Salah satu rumah makan yang menggurita dan ekspansif serta mudah dijumpai di berbagai daerah di seantero Indonesia adalah rumah makan Padang. Rumah makan ini amat terkenal di berbagai kepulauan Indonesia, bahkan dunia. Sajian-sajiannya disukai oleh berbagai kalangan lintas etnis dan bangsa.
Menu-menunya terkenal enak dan lezat. Para pengelolanya adaptif terhadap selera masyarakat di mana rumah makan itu berada. Rumah makan Padang di luar Sumatera Barat umumnya tidak terlalu pedas. Berbeda dengan yang berada di tempat asalnya, yang kebanyakan menyukai rasa pedas.
Rumah makan Padang juga hadir sesuai kelas dan tingkatan sosial. Dari kelas kaki lima dengan harga ekonomis dan terjangkau oleh kalangan bawah, hingga restoran bintang lima dengan target konsumen menengah ke atas.
Hanya saja, penamaan rumah makan Padang dinilai tidak begitu tepat. Karena asal makanan dan pebisnis rumah makan Padang, seperti yang ditulis Wikipedia, tidak hanya berasal dari kota Padang, tetapi justru lebih banyak berasal dari wilayah lainnya seperti Agam, Lima Puluh Kota, Padang Pariaman, Tanah Datar, dan berbagai wilayah lainnya di Sumatera Barat. Berbagai wilayah itu memiliki ragam kuliner dengan cita rasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Boleh jadi, yang lebih tepat, dinamakan Rumah Makan Minang atau Restoran Minang. Selain dari sisi cakupan geografis asal pebisnisnya, juga karena menu-menu yang disajikan adalah menu-menu khas Minang. Namun, tak bisa dipungkiri, faktanya sebutan “Padang” lebih kadung populer daripada “Minang”. Rumah makan Padang sudah terkenal di mana-nama di seantero Indonesia, bahkan di beberapa negara.
Rumah Makan Padang dan Sajian Khas Minang
Yondri, dkk dalam buku Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan Perilaku Generasi Muda Terhadap Tatakrama Budaya Minangkabau di Kota Padang (2012) menyatakan, Padang lebih sering disebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang suku asal. Padahal Padang adalah nama ibu kota provinsi dari Sumatera Barat. Sedangkan Minangkabau—yang sering disingkat Minang—merujuk pada etnis dari geografis yang tak hanya meliputi wilayah Sumatera Barat, tapi juga beberapa wilayah di Riau, Bengkulu, Jambi, bahkan hingga ke Negeri Sembilan di Malaysia.
Minangkabau sendiri kaya akan khazanah kuliner yang khas dan kondang akan kelezatannya. Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Minangkabau, Pusaka Nenek Moyang yang Pantas Disayang (2019) menyatakan, kuliner Minang cukup beragam, tetapi cenderung menonjolkan rasa pedas dan gurih yang berasal dari cabai dan santan. Hampir semua masakan khas Minang menggunakan cabai dan santan, baik masakan dari nabati maupun hewani, kedua bumbu tersebut tak pernah absen menyertai.
Lebih lanjut disebutkan, eksistensi kuliner Minang terbukti dengan banyaknya restoran atau warung makan di luar daerah bahkan hingga mancanegara (Australia, Amerika, dan Belanda) yang terkenal dengan nama Restoran Padang. Dikukuhkannya rendang sebagai masakan terenak di dunia versi CNN Go tahun 2011, bahkan hingga 2017, juga menguatkan citra kuliner Minang yang mampu menembus mancanegara.
Namun tak semua makanan khas Minang dapat diakomodasi semua dalam rumah makan Padang. Rumah makan Padang juga tidak mewakili makanan yang disantap sehari-hari orang Minang di rumah. Menu-menu yang dihadirkan umumnya ditemukan saat acara kenduri seperti baralek (pesta perkawinan) atau acara mandoa (syukuran) dalam adat Minang.
Menu yang umum dijumpai di rumah makan Padang adalah jenis masakan yang bahan bakunya mudah didapat di wilayah rumah makan itu berada, seperti beragam masakan ayam (ayam goreng/bakar, gulai ayam, ayam pop), beragam ikan (gulai ikan kakap, ikan asam padeh), beragam gulai (gulai tunjang, gulai daun singkong), dendeng (dendeng balado, dendeng batokok), aneka sayur, serta berbagai masakan lainnya, dan tentu saja rendang yang telah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia versi CNN.
Tradisi Merantau Orang Minang
Mengguritanya rumah makan Padang di berbagai daerah di seantero Indonesia, bahkan di mancanegara, antara lain di Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Singapura, dan Tiongkok, tak lepas dari tradisi merantau urang Minang.
Sebuah sumber menyebutkan, adat merantau di suku Minangkabau telah dijalankan sejak abad ke-14 di mana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia, dan ke pesisir barat Sumatera. Pada akhirnya mereka mendirikan koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh (keturunannya disebut dengan sebutan Aneuk Jamee).
Kemudian pada tahun 1511, saat Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis banyak keluarga Minang yang berpindah ke Sulawesi Selatan dan mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta dan sang istri Tuan Sitti, adalah yang nantinya menurunkan keluarga Minangkabau di Sulawesi.
Gelombang migrasi juga terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur, mulai dibuka.
Menurut Yondri, dkk (2012), di balik adat istiadat merantau, terselip alasan mengapa suku Minangkabau senang berpindah tempat, di antaranya adalah faktor budaya yang disebabkan oleh adanya sistem kekerabatan matrilineal. Sistem ini menyebabkan penguasaan harta pusaka dipegang kaum perempuan, sedangkan hak kaum pria cukup kecil. Hal inilah yang akhirnya mendorong kaum pria Minang untuk pergi merantau.
Selain itu, faktor lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Hasil pertanian dan perkebunan tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan bersama karena harus dibagi dengan beberapa keluarga sehingga mendorong masyarakat untuk merantau.
Asal Muasal Nama “Rumah Makan Padang”
Soal sejak kapan rumah makan Padang eksis dan menggurita di berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara, tak ada catatan sejarah yang dapat dirujuk. Hanya saja, sebuah artikel yang ditulis Dr. Suryadi, dosen di Universitas Leiden, Belanda, di niadilova.wordpress.com (14/07/2014 ) yang berjudul Asal Nama “Restoran Padang” menunjukkan sebuah iklan tentang masakan Minangkabau di Cirebon pada tahun 1937. Iklan yang dimuat selama beberapa bulan di harian Pemandangan terbitan Batavia itu di antaranya menyebutkan:
“BERITA PENTING! Kalau toean2, njonja2 dan soedara2 djalan2 di Cheribon, djika hendak makan minoem jang enak, sedap rasanja, bikinan bersih mendjadi poko[k] kesehatan, silahkanlah datang ke: PADANGSCH-RESTAURANT “Gontjang-Lidah” [beralamat di] Pasoeketan 23 Cheribon….”.
Dari iklan tersebut, Dr. Suryadi memberikan catatan, di antaranya, sangat mungkin kata “Padangsch-Resrtaurant” adalah asal muasal dari istilah “restoran Padang” yang dikenal di rantau-rantau orang Minang di zaman sekarang. Jadi, istilah itu rupanya terkait dengan pemakaian bahasa Belanda di zaman kolonial: para perantau Minang pada masa itu memakai istilah “Padangsch-Restaurant” untuk menyebut masakan Minangkabau yang mereka jual.
Iklan itu juga menyebutkan bahwa Restoran Padang Goncang Lidah ada di Cirebon. Ini, menurut Dr. Suryadi, menandakan bahwa pada tahun 1930-an perantau Minang sudah menyebar di Pulau Jawa, tidak hanya di kota-kota besar seperti Batavia dan Bandung, tapi juga kota-kota kecil lainnya. Nama pemilik (eigenaar) restoran itu bernama B. Ismael Naim, agaknya ia berasal dari daerah Bukittinggi.
Faktanya, hari ini, rumah makan dan restoran Padang berdiri di berbagai daerah di seantero Indonesia. Hampir di setiap sudut kota, terdapat rumah makan Padang dengan sajian menu-menu khas Minang yang enak dan lezat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!