Ketika saya dan Nyonya tiba di areal Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Pasar Kangen Jogja 2018 sudah semarak. Orang-orang berbagai usia melebur jadi satu dalam hajatan tahunan itu. Obrolan mengisi udara, bersatu padu dengan suara musik yang berasal dari kelompok seni yang sedang tampil di panggung utama.
Atraksi utama tentu saja kuliner tradisional yang dijajakan di stan-stan yang berjejeran di halaman TBY.
Nyonya langsung tertarik untuk mendatangi salah satu stan yang menjual mentho, camilan tradisional Jawa yang rasanya seperti peyek namun lebih tebal. Seperti biasa saat berada dalam kerumunan manusia seperti ini saya serahkan posisi terdepan pada Nyonya.
Karena halaman TBY terlalu ramai, kami melipir ke kolong pusat kesenian itu.
Jika yang mengisi lapangan parkir Taman Budaya Yogyakarta adalah lapak-lapak makanan, yang menyemarakkan lantai paling bawah bangunan itu adalah lapak-lapak penjual barang lawas dan antik.
Rasanya seperti menelusuri Pasar Senthir, Klithikan Pakuncen, atau Klithikan Niten di Bantul. Bedanya, yang satu ini lebih terkurasi.
Klithikan ala Pasar Kangen Jogja 2018
Saya sempat berhenti lama di lapak paling luar yang memajang tiga atau empat kamera analog rangefinder 35mm Seagull yang lensanya bisa memanjang dan memendek seperti burung alarm di jam-jam tua.
Dari sana kami bergerak semakin ke dalam. Pelan-pelan kami melewati lapak penjual koin tua, piringan hitam, kaset, pajangan, dan—ini yang jumlahnya banyak sekali—buku-buku bekas.
Buku yang dijual bermacam-macam, dari mulai buku teks sampul tebal sampai novelet-novelet tipis karya Motinggo Busye. Soal harga, barangkali kamu hanya bisa tahu kalau menanyakan langsung pada penjualnya. Patokannya, semakin tua—dan tebal—bukunya, harganya akan semakin mahal. Tapi jangan segan-segan untuk menawar. Asal tidak terlalu kejam, pasti kamu akan bisa membawa pulang buku incaranmu.
Malam itu saya menemukan buku pertama Harry Potter, yang cetakan lama tentunya. Semula sang penjual memberi harga Rp 30.000. Saya tawar Rp 20.000, dijawab, “Wah, belum bisa, Mas.” Akhirnya ia menyerah di angka Rp 25.000.
Semakin ke dalam, kami tiba di lapak penjual kaset tape. Harganya ternyata murah, yakni Rp 10.000 per kaset. (Sebagai perbandingan, sekitar tahun 90-an akhir sampai 2000-an awal, harga kaset baru berkisar antara Rp 10.000 untuk kaset musisi dalam negeri sampai Rp 15.000 untuk luar negeri.)
Tapi di lapak kaset itu Nyonya melihat benda lain: veldfles TNI. Dulu kami pernah menjumpai veldfles US Army di Pasar Senthir dan penjualnya mematok harga Rp 250.000. Makanya saya kaget mendapati penjualnya menjawab begini saat nyonya menanyakan harga: “Rp 30.000, Mbak.” Setelah ditawar, kami menebus tabung itu seharga Rp 25.000.
Makan jajanan khas Jawa
Dari pasar barang-barang lawas itu, kami bergerak ke luar dan ikut berdesak-desakan dilamun arus pengunjung. Memotong arus sama saja artinya dengan merepotkan diri sendiri.
Kami mencoba beberapa makanan dan minuman. Makanan pertama yang kami cicipi adalah lempeng juruh, yakni kerupuk opak yang disirami kuah manis yang terbuat dari gula jawa. Satu porsi yang berisi tiga opak harganya Rp 5.000.
Tapi yang menggoda saya untuk ke Pasar Kangen Jogja 2018 sebenarnya adalah gebleg. (Perjumpaan perdana saya dengan gebleg terjadi sekitar setahun yang lalu dekat Perempatan Nanggulan di Kulonprogo ketika menemani Nyonya membimbing mahasiswa KKN-nya. Sejak itu saya ketagihan. Sayangnya, ketimbang gorengan gebleg lebih susah ditemukan.)
Makanan yang namanya terdengar lucu ini terbuat dari adonan berbahan dasar singkong. Adonannya kemudian digoreng. Hasilnya adalah bola-bola kecil putih sederhana yang gurih. Rasanya mirip-mirip cireng, tapi lebih padat.
Uniknya, gebleg yang dijual di Pasar Kangen Jogja diberi kuah yang terasa seperti cuka pempek, namun sedikit memiliki aroma kencur. Sensasinya seperti makan pempek minus aroma ikan. Harga satu porsi gebleg sama saja dengan lempeng juruh, yakni Rp 5.000.
Dari stan gebleg, kami kembali bergabung dengan arus pengunjung. Sempat berhenti sebentar untuk menikmati pertunjukan musik, kami pun meneruskan perjalanan sampai tiba kembali di sisi luar TBY.
Meskipun hanya sekitar satu jam di sana, kami pulang dengan ceria. Barangkali sebelum Pasar Kangen Jogja 2018 ditutup tanggal 16 Juli 2018 nanti kami akan ke sana sekali lagi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 comments
“Seperti biasa saat berada dalam kerumunan manusia seperti ini saya serahkan posisi terdepan pada Nyonya” berarti Nyonya nya besar sekali ya sampe bisa jadi benteng pertahanan wkwkwkwk
Nyonya punya mental yang lebih kuat kalau berurusan sama kerumunan. 🙂