Kamis, 29 Oktober 2020, pukul 10.15, antrean sudah memanjang di depan loket Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda atau Dago Pakar.
Untuk berwisata di Tahura Djuanda pada masa pandemi COVID-19 ini, pemesanan tiket dan pembayarannya dilakukan secara daring, bisa dibayar dengan OVO ataupun GoPay. Nantinya, di depan loket tiket, pengunjung tinggal menunjukan bukti pembayaran. Kemudian petugas akan memberikan gelang berwarna hijau bertuliskan Tahura Djuanda Bandung sebagai bukti bahwa tiket sudah lunas.
Diresmikan pada 14 Januari 1985 silam dengan Keputusan Presiden No. 3/1985, Tahura Djuanda masih jadi salah satu tujuan favorit bagi penggemar hiking. Meskipun demikian, tempat ini juga cocok bagi para orangtua yang ingin mengenalkan alam pada anak-anak mereka. Selain atraksi wisata alam, Tahura Djuanda juga menyimpan peninggalan sejarah berupa gua Jepang dan Belanda. Untuk masuk ke gua-gua yang gelap itu, kita bisa menyewa jasa “volunteer” . Dengan alat penerangan, mereka akan membawa kita menelusuri lorong-lorong gua sambil menceritakan sejarahnya.
Trek lintas-alam di Tahura Djuanda membentang sepanjang 5 km. Pintu utama berada di Dago Pakar, Kota Bandung, dan ujungnya adalah Maribaya, Lembang. Karena berada di pegunungan, jalan yang dilalui menanjak dan menurun. Sebagian ruas sudah dilapisi bata beton, sementara sebagian lainnya masih setapak tanah yang bila hujan akan becek di titik-titik tertentu.
Sepanjang jalan akan tampak hutan dengan vegetasi yang bervariasi, juga fenomena geomorfologis khas Patahan Lembang. Selain bentang alam dan hutan yang sejuk, akan tampak pula monyet-monyet di habitatnya yang terjaga. Monyet-monyet di sini tidak mengganggu, malah cenderung tak acuh bila ada rombongan pesepeda atau pelintas-alam yang lewat.
Malas bawa bekal, di sepanjang jalur ada warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman. Kelapa muda atau mi panas pas sekali untuk disantap di tengah-tengah kesejukan hutan raya.
Ada satu lagi yang menarik dari Tahura Djuanda, yakni penangkaran rusa. Tempatnya berada setelah jembatan gantung. Setelah menyeberang, tinggal tekuk kanan dan berjalan sekira 150 meter kita akan menjumpai belasan rusa. Kita bisa memberi mereka makan dengan dedaunan atau wortel yang sudah disiapkan petugas penangkaran. Rusa di penangkaran umumnya jinak, sampai-sampai ada satu-dua rusa yang oleh petugas diperkenankan untuk dielus-elus atau diajak berfoto.
Karena area penangkaran ini cukup luas dan akan becek jika hutan, dibangun sebuah jembatan yang cukup tinggi. Jembatan itu bertema hutan, dibangun dari kayu dan bambu. Di beberapa titik ada gubuk untuk istirahat.
Kalau masih kuat, dari penangkaran rusa kita bisa lanjut ke ujung Tahura Djuanda, yaitu Curug Omas yang berada di Maribaya, Lembang. Trek menuju ke sana masih naik-turun. Jika membawa anak, tak ada salahnya untuk memandu mereka memilih pijakan yang pas di ruas-ruas yang licin.
Di Curug Omas ada sebuah lapangan cukup luas yang pas jadi tempat istirahat. Pohon-pohon besar di sekitar lapangan itu menapis terik matahari dan membuat hawa jadi sejuk. Tak bawa alas duduk? Sewa saja dengan tarif Rp20.000 sepuasnya. Sedikit di atas lapangan, berjejer warung dengan menu khas Sunda.
Untuk ke Curug Omas, kita bisa lewat jembatan di bawah lapangan itu. Tapi hati-hati jika ingin mengabadikan Curug Omas. Minimal persiapkan pelindung agar kamera tak kena tempias air terjun.
Dari Curug Omas, ada dua opsi rute untuk pulang. Pertama, kembali ke pintu utama di Dago Pakar, 5 km dari sana. Kedua, lewat pintu keluar yang jaraknya hanya 900 m dari Curug Omas. Tinggal dipilih saja menyesuaikan dengan rencana.
Foto: Morgen Indriyo Margono
'Senior broadcaster' di Bandung dan konsultan komunikasi.