Hari Buku Nasional: Suara-Suara Pegiat Literasi

Beberapa waktu lalu sempat heboh lagi dengan data (katanya) dari UNESCO yang tersebar di internet. Kabarnya, UNESCO menyebut bahwa angka minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.

Beberapa media massa hingga lintas lembaga negara mengutip informasi tersebut. Salah satunya seperti yang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sampaikan di situs resmi mereka pada 10 Oktober 2017. 

Sementara pada saat bersamaan, di rentang waktu yang tidak terlalu lama, muncul hasil riset World’s Most Literate Nations (WMLN) dari Central Connecticut State University pada Maret 2016. Dari studi yang menganalisis indeks perilaku dan melek huruf tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara. Persis di bawah Thailand dan hanya setingkat di atas Botswana.

Anak-anak tetangga sekitar membaca buku di teras Busa Pustaka milik Adi Sarwono via Twitter
Anak-anak tetangga sekitar membaca buku di teras Busa Pustaka milik Adi Sarwono via Twitter/adionooo

Minat Baca vs Akses Baca

Ketika saya mencoba mengkonfirmasi kepada beberapa pegiat literasi, berita yang dikutip Kominfo dan sejumlah media itu sepertinya tidak tepat. Mereka membantah. Salah satunya seperti penjelasan Lalu Abdul Fatah (34 tahun) melalui wawancara yang kami lakukan melalui surat elektronik.

“Seorang kawan saya yang juga bergerak di literasi malah terang-terangan bilang kalau berita tersebut tidak benar. Karena sampai sejauh ini pun belum menemukan dokumen resmi yang dikeluarkan UNESCO terkait tingkat minat baca kita,” jelas penulis buku Rindu Lindu (2019), Ombak Oranye (2017), dan Travelicious Lombok (2011) itu.

Jika melihat data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), terungkap bahwa Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia sebenarnya mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir. Mengutip pernyataan Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, seperti termuat dalam Media Indonesia  (14/2/2023), IPLM tahun 2022 berada pada skala 64,48 atau skor 13,55. Meningkat dari tahun 2019 pada skala 48,17 atau skor 10,12.

Meskipun begitu, nilai tersebut masih berada pada kategori sedang dan lajunya sangat lambat. Syarif menyebut beberapa penyebabnya, antara lain terhambatnya sarana prasarana dan tenaga, serta anggaran yang kurang memadai.

Alih-alih meributkan data UNESCO dan hasil riset IPLM, Fatah—sapaan akrabnya—lebih memercayai tentang tidak meratanya akses buku bacaan di Indonesia. Baginya tampak jelas ketimpangan koleksi buku perpustakaan, ragam buku, serta jumlah toko buku antara tempat tinggalnya di Lombok dengan kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Perbedaan tersebut benar-benar ia saksikan dan rasakan sendiri setelah sempat 13 tahun merantau ke Jawa.

“Akses terhadap buku, itu yang sangat-sangat kurang di daerah saya. Apa kabar daerah lain yang makin jauh dari Pulau Jawa?” tanya alumnus S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu dengan nada retorik.

Adi Sarwono (33 tahun), pendiri Busa Pustaka, setali tiga uang. Pegiat literasi di Bandar Lampung itu menyebut bahwa bukan minat baca kita yang rendah, melainkan akses baca yang minim bahkan nyaris tidak ada.

“Itu pun memang lebih karena masyarakat telah terlena dari ketidakhadiran atau tidak adanya fasilitas akses bacaan masyarakat, khususnya anak-anak,” paparnya dalam wawancara yang kami lakukan melalui saluran Whatsapp.

Aksi Literasi Lewat Buku dan Perpustakaan Keliling di Lampung

Sejak 2017, Mamang—panggilan akrab Adi Sarwono—mendirikan Busa Pustaka di rumahnya sendiri di Bandar Lampung. Sebuah rumah baca untuk memfasilitasi akses bahan bacaan puluhan ribu anak secara gratis. Dari awal hanya memiliki koleksi kurang dari 10 buku, saat ini sudah terdapat ribuan buku berbagai macam judul dan akan terus bertambah.

“Pendirian Busa Pustaka berawal dari keprihatinan saya terhadap minimnya akses bacaan anak-anak di beberapa tempat, bahkan nyaris tidak ada,” terangnya. Meskipun sering terkendala problem klasik, seperti kekurangan buku, alat edukasi, dan keterbatasan akomodasi dalam giat literasi, sejauh ini masih bisa terselesaikan dengan semangat yang Mamang miliki bersama para relawan. Kondisi yang seharusnya jadi lebih baik apabila mendapatkan dukungan maksimal.

Adi Sarwono alias Mamang (topi merah) mendampingi anak-anak dalam kegiatan perpustakaan keliling bersama Busa Pustaka di Lampung via Twitter
Adi Sarwono alias Mamang (topi merah) mendampingi anak-anak dalam kegiatan perpustakaan keliling bersama Busa Pustaka di Lampung via Twitter/adionooo

Dari beberapa kiriman di akun twitter pribadinya, Mamang memang kerap terlihat berkegiatan di luar ruangan. Selain membawa “Sekolah Rakyat Busa Pustaka” ke kampung-kampung, sekolah hingga tempat-tempat terpencil, jihad literasi Mamang melalui perpustakaan keliling juga sampai menjangkau anak-anak yang hidup di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di pinggiran kota Bandar Lampung.

Anak-anak, memang menjadi fokus sasaran Mamang dan para relawan di setiap kegiatan literasi Busa Pustaka. Seperti tertera laman depan situs resmi Busa Pustaka, “Save Literacy, Save Next Generation”.  Kebiasaan membaca dan berliterasi dapat dilatih sejak dini. Anak-anak adalah ujung tombak dan harapan terbesar mewujudkan berdayanya literasi bangsa.

“Saya ingin Busa Pustaka bisa makin berkembang, Makin banyak buku, makin banyak hal-hal yang bisa diberikan kepada anak-anak, khususnya juga tentang pendampingan pendidikan anak-anak,” harapnya.

  • Kegiatan perpustakaan keliling Busa Pustaka di lingkungan TPAS di Bandar Lampung
  • Kegiatan anak-anak SD saat jeda sekolah mampir baca buku di Busa Pustaka via Twitter

Aksi Literasi Lewat Kelas Menulis Lokal di Lombok

Kegigihan berjuang di dunia literasi juga tak henti Fatah lakukan sampai sekarang. Sebagai penulis, ia tak hanya produktif membuat buku, tetapi juga aktif berbagi ilmu menulis kepada siapa pun dengan jalan yang acapkali tak terduga.

Misalnya, Kelas Menulis Tepi Danau, kelas menulis kreatif untuk anak-anak dan remaja. Idenya bermula ketika Fatah membantu mertuanya membersihkan area Lembah Hijau, yang terdapat danau buatan bekas galian pasir di dalamnya. Lembah Hijau adalah area wisata rintisan mertua Fatah sejak 2005, namun tutup total akibat gempa Lombok 2018 dan pandemi Covid-19. 

Dari rangkaian kegiatan yang berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Duta Baca Indonesia Gol A Gong, Geopark Rinjani, UAC Studio, penerbit indie Jejak Aksara Publisher, dan komunitas literasi lokal, Fatah dan tim berhasil meluncurkan sejumlah karya. Di antaranya buletin karya murid-murid kelas menulis, sampai dengan belasan naskah cerita bergambar untuk PAUD dan SD yang siap diterbitkan dan didistribusikan ke sekolah-sekolah yang ada di Lombok.

  • Lalu Abdul Fatah dan bukunya "Rindu Lindu" di toko buku Alegria Lombok
  • Lalu Abdul Fatah ketika awal bergabung dengan penerbit independen Jejak Publisher

Saat ini, Fatah turut bergabung dengan tim Jejak Aksara Publisher. Misinya adalah ingin menerbitkan lebih banyak karya para penulis lokal Lombok atau Nusa Tenggara Barat secara keseluruhan. Selain itu melalui komunitas Jejak Aksara pula Fatah dan tim terus berkembang dengan beberapa program, antara lain membuat tantangan menulis, menyelenggarakan workshop, dan banyak lagi.

Bagi Fatah, pelibatan komunitas dalam kegiatan literasi menjadi penting untuk dilakukan secara intensif. Selain memperkenalkan dunia penerbitan buku, juga sekaligus mencari dan membentuk talenta baru dalam dunia kepenulisan. “Prinsip saya, ngapain menunggu naskah masuk ke meja redaksi? Kenapa tidak ‘membentuk’ penulisnya saja?”

Di tengah masifnya media sosial di era serba digital saat ini, lalu munculnya teknologi artificial intelligence (AI), Fatah mengaku tidak akan kapok mendorong dan melatih anak-anak muda untuk belajar menulis. Menurutnya dunia masih terus membutuhkan konten kreatif.

“Perkara rasa, emosi, kedalaman spiritual, itu hanya manusia yang punya. Bukan robot seperti AI. Jadi, kita akan tetap relevan walau tantangannya jauh lebih berat,” jelas Fatah. 

  • Lalu Abdul Fatah (berdiri, kiri) dan para peserta Kelas Menulis Tepi Danau
  • Lalu Abdul Fatah (tengah, bertopi) dan para peserta Kelas Menulis Tepi Danau foto bersama setelah kelas via Instagram

Harapan itu Masih Ada

Menurut pakem UNESCO, seperti Syarif sampaikan kepada Kompas dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan diskusi bertema ”Membumikan Literasi untuk Kesejahteraan dan Kebahagiaan” yang digelar Perpustakaan Nasional di Jakarta (18/1/2022), idealnya satu pemustaka bisa mengakses tiga buku setiap tahun. Akan tetapi di Indonesia, rata-rata satu buku ditunggu oleh 90 orang. 

Maka perjuangan literasi di Indonesia tidak lagi sekadar memberantas buta aksara. Dewasa ini memungkinkan bentuk fisik dan digital berkolaborasi mewujudkan peningkatan literasi negeri. Media sosial dan internet telah memberikan kemudahan untuk menjangkau sumber literasi itu sendiri. Dan, jangan lupa, literasi adalah tugas bersama semua warga negara.

“Saya sebagai rakyat biasa juga berkewajiban untuk bergerak. Bagaimana (mewujudkan) bangkitnya literasi dan merdeka literasi di tanah air, karena literasi adalah pondasi dari semua hal,” tutur Mamang, “dan mungkin satu-satunya jalan saat ini adalah revolusi literasi nasional.”

Ide tersebut mungkin terdengar muluk. Namun, melihat kondisi saat ini, potensi yang ada, dan besarnya harapan untuk bisa terwujud dalam jangka panjang, pernyataan Mamang itu rasa-rasanya akan sangat sepadan untuk dilakukan secara menyeluruh.

Harapan itu masih ada. Asa untuk menaikkan level literasi bangsa menjadi lebih baik, dengan cara meningkatkan akses buku bacaan untuk masyarakat. Mamang dan Fatah adalah sedikit dari banyak orang-orang di luar sana yang harus kita dukung.

Dan itu bisa segera kita mulai dari diri sendiri. Tanpa basa-basi dan tidak perlu menunggu terlalu lama, Fatah turut mengajak, “Jadilah pembaca yang baik, tekun, dan kritis. Jadilah pembaca yang kemudian mengamalkan isinya. Lakukan mulai sekarang!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Leave a Comment