saji, skatsel, hula hoop. Dalam sebulan, barang yang laku terjual mencapai puluhan item.

Suasana pariwisata Bali yang semenjak 10 tahun belakangan berubah menjadi mass tourism, ditambah pagebluk membuka sebagian mata bahwa Bali sudah jatuh terlalu dalam bergantung pada pariwisata, berakibat tercemarnya lingkungan ditambah perubahan drastis fungsi lahan akibat pembangunan masal. Pariwisata selain banyak manfaat, juga mendatangkan mudarat yang sepadan, perubahan pola pikir seperti Wayan yang tidak ingin terlalu bergantung kepada pariwisata semoga menjadi salah satu dari banyak perubahan di Bali ke arah yang lebih positif.


Foto Header: Anggara Mahendra.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon