Kadang ada yang ogah diajak ke gunung yang sama. Pengennya ke gunung yang beda-beda terus, biar jumlah gunung yang pernah didaki nambah terus. Padahal banyak yang bisa kamu dapat kalau naik gunung yang sama berkali-kali.
Buat kamu yang anti banget mendaki sebuah gunung lebih dari satu kali, ini TelusuRI kasih 7 alasan supaya kamu bisa mempertimbangkan lagi prinsipmu itu.
1. Kamu bisa melihat sesuatu yang berbeda
Pertama kali ke Gunung X, bisa dipastikan kamu bakal lebih konsentrasi menghafal jalur. Soalnya kamu belum terbiasa dengan medan di sana. Karena fokus pada jalur, kamu melewatkan hal-hal menarik yang bisa kamu temui di kanan-kiri.
Kedua kali naik gunung yang sama, kamu bisa jelalatan karena sudah tahu jalurnya. (Sudah melakukan persiapan dengan lebih matang juga.) Kamu bisa memperkirakan kapan jalurnya mulai nanjak banget, kapan bonus, dan kapan kamu bakal tiba di pos selanjutnya. Pemandangan-pemandangan yang kelewat pada pendakian perdana ke gunung itu bakal bisa kamu lihat di pendakian kedua dan selanjutnya.
2. Kamu bakal lebih mengenal gunung itu
Karena udah nggak terlalu ngos-ngosan lagi sehingga bisa lihat keadaan sekitar, kamu bakal kenal gunung itu lebih dalam. Kamu bakal hafal setiap tikungannya serta semua informasi penting lain soal gunung itu.
Nah, jadinya kalau sewaktu-waktu ada yang perlu informasi tentang gunung itu, kamu bisa membagikannya karena kamu ingat jalurnya “verbatim.” Kamu jadi semacam expert tentang gunung itu. Kalau ada temen-temenmu yang mau naik gunung itu, pasti sebelum nanjak hubungin kamu atau ngajak kamu nongkrong dulu buat tanya-tanya soal jalur.
3. Kamu jadi saksi hidup atas perubahan-perubahan yang terjadi pada gunung itu
Gunung di Indonesia kebanyakan adalah gunung berapi (volcano). Sebagian ada yang sudah mati, sebagian tidur, dan sebagian lagi aktif. Nah, gunung-gunung yang aktif ini kemungkinan besar bakal sering mengalami perubahan bentuk, khususnya di bagian sekitar puncak atau kawah.
Merapi, misalnya. Kalau kebetulan kamu pernah naik Merapi sebelum 2006 dan sebelum 2010, kamu pasti bakal tahu perbedaan suasana Pasar Bubrah dan puncak. Mendaki sebelum 2006, kamu akan ketemu Puncak Garuda yang masih sempurna. Naik sebelum 2010, kamu akan ketemu Kawah Mati. Naik setelah erupsi 2010, Kawah Mati sudah nggak ada lagi dan bentuk puncak sudah berbeda sama sekali.
4. Kamu bisa mengukur perubahan yang terjadi pada dirimu
Pertama naik gunung, nggak mungkin kalau nggak ngos-ngosan—walaupun kamu sering olahraga. Sebabnya jelas, waktu naik gunung kita nggak cuma “berhadapan” dengan diri kita sendiri, melainkan juga dengan alam: perubahan ketinggian, suhu, dan tekanan.
Coba deh setelah sering naik gunung kamu balik lagi ke gunung pertama yang kamu daki. Pasti rasanya berbeda. Mungkin terasa lebih enak karena kamu sudah pernah “latihan” ke gunung-gunung lain yang lebih tinggi atau lebih panjang treknya dibandingkan gunung perdanamu itu. Dari sana kamu bisa mengukur sendiri perubahan-perubahan apa saja yang sudah terjadi pada dirimu.
5. Ceritanya nggak akan sama walaupun tempatnya sama
Walaupun kamu ke gunung yang sama, ceritanya pasti akan beda. Misalnya, pada pendakian perdana kamu naik kendaraan pribadi dan pada pendakian kedua kamu ngeteng—pasti rasanya berbeda.
Selain itu, base camp-nya mungkin juga sudah pindah. Harga retribusinya barangkali naik. Sekarang mungkin sudah ada ojek yang bisa mengantarkan kamu ke pintu rimba. Tapi, ya, hati-hati juga: bisa-bisa air mata kamu menitik dilanda nostalgia.
6. Orang yang kamu ajak dan kamu temui di jalan juga nggak akan sama
Nggak semua orang hobi naik gunung. Banyak yang hanya coba-coba. Sekali mendaki setelah itu kapok. Nggak kapok pun, rutinitas bisa jadi alasan bagi kawan-kawan buat menolak ajakan kamu naik gunung.
Jadi, kecil kemungkinannya kamu bakal jalan bersama orang-orang yang sama ke gunung yang sama. Pertama ke gunung itu kamu bareng si A. Sementara pendakian kedua bareng si B. Kedua orang itu punya karakter berbeda yang ngasih warna tertentu buat pendakianmu. Alhasil, cerita yang kamu bawa pulang juga beda.
7. Cuacanya juga bisa memberikan cerita yang berbeda
Naik di musim hujan dan musim kemarau pasti bakal meninggalkan kesan yang berbeda. Musim kemarau kamu harus berjuang melawan terik matahari dan debu yang mengepul.
Nanjak di musim hujan tantangannya adalah—tentu saja—hujan dan kedinginan. Kamu mesti bawa baju ganti ekstra dan siap-siap menggendong tas basah kalau-kalau air merembes lewat cover ransel. Selain itu, kamu juga mesti “kucing-kucingan” dengan hipotermia yang mengancam orang-orang letih dan kedinginan.
Jadi gimana? Udah nggak ragu lagi ‘kan buat mendaki gunung yang sama berkali-kali?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
2 komentar
Saya setuju.
Makasih, Kak. Boleh tau kenapa setuju?