Berbicara mengenai Maluku, sepintas yang tersaji di lembar sejarah hanya berkutat pada komoditas rempahnya yang begitu mendunia pada abad perniagaan. Di baliknya terdapat narasi besar mengenai ritme perdagangan dunia yang memengaruhi hadirnya gelombang kolonialisme Eropa besar-besaran. Seolah Maluku sendiri tak memiliki identitas yang kuat selain mengandalkan komoditas rempahnya, serta narasi yang terbawa oleh para bangsawan Eropa kala itu. Alhasil kami yang meyakini adanya peristiwa sejarah turut mengamini dan melanggengkan narasi tersebut.

Padahal sebagaimana tradisi tutur yang berkembang di Maluku, bangsa Portugis dan Spanyol yang merapat ke daerah itu mampu bertahan selama berabad-abad lamanya hanya dengan mengonsumsi pangan lokal. Pangan tersebut merujuk pada olahan sagu yang sampai sekarang jarang terekam oleh sejarah.

Di dalam sagu terdapat pengetahuan lokal, seperti teknik pengelolaan serta budaya masyarakat yang sampai hari ini masih bertahan. Sekalipun pada masa pemerintahan Soeharto, sagu tersebut sempat mengalami penyingkiran akibat kebijakan penyeragaman pangan yang berlangsung di hampir setiap daerah.

Diskusi Film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu

Prolog tersebut merupakan catatan elaborasi mengenai sebuah diskusi yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 21 Juni 2023. Diskusi sekaligus screening dokumenter tersebut merupakan inisiasi Lingkar Studi Sejarah (LSS) Arungkala Yogyakarta bersama tim produksi film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu.

Membawa historiografi mengenai sagu yang jarang diproduksi oleh narasi sejarah di Indonesia, film Hula-Keta berupaya menyoroti cara memperoleh, mengolah, hingga mengonsumsi sagu, serta kaitannya dengan konteks tradisi yang berlangsung di kawasan Maluku Utara. Bahkan dalam tagline-nya, film ini membawa premis “Bukan Maluku Tanpa Sagu” yang menegaskan pentingnya sagu bagi kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

Menurut Daya, produser di balik terciptanya film tersebut, mengungkapkan alasan di balik pemilihan nama “Hula-Keta”. “Hula” memiliki arti sagu bagi masyarakat Maluku, serta “Keta” mengacu pada teknik pengolahannya, yakni memanggang.

Hula itu sagu, sedangkan keta memiliki makna panggang. Istilah keta kerap masyarakat Maluku gunakan untuk merujuk pada cetakan sagu,” pungkasnya sembari menjawab pertanyaan dari pengunjung.

Daya juga mengisahkan pengalamannya selama satu minggu berada di Maluku. Pada saat itu, orang di luar Maluku kerap mengenal makanan khas Maluku Utara itu dengan sebutan roti sagu. Namun, bagi masyarakat Maluku Utara sendiri istilah tersebut justru asing. Mereka malah lebih mengenal hula sebagai makanan yang telah menghidupi mereka sehari-hari.

Sejalan dengan hal tersebut, Hula-Keta berupaya menyoroti beberapa aktivitas warga lokal yang sehari-harinya mengonsumsi sagu. Biasanya mereka mengonsumsi sagu sembari menyeduh teh di pagi hari, atau kerap menyelingi dengan beberapa lauk tambahan, seperti ikan, daging, sayur, hingga kudapan lainnya. Bahkan yang menarik, sedari bayi masyarakat Maluku Utara sudah terbiasa mengonsumsi sagu encer yang lebih menyerupai papeda. Maka sejalan dengan kehidupan mereka, sagu begitu menumbuh melalui identitas maupun kebutuhan mereka.

Selain menyoroti ihwal konsumsi, film Hula-Keta juga menghadirkan cara memperoleh dan mengolah sagu. Di beberapa adegan, terdapat adanya para lelaki yang mengambil hula dari ketela pohon yang kemudian menggunakannya sebagai bahan dasar pembuatan sagu. Setelah mendapatkan bahan dasar tadi, kemudian para ibu mengolahnya melalui alat cetak khas mereka yang terbuat dari tanah liat. Olahan tersebut menghasilkan bentuk hula yang lebih menyerupai roti kotak dengan kepulan asap yang masih segar.

  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu
  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu

Alternatif Pangan di tengah Gempuran Beras

Saya sendiri berkesempatan menjadi moderator selama berlangsungnya diskusi tersebut. Saya berhasil mencatat beberapa poin yang kiranya menarik untuk dibicarakan. Salah satu poinnya adalah kehadiran sagu atau hula sebagai alternatif pangan di tengah ketergantungan akut masyarakat dengan beras.

Sejalan dengan itu, Shinta Dewi Novita Sari selaku pengulas ketahanan pangan pada film tersebut turut menegaskan pentingnya kehadiran sagu. Menurutnya sagu bisa menjadi alternatif pangan lokal maupun nasional, karena pengelolaannya yang tidak memakan banyak ruang. Serta kandungan di dalamnya yang lebih minim risiko daripada beras. Adapun beras sendiri kerap menjadi masalah, lantaran kurangnya lahan pengolahan serta kandungan gulanya yang berisiko pada diabetes.

Di luar konteks biologis, sagu sendiri ternyata bisa ditarik dengan konteks sejarah dan politik di negeri ini. Hal tersebut ditegaskan oleh Subiyanto, sutradara di balik hadirnya film Hula-Keta. Menurutnya, sebelum para tim produksi terjun ke lapangan, beberapa dari mereka melayangkan pembacaan bahwa masyarakat Maluku hari ini telah mengalihkan sagu menjadi beras. Pembacaan tersebut berdasarkan pada konteks kebijakan penyeragaman pangan oleh rezim Orde Baru ke berbagai daerah di Indonesia.

Akan tetapi, pembacaan tersebut segera dinegasikan dengan kondisi faktual di lapangan. Ternyata sampai hari ini masyarakat Maluku Utara, sedari bayi sampai lansia, masih menjadikan sagu sebagai kebutuhan utama. Bahkan sagu dapat mereka peroleh dengan mudah di pasar layaknya mencari mi instan di warung.

Berangkat dari diskusi tersebut, saya sendiri menyadari betapa pentingnya pengetahuan lokal bagi kelangsungan masyarakat lokal itu sendiri. Ketika penduduk Jawa hari ini amat bergantung terhadap beras, justru di Maluku Utara ketergantungan tersebut tidak begitu berlaku lantaran kuatnya pengetahuan lokal yang mereka tanamkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar