Sudah lewat tengah hari ketika Nyonya menurunkan saya di Terminal Jombor. Langit sudah sangat gelap. Seketika hujan bisa turun. Saya melangkahkan kaki ke tempat bis Jogja-Magelang menunggu penumpang. Bis yang akan berangkat ternyata masih lumayan kosong. Ia takkan ke mana-mana sampai penuh.
Menunggu bis itu terisi, saya berdiri di luar, merokok dan mengamati para penebang profesional sedang bekerja membonsai pohon-pohon raksasa di sisi timur Terminal Jombor. Sore itu, saat hujan bisa turun sewaktu-waktu, mereka masih saja bekerja—ada yang memanjat untuk menggergaji dahan, ada pula yang bertugas di bawah untuk menarik dahan yang sudah genting agar jatuh dimakan gravitasi.
Sebatang rokok habis, saya bergerak ke pintu belakang, lalu melompat masuk. Deretan kursi yang memanjang di bagian belakang sudah penuh. Saya pun bergerak ke depan, melihat-lihat posisi bangku kosong. Ketemu. Ada satu. Saya pindahkan ransel ke depan, lalu saya bawa menduduki bangku kosong itu.
“Kawan” sebangku saya adalah seorang nenek yang usianya mungkin sudah lebih dari 80 tahun. Ia berkebaya. Bawahannya jarik. Rambutnya, yang sudah memutih, dicepol. Penampilannya klasik sekali. Saya lemparkan senyum padanya. Senyuman saya tak hanya dibalas senyum, tapi juga pertanyaan dalam bahasa Jawa halus: “Tindak pundi?” Saya jawab dengan bahasa halus seadanya bahwa saya akan ke rumah teman di Temanggung. Sang nenek hendak ke Magelang.
Tak berapa lama bis bergerak ke luar terminal, lalu mulai meluncur ke arah utara. Perlahan, lorong bis jadi semakin padat oleh para penumpang yang menyetop di pinggir jalan. Saat bulir-bulir air hujan mulai mengisi bingkai jendela, keadaan memaksa saya untuk merelakan bangku di samping sang nenek. Saya setengah tak rela; kapan lagi saya bisa mendengar cerita darinya?
Gorengan yang dekat di mata jauh di kantong
Setelah membelah jalanan Jogja-Magelang—dan sempat tersendat di Muntilan sebab mesti memberi jalan pada simpatisan sepasang kandidat presiden/wakil presiden—bis itu akhirnya tiba di Terminal Tidar. Saya mengekor para penumpang yang sedang membayang-bayangkan betapa menggembirakannya pulang, lalu melintasi terminal sepi itu menuju tempat parkir angkutan Magelang-Wonosobo.
Bis itu kecil saja. Tapi, sepertinya jalan Magelang-Wonosobo yang sempit, terjal, dan berliku itu memang hanya pas untuk dilewati angkutan-angkutan seukuran itu. Saya ambil posisi dekat bangku tengah, agar bisa leluasa melihat pemandangan dan selalu dibelai angin semilir. Sang nenek yang tadi duduk sebangku dengan saya naik bis itu juga. Ternyata tujuannya Secang.
Selang sebentar, bis itu bergerak maju. Di gerbang terminal, bis itu dicegat satu atau dua lusin calon penumpang arah Temanggung-Wonosobo yang enggan berjalan selemparan batu ke tempat bis diparkir. Bis itu pun semakin sumpek. Tapi, itu tentu saja berkah bagi sang supir dan dua orang kenek yang sore itu bertugas.
Beberapa menit sebelum tiba di pertigaan Secang, salah seorang kenek mulai menariki ongkos dari para penumpang. Tiba giliran saya, saya menyodorkan selembar Rp50.000 kepadanya, sembari mengatakan, “Parakan.” Ia mengamati saya sekilas, lalu mengambil uang itu dan menggabungkannya dengan lembaran-lembaran lain yang ia peroleh dari penumpang sore itu. Kembalian untuk saya harus menunggu.
Di pertigaan Secang, bis itu berhenti sebentar, memberikan kesempatan pada para penumpang untuk turun—termasuk sang nenek—dan menunggu calon penumpang yang hendak turut ke barat. Tak sampai dua meter dari jendela tempat saya melongokkan kepala, ada setumpuk gorengan hangat yang sangat menggoda. Ingin rasanya membeli, tapi, sayang sekali, uang kembalian untuk saya belum tiba.
Gerimis-gerimis tipis di Parakan
Sekitar sepuluh menit berhenti, bis itu melanjutkan perjalanan. Dari Secang, jalanan jadi semakin menarik. Jalan lurus tinggal cerita. Sekarang bis kecil itu mesti menyusuri jalanan yang berbelok-belok dan terjal. Rumah-rumah semakin jarang dan kedua sisi jalan semakin hijau. Udara jadi semakin segar.
Saat sedang asyik menghirup udara segar, sang kenek bis yang bersiaga di ambang menoleh pada saya, “Tadi uangnya berapa?” Lupa harus menjawab dengan bahasa halus, saya jawab: seket èwu. Lima puluh ribu. Ia pun berkutat dengan lembaran uang yang tersusun rapi dalam genggamannya, lalu menyodorkan beberapa lembar pada saya. Jumlahnya Rp35.000. Harga biasa, Rp15.000.
Strategi saya untuk menyaru jadi penumpang reguler barangkali berhasil. Pernah, dulu, saat menumpang bis dari Parakan ke Magelang, saya mesti membayar Rp25.000. Alasannya jelas: membawa ransel gunung, kelihatan sekali saya orang “baru” atau orang yang “cuma lewat,” tak mengerti harga. Praktik mark-up seperti ini lazim, di mana-mana, dilakukan oleh siapa saja.
Sekitar satu setengah jam kemudian, bis itu melaju pelan di depan RS Ngesti Waluyo, Parakan. Dari sana, melewati bundaran, ia belok kiri lewat jalan kecil menanjak diapit ruko-ruko lawas yang berselang-seling dengan bangunan modern. Di pertigaan pertama, saya turun, kemudian berteduh dari gerimis di emperan Toko Mahkota.
Gelap sudah turun. Aspal yang basah tampak menyala memantulkan cahaya, entah dari lampu jalan atau dari bohlam yang menggantung di kanopi-kanopi bangunan. Satu per satu, para pramuniaga Toko Mahkota beranjak ke luar menghampiri sepeda motor masing-masing. Pastilah toko itu hendak tutup. Saya menggeser posisi ke bangunan lain, lalu duduk termenung berselimut dingin, menunggu kawan yang sebentar lagi akan menghampiri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.