Susah payah dalam mengulik data tentang prasasti yang menjadi bahan penelitian, saya kira misteri ini telah usai, tak disangka setelah merangkai data yang didapat ternyata penelitian masih jauh dari kata selesai. Layaknya penelitian arkeologi pada umumnya, tak semua informasi tersedia begitu saja.

Berdasarkan data museum, prasasti ini adalah hibah dari seseorang yang berasal dari Desa Muara Tamban I. Meskipun terdata, tidak tercantum nama penghibah, yang ada hanyalah alamat desanya saja, hal ini menyulitkan saya untuk melacak asal usul prasasti tersebut lebih rinci. Saya memutuskan untuk langsung terjun ke daerah asal ditemukan prasasti yaitu Tamban.

Daerah ini terletak jauh 200 kilometer dari Alabio. Ada beberapa rute darat yang bisa ditempuh dari Banjarmasin, namun saya dan paman saya yang kali ini ikut menemani perjalanan ini memilih jalur sungai untuk menghemat banyak waktu. Kami hanya perlu menyeberang dari Dermaga Alalak dan langsung sampai ke tempat tujuan. 

Sungai Barito yang menjadi penghubung antar daerah/Irsyad Saputra

Pagi-pagi kami berangkat, agar tidak kepanasan di jalan. Sungai yang kami seberangi adalah Sungai Barito, salah satu sungai terpanjang yang ada di Kalimantan. Air keruh yang kami lihat seakan-akan susu coklat yang tumpah. Hilir-mudik tongkang batubara terlihat menggunung membawa emas hitam. Aku bersama pamanku duduk manis di geladak feri, sambil sesekali meneguk minuman dingin untuk meredam terik matahari yang membakar kulit.

Perjalanan kemudian diteruskan dengan menaiki motor, dari dermaga kami masih harus menempuh jarak 12 km untuk masuk ke desa tujuan. Kami menyempatkan diri untuk singgah di warung, mewarung sekedar untuk mengobrol dengan masyarakat setempat sembari menyeruput teh manis hangat dan gorengan.

Mewarung adalah tradisi seperti halnya nongkrong di warung kopi atau kafe di kota-kota besar. Bedanya mewarung di Banjar umumnya dilakukan sebelum pergi bekerja/berladang pada pagi hari. Kebiasaan ini juga menjadikan warung sebagai sarana bertukar berita dan pikiran serta sosialisasi tanpa memandang strata.

Penduduk yang kami temui di warung kebanyakan berasal dari hulu sungai, mereka sengaja berpindah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. “Kami sudah mendiami sini dari datuk, jadi saya sudah hilang hulu sungainya meskipun kadang-kadang ada waktunya pulang kampung,” ucap seorang bapak yang kami temui di warung. Kebanyakan berasal dari Amuntai, meskipun tak sedikit juga yang berasal dari Barabai atau Kandangan. 

Sesampainya di Desa Muara Tamban I, saya bersama paman saya langsung menuju rumah pambakal (sebutan kepala desa di Kalimantan Selatan). Pada mulanya saya dapati rumah sang pambakal kosong karena beliau pergi behuma, di rumah hanya terdapat anak serta istrinya. Sementara menunggu, saya pergi ke warung terdekat dan duduk-duduk santai sambil ngobrol dengan beberapa orang asli sana perihal tata bahasa, kerajinan bambu di Tamban, serta aturan hidup orang dahulu.

Salah satunya yang bernama Anang Supian, ia menyangkal bahwa bambu adalah komoditi di Tamban Muara. “Bambu sulit tumbuh di sini, kebanyakan kalau mau ngambil bambu ya harus ke Kalteng. Di sini juga bukan daerah asal kerajinan bambu, kita hanya tau memakainya saja,” ucapnya.

Tentu pernyataan ini menarik untuk menelusuri Tamban lebih jauh, jadi saya menanyakan  keberadaan masjid kuno di sekitar sini. Beberapa orang serentak menjawab ada tapi sekarang masjidnya sudah dipindah tempatkan. “Hanya sisa-sisa ulin tiang masjid yang bisa kamu lihat sekarang, persis di samping rumah sang pambakal,” ujar mereka.

Tepat di atas sungai, masjid itu dahulu dibangun kemudian dipindahkan dan menjadi sebuah masjid baru. Tidak ada catatan, penelitian, maupun gambar yang menjelaskan bagaimana bentuk masjid tersebut. Hanya tunggul sisa tiang yang tertancap di sungai yang masih tersisa.

Dering telpon berbunyi, sang anak mengabarkan bahwa pambakal sudah balik ke rumah. Segera saya kembali ke rumah pambakal dan disambut ramah. Namanya Pak Jarkasi. Usianya 56 tahun, tampak lebih muda dari usia aslinya. Ketika saya mulai menanyakan Pak Jarkasi soal prasasti, beliau menggelengkan kepala. 

“Saya tidak tahu sama sekali, kebetulan orang-orang tua di sekitar sini sudah banyak yang meninggal, jadi saya tidak bisa kasih informasi apapun ke kamu.” 

Saya kemudian menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya tanyakan di warung, namun jawaban pun kurang lebih sama. Beliau berjanji akan membantu mencari tahu lebih lanjut asal usul prasasti tersebut dan memberi saya nomor telepon.

Beberapa hari setelah kunjungan ke Tamban, saya pergi lagi ke Balai Bahasa Kalimantan Selatan dan bertemu Pak Dede, seorang peneliti Bahasa Banjar yang juga membantu saya dalam membaca prasasti ini. Menurut beliau pembacaan prasasti sudah tepat, tinggal saya yang harus interpretasi dengan data-data lainnya yang saya dapat dari beliau maupun dari sumber lain.

Jembatan gantung Desa Muara Tamban/Irsyad Saputra

Sembari berbincang, beliau menceritakan tentang sejarah Banjar. Dalam Negarakertagama, disebutkan bahwa ada Kerajaan Nan Sarunai yang merupakan kerajaan Dayak Maanyan dan juga Tanjung Puri yang merupakan kerajaan Dayak Meratus yang merupakan asal dari orang Banjar.

Asumsi Kerajaan Tanjung Puri sudah menganut agama Hindu berdasarkan temuan yang ditemukan yakni Candi Agung dan diyakini lebih tua daripada Kutai Martadipura. Kemudian beliau juga menjelaskan asal usul bahasa Banjar yang merupakan asimilasi dari berbagai bahasa seperti Sanskrit, Dayak, dan Melayu.

Secara kultural, Kalimantan Selatan sangat sedikit tersentuh pengaruh Hindu yang masih tersisa hingga sekarang padahal Hindu lebih dahulu tersebar sebelum Islam di sini. Menurut beliau, inilah salah satu pengaruh besar dari Syekh Arsyad Al-Banjari.

Sebagai seorang ulama besar tanah Banjar, beliau menguasai semua bidang keilmuan Islam namun lebih memfokuskan kepada ilmu fiqih agar masyarakat Banjar punya dasar keilmuan Islam yang cukup kuat sehingga tradisi-tradisi lain seakan “menghilang” dari tanah Banjar. Sampai sekarang, keturunan beliau adalah ulama-ulama besar yang tersebar di Kalimantan, bahkan Sumatra hingga Kedah.

Dua minggu seusai kunjungan ke Tamban, telepon saya sempat berbunyi, tertera nama Pak Jarkasi disitu namun tidak sempat saya jawab. Kemudian beliau mengirimkan teks yang mengatakan bahwa beliau mengenal salah satu keluarga yang pernah mempunyai prasasti tersebut.

Beliau menuliskan pesan bahwa prasasti tersebut pernah dimiliki oleh salah satu keluarga yang ada di kampungnya, dan keluarga tersebut memang dulunya berasal dari hulu sungai. Sayangnya keluarga tersebut tidak bisa menceritakan lebih lanjut mengenai prasasti tersebut karena keterbatasan informasi dari pendahulu mereka.Informasi berharga ini akhirnya menjadi kepingan yang bisa merekatkan puzzle yang saya dapatkan dari hulu sungai sekaligus menjawab misteri asal usul prasasti tersebut mengapa berdialek hulu sungai namun berasal dari Banjar Kuala.

Tinggalkan Komentar