Travelog

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian

Muhammad Dwi Prasetyo, atau yang akrab saya panggil Pras adalah petani muda yang saat ini aktif menekuni pembibitan cokelat. Baginya, cokelat adalah sebuah masa depan yang menjanjikan. Camilan yang digemari semua kalangan.

Namun, meskipun pembibitan yang ia kembangkan murni bisnis, tapi ia juga tak lupa, lewat bisnisnya itu dia berupaya menyediakan bibit-bibit cokelat terbaik yang bisa dibudidayakan petani. Tak jarang Pras mencari berbagai bibit terbaik di Sumatra. Dalam beberapa tahun belakangan, misalnya, sudah tiga kali ia mengarungi pulau kelahiran saya itu. Pulau yang terkenal dengan harimau sumatra, satwa langka yang saat ini habitatnya terancam punah.

Pukul 06.30 WIB saya menuju ke kediaman Pras di Tompak, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo. Tak lewat pukul delapan, dari Sewon, Bantul, saya sampai di rumahnya. Setelah menyelesaikan kuliah, kami memang jarang bertemu, terakhir mungkin satu tahun lalu. Jarang bertemu tak membuat saya dan Pras merasa renggang. Bagi saya Pras masihlah Pras yang saya kenal, ramah pada banyak orang dan selalu menawarkan kepada siapa pun yang ia jumpai untuk menyambangi rumahnya. Katanya, hal itu pula yang menyelamatkannya dari perjalanan panjang ke Sumatra. Ia berpindah dari rumah satu teman ke teman yang lain.  

Tidak lama setelah sampai di rumahnya, saya disuguhi sarapan dan kopi. Saya melahap semangkuk mi dan tahu yang ia sodorkan. Selanjutnya kami berbincang layaknya sahabat yang ingin tahu kabar sahabatnya. 

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras memanen cokelat yang tumbuh di kebun cengkih miliknya/Janika Irawan

Saya Datang Untuk Cengkih, Bukan Cokelat

Tanpa basa-basi, Pras mengajak saya mengambil cokelat batangan yang siap konsumsi di salah satu kedai temannya. Kedatangan saya ini tidak untuk cokelat, tapi untuk cengkeh, Pras! Bukankah hal itu sudah saya sampaikan seminggu sebelum saya ke sini, setelah melihat status WhatsApp-mu?

“Sudah ada yang pesan,” ujar Pras.

Cukup lama saya dan Pras di kedai yang terletak di wilayah Purworejo itu. Di perjalanan saya sudah katakan, “Jauh juga tempatnya, Pras.” Tapi dengan sangat santai lelaki jangkung berambut gondrong ini menjawab, “Nggak jauh, cuma 30 menitan.” 

Deni, pemilik kedai, juga sangat baik hati. Ia membuat cokelat panas dan menyuguhkannya pada kami. Sebelum itu, terlebih dahulu Deni menyodorkan cokelat yang masih berupa gepengan setelah biji cokelat digiling dan dipisahkan dari minyaknya—atau yang dikenal sebagai mentega kakao, yang pada tahapan selanjutnya diperlukan sebagai perekat dalam proses pencetakan cokelat konsumsi—untuk saya cicipi.

Ini pengalaman pertama saya mencicipi cokelat murni. Rasanya kalian tahu? Pahit sekali!

“Kalau tidak pakai gula, nggak kuat minum ini,” sergah saya di tengah obrolan sembari minum cokelat panas. “Saya suka kopi tanpa gula, tapi cokelat ini pahitnya lengket banget di mulut.”

Deni tersenyum mendengar ucapan saya, dan Pras tidak memberikan reaksi apa pun. Dalam hati saya berucap, kapan kita pulang, Pras? Tujuan saya bukan untuk cokelat. Walau saya juga mensyukuri cokelat panas pagi ini, tetapi kedatangan saya tetap untuk cengkih.

Mungkin nyaris satu jam kami di sana. Setelah membayar 35 keping cokelat yang ia pesan dari Deni, cokelat yang katanya sudah dipesan pembeli sebagian, kami pun pulang. Di rumahnya, ada dua mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, satu anggota pers kampus, dan satu lagi fotografer atau lebih tepatnya pembelajar fotografi. Ia datang untuk mengambil foto petani panen cengkih.  

Setelah saya dan Pras sampai di rumahnya kembali, dua mahasiswa UIN tersebut sudah menunggu. Pras kemudian masuk. Beberapa waktu kemudian ia keluar membawa teko kopi. 

“Ini sudah mau pukul 11 siang, Pras, mau kapan lagi ke kebun?” batin saya. Kiranya setelah setengah jam ngopi dan ngobrol barulah kami bergegas. 

Kebun cengkih yang ia punya tak jauh dari rumah, kurang lebih satu kilometer. Dari rumah kami mengendarai sepeda motor ke arah barat. Jalan di tempat ini memang jalan yang rebah di punggung perbukitan. Menanjak, tentu saja. Tak beberapa lama kami menepi dan memarkirkan motor di sebuah pendopo di sisi kanan jalan.  

“Kalau cuma dekat seperti ini mending jalan aja tadi,” kata saya pada Pras setelah berkendara tak lebih dari 300 meter. Namun, Pras tak menjawab berlebihan. Dia hanya bilang, “Malas, capek.”

  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian

Cengkih adalah Harapan yang Dinanti

Saya baru tahu, salah satu tanaman yang dulu pernah jadi buruan bangsa Eropa ini butuh waktu yang amat panjang untuk menuai hasil. Saya kira, tanaman seperti kopi yang saya kenal—karena orang tua saya seorang petani kopi—panen satu tahun sekali itu sudah cukup lama. Belum lagi setiap waktu, gulma-gulma harus rutin dibersihkan untuk menjaga pertumbuhan kopi agar bisa maksimal berbunga dan menghasilkan buah yang berkualitas. Bahkan masalah lain sering pula muncul, dua atau tiga tahun sekali harus berhadapan dengan hama penggerek buah. Kopi yang biasanya menghasilkan satu ton biji kering bisa menyusut lima puluh persen atau lebih jika terserang hama ini. Cengkih, tanaman yang dimuliakan, berbunga (dan menghasilkan) begitu lama.

Cengkih adalah harapan yang ditunggu bertahun-tahun. Tanaman yang sangat khas dengan racikan rokok kretek dan bumbu masakan tersebut tidak menghasilkan kuncup bunga setiap tahun. Lebih tepatnya, meskipun berbunga, bunganya tak selebat sekarang. Seperti halnya cengkih di Kulon Progo yang terakhir kali panen raya kurang lebih empat tahun lalu. Tahun ini adalah tahun emas yang dinanti-nanti. Panen raya segera tiba. 

“Cengkih ini butuh waktu kemarau panjang. Jadi, setelah musim hujan dia harus menumbuhkan dulu daunnya lalu kemudian bisa menghasilkan,” ujar Pras menjelaskan sembari kami menyusuri lahan terasering yang tertata rapi. “Orang dulu bisa menata kebunnya dengan rapi,” ia memperlihatkan susunan batu tersering yang sudah disusun mungkin puluhan tahun lalu, atau bahkan lebih dari itu.

Betapa canggihnya petani dulu, pikir saya. Teknologi pertanian tersebut mampu menjaga erosi tanah di lahan pertanian tebing yang biasanya banyak ditemui di daerah perbukitan, seperti Kulon Progo. Teknologi pertanian yang sudah lama kita kenal dan jadi bahasan di ruang kuliah, sebagaimana halnya yang pernah saya rasakan.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Terlihat terasering yang tersusun rapi/Janika Irawan

Cengkih sebagai Tabungan

Saya kira cengkih seperti kopi atau lada yang dijual dalam kondisi kering setelah melewati beberapa hari penjemuran. Sama seperti padi, di tempat saya di Sumatra, saya tidak mengenal istilah jual gabah. Di sini, di tanah Jawa, jual gabah adalah hal yang lumrah. Bahkan, melalui televisi bapak saya pernah sangat kagum dan terpukau bahwa di Bantul, Yogyakarta, satu hektare sawah bisa menghasilkan 8,8 ton.

Berpuluh-puluh tahun bapak menyaksikan petani kampung kami begitu gigihnya mencangkul dan merawat padi, hasil sebanyak itu hanya angan-angan. Jumlah itu pada realitasnya tidak lain hanyalah gabah, sedangkan hasil bagi kami di kampung ialah hasil akhir: beras. Luluh lantak sudah keterpukauan itu jika bapak mengetahuinya. Saya tidak mengerti apakah bapak sudah mengetahui hal ini. Semoga saja iya.

Sepengetahuan saya cengkih hanya dijual dalam keadaan kering. Namun, sepenuhnya anggapan itu terbantahkan. Pras mengatakan, petani bisa menjual cengkih dalam keadaan basah setelah dipanen.

“Harga cengkih basah sekarang 33 ribuan, itu sudah lumayan. Dulu pas aku SMP pernah tembus 45–50 ribu,” ujar Pras.  

Harga cengkih kering di pasar sekarang ini murah, kata Pras, sekitar 100 ribu rupiah. Untuk itu, petani cengkih di sini terkadang lebih memilih menyimpan hasil panennya dan dijual saat harga tinggi.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras menunjuk tanaman rempah kemukus di area kebun cengkih/Janika Irawan

Saya membatin. Dari mana petani ini hidup, Pras, kalau hasil panen itu mereka simpan hingga harga tinggi? Daun cengkih tidak bisa mengenyangkan, bukan? Kalau harga tak beranjak hingga tahun depan lalu bagaimana, oh, Pras? 

“Jadi, kita bisa memetakan petani dari situ. Petani yang punya cengkih, hasil panennya hanya mereka keringkan lalu disimpan. Karena nanti ketika harganya 200 ribu itu mereka jual. Jadi, orang sini sehari-hari hidup dari rempah,” katanya Pras menjelaskan dan saya tidak bertanya lanjut. Di sela-sela pohon cengkih yang mungkin berjarak tujuh meteran itu dipenuhi tanaman rempah. Di antaranya lada, kemukus, dan kapulaga. Jadi, secara sederhana, petani punya siasat jitu memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Hanya dua orang petani yang kami temukan di sepanjang perjalanan mengitari kebun cengkih. Kami pun mengamati petani memanen cengkih di atas pohon setinggi kurang lebih 20 meter. Tangga dari bambu menjulang tinggi bersandar di batang cengkih, pangkalnya berpijak di tanah, ujungnya berlomba-lomba dengan tinggi pucuk pohon. Jika pohon lebih tinggi dan tangga sepanjang 10 meter tak lagi mampu menjangkau, mereka menyambungnya dengan tangga lain. Dengan tangga itulah mereka mengambil cengkih satu demi satu. 

Terlihat petani diatas pohon sedang memanen cengkih/Janika Irawan

Satu petani yang kami datangi sedang panen. Ia memetik satu demi satu tangkai putik bunga yang sudah berubah warna dari hijau menjadi putih, atau sebelum putik mekar. Kadang petani harus menarik dahannya terlebih dahulu dengan galah untuk meraih cengkih sudah layak dipanen. Namun, kami pun tak bisa lebih lama dan mengganggunya memanen.

Satu petani lagi yang kami lihat terlampau jauh. Pras menyapanya, tapi kami juga tidak bisa menjangkaunya karena teramat jauh di bawah tebing. Di akhir Juni ini masih sepi petani yang panen. Putik bunga masih hijau, belum putih dan layak dipanen.  

“Masih sepi. Dua mingguan lagi sudah banyak yang panen,” ujar Pras.  

Sekitar satu setengah jam berkeliling di ladang cengkih, kami pun melihat terik matahari yang siap mencekik. Rasanya, terik seperti apa pun, di bawah kanopi pohon cengkih yang nyaris menyatu, tiada terik matahari yang menakutkan. Dan terik matahari itu segera melumat kami di luar “gerbang” ladang cengkih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Janika. Tinggal di Yogyakarta. Hobi jalan-jalan kegunung. Suka menulis demi kepuasan hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja