Layar kelam. Dari pengeras suara bioskop terdengar suara seperti sekop sedang diadu dengan sesuatu. Lalu, layar lebar itu mendadak terang. Putih membutakan. Suara itu ternyata bukan dari sekop, melainkan sebatang tongkat logam yang dengannya sang pengguna sedang mencongkel salju dalam-dalam sampai lapisan tanah hitam di bawah kelihatan.
Apa yang sedang ia lakukan?
Tak perlu waktu lama bagi pertanyaan itu untuk terjawab. Bingkai berubah menjadi pandangan burung. Orang itu ternyata sedang “menulis” di atas salju. Tulisannya sama sekali tidak panjang. Hanya tiga huruf raksasa: SOS. Ia, ternyata, sedang minta tolong.
Ia adalah seorang penyintas kecelakaan pesawat Ayers Polar Cargo. Entah sudah berapa lama kejadian itu, tak ada penjelasan. Namun, barangkali, ia sudah agak lama terdampar di sana, sebab ia sudah sempat membuat beberapa lubang di salju untuk mencari ikan trout kutub. Ia juga sudah punya jadwal harian untuk mengirim sinyal darurat agar ditangkap radio terdekat.
Mati menunggu atau mati berusaha
Usaha sang penyintas itu untuk mencari bantuan berhasil. Sehari—atau beberapa hari—kemudian pertolongan datang. Wujudnya adalah sebuah helikopter penyelamat yang kepayahan untuk mendarat, sebab angin bertiup amat kencang.
Sang penyintas dan helikopter sudah berhadap-hadapan. Yang satu berteriak sekencang-kencangnya sementara yang lain meraung-raung sembari melayang-layang oleng di udara. Tapi, penonton akhirnya hanya bisa mengurut dada sebab helikopter itu, harapan itu, tak kuasa menahan terjangan angin. Ia menghunjam, kemudian jatuh.
Ekspresi sang penyintas, yang diperankan oleh Mads Mikkelsen, ketika harapan yang sudah (mulai) mewujud di depan mata itu tiba-tiba pupus, berhasil menguras emosi penonton film Arctic. Satu ruangan bioskop itu, yang tiga perempat penuh, mendadak hening.
Tapi film—atau hidup sang tokoh utama—harus terus berlanjut. (Film Arctic ini bukan film pendek; masih terlalu dini bagi penonton untuk beranjak ke luar.) Tokoh utama kita lalu menghampiri helikopter itu untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Ternyata, dari beberapa orang awak helikopter, ada satu yang selamat. Ia dibawa oleh sang penyintas ke kabin pesawat Ayers Polar Cargo untuk dirawat.
Sekarang pilihan hanya dua: mati menunggu atau mati berusaha. Sang penyintas memilih opsi kedua.
Manusia dan alam: siapa yang menaklukkan dan yang ditaklukkan?
Awak helikopter yang tak berdaya itu diikatkan ke kereta salju, kemudian ditarik oleh sang tokoh utama menuju pos terdekat yang lebih mungkin untuk dihampiri para penyelamat. Dari sini, film minus dialog ini menjadi semakin menarik.
Cerita selanjutnya adalah soal menghadapi berbagai rintangan, soal rencana-rencana yang harus disusun ulang, dan soal ketidakberdayaan manusia menghadapi alam yang apa adanya, yang hening, yang seolah-olah tak ambil pusing dengan nasib manusia.
Dalam sebuah adegan, tokoh utama kita jatuh ke dalam sebuah gua setelah hamparan salju yang diinjaknya amblas begitu saja. Kakinya terjepit di antara bebatuan yang, barangkali, sejak ada, baru kali itu disentuh manusia. Susah payah ia berusaha mengeluarkan kakinya dari sana. Teriakan, rintihan, air mata, semuanya tak ada gunanya—bebatuan itu bergeming.
Adegan itu membuat saya makin yakin betapa konyolnya menyematkan kata “menaklukkan” di depan “gunung” atau “alam.” Tak mungkin manusia menaklukkan alam. Jika mengubah alam liar menjadi tempat tinggal (atau membuka lahan dengan menebangi pepohonan) dianggap “menaklukkan,” bukankah pada akhirnya kita sendiri, manusia, yang akan “takluk” pada fenomena?
Akhirnya tokoh utama kita berhasil lepas dari rintangan itu, meskipun harus membiarkan tulangnya patah(?) dan dagingnya tercabik-cabik. Tentang apakah ia dan awak helikopter itu selamat di akhir cerita, baiknya kamu tonton sendiri film Arctic ini. Yang pasti, ketika film usai, kamu barangkali akan bertanya-tanya soal bagaimana sebenarnya relasi alam dan manusia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
1 comment
[…] “Arctic”: Tentang Alam dan Manusia […]