Sebagian besar tujuan wisata di Kabupaten Semarang telah membuka diri dengan menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat, seperti yang telah disuarakan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang lewat akun Instagram dan situs web resminya.
Sore itu tepat pukul 15.00 aku masih berada di Salatiga. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, rasanya penat sekali. Lalu aku mengemas beberapa barangku ke dalam tas jinjing kemudian bergegas pulang ke rumah.
Di tengah perjalanan, aku memandang ke barat. Kulihat langit begitu bersih, matahari masih menggantung tak terlalu tinggi. Mungkin hujan seharian tadi yang menyapu awan di langit. Entah kenapa, tanpa pikir panjang aku membelokkan sepeda motorku setelah Jembatan Tuntang. Itu adalah jalan alternatif dari Tuntang menuju Ambarawa. Di Dusun Sumurup, aku memasuki gang yang kanan-kirinya adalah rumah warga, salah satu pintu menuju Danau Rawapening.
Biasanya, banyak orang yang datang sore hari seperti ini guna menyaksikan matahari terbenam. Entah sudah berapa jumlah manusia yang melihat matahari terbenam dari sini. Sejak zaman dulu, sebelum masa wisata, danau ini sudah menghidupi banyak manusia, yang lalu melahirkan banyak mitos dan legenda, semisal Baru Klinting.
Lalu kutaruh motorku di lahan parkir yang hanya setengah penuh itu. Jam di pergelangan tangan kiriku memberi tahu bahwa ini masih pukul 16.00. Segeralah aku menuju sebuah warung makan apung yang berada di tepian danau. Aku memesan kopi dan mengambil beberapa gorengan untuk camilan. Warung ini juga menyewakan perahu untuk para nelayan atau pengunjung yang ingin berkeliling danau. Harga sewanya cuma antara Rp15.000-50.000 tergantung jenis perahunya.Tapi, orang-orang yang sedang memancing di sana tampaknya tak berminat menyewa perahu, hanya ingin mencari ikan di tepian.
Di depan warung apung itu terbentang rel kereta peninggalan masa kolonial. Sekarang rel itu hanya dilewati kereta api wisata. Ada dua rute kereta api wisata lawas yang dapat dipilih, yakni Stasiun Ambarawa-Tuntang dan Stasiun Ambarawa-Bedono, membelah area persawahan, Danau Rawapening, sambil melihat gunung-gunung di Jawa Tengah seperti Merbabu, Telomoyo, Ungaran, Sindoro, dan Sumbing. Jika tak ada kereta wisata yang melintas, rel ini dimanfaatkan masyarakat untuk membawa rumput untuk pakan ternak atau eceng gondok sebagai bahan kerajinan.
Sudah pukul 16.45. Para nelayan dan pengunjung yang berkeliling danau silih berganti menyandarkan perahu. Dengan raut muka lelah mereka berbondong-bondong menuju rehat. Nelayan tak sebanyak hari-hari sebelum pandemi, mungkin karena adanya pembatasan jumlah pengunjung. Atau mungkin orang-orang memang membatasi diri untuk tidak bepergian di masa corona ini.
Sebelum senja tanggal, aku segera membayar kopi dan gorenganku, lalu menuju rel kereta api. Dari sini memang matahari menjelang pamit memang tampak indah. Kulihat lalu-lalang para pengunjung, nelayan, dan kerumunan bebek sedak digiring pulang pemiliknya, juga burung-burung yang terbang rendah di atas danau. Rutinitas senja yang sibuk.
Kuambil buku kecil dari dalam tas yang juga kecil, lalu kutulis ini:
“Pulanglah, petang telah mengambang di ujung barat. Segera bawa kakimu menuju rehat, karena hari ini tualangmu telah usai. Lekas bergegas sebelum sore semakin tandas dalam malam yang jatuh dengan damai, sedamai kala rumah telah kau jamah, dengan senyuman terkasih yang memanggil lirih. Menjemput pulangmu, memeluk rindumu.”
Matahari pun telah habis tenggelam dengan sempurna, menyisakan mega merah yang menggantung di langit. Beberapa orang masih sibuk berfoto. Ada pula yang masih berbincang dengan sahabat-sahabatnya menjemput malam. Sisanya memutuskan untuk pulang. Aku menjadi bagian dari sisanya. Bergegas kumasukkan buku dan ponsel ke dalam tas, lalu aku berjalan menuju tempat parkir.
Sayup-sayup terdengar suara azan Magrib berkumandang. Segeralah aku pulang.
Foto: Alifan Ryan Faisal
Pekerja lepas bidang pariwisata, pemilik usaha kedai kopi, pendiri sebuah komunitas bernama "Kopi Peduli." Tinggal di Kabupaten Semarang.