“The Killing Fields” (1984) mengantarkan Haing Ngor ke panggung Academy Awards tahun 1984. Aktingnya sebagai Dith Pran, seorang jurnalis Kamboja penyintas Rezim Pol Pot, memang sangat memukau. Sebagaimana Nicholas Saputra berhasil “menyerobot” sosok Gie, Haing Ngor juga berhasil melakukan hal serupa pada Dith Pran.
Melihat akting Haing Ngor, penonton pasti takkan menyangka bahwa film tentang genosida di Kamboja itu adalah film pertamanya. Lalu, jika itu adalah film pertama baginya, bagaimana Haing Ngor bisa memerankan Dith Pran dengan sebaik itu?
Dokter militer berpangkat kapten di Phnom Penh
Sebagaimana Pran, Ngor ternyata juga adalah seorang penyintas eksperimen sosial berdarah Khmer Merah. Dalam “catatan perjalanan” berjudul “Survival in the Killing Fields” (1987) yang ia tulis bersama jurnalis Roger Warner, ia mengungkapkan segalanya.
Ngor berasal dari keluarga campuran Khmer-Tiongkok yang tinggal di rural Kamboja. Ia anak laki-laki ketiga dari seorang pengusaha (yang kemudian) sukses. Ia bukan anak kesayangan. Masa kecilnya dihabiskan dengan berkelahi. Sekali waktu ia bahkan kabur berhari-hari dari rumah dan menjadi kenek bis milik kerabatnya.
Tapi di kemudian hari sejarah berbicara bahwa Ngor adalah seorang siswa yang cemerlang. Terlambat masuk sekolah, ia berhasil lulus dengan cepat, kemudian pindah ke Phnom Penh untuk kuliah kedokteran.
Meskipun baru disumpah sebagai dokter saat berumur 35, semasa menjadi mahasiswa ia sudah diizinkan praktik. Kamboja memang kekurangan dokter ketika itu. Ngor sendiri adalah dokter ke 527 di Kamboja. Karirnya gemilang. Ia bekerja di rumah sakit militer (mencapai pangkat kapten), membuka klinik bersama para koleganya, dan juga, bersama Huoy, pacarnya, menjalankan bisnis distribusi bahan bakar minyak. Secara sosial dan finansial, Ngor ada di kelas atas piramida sosial Phnom Penh.
Namun, meskipun Phnom Penh di paruh awal dekade 70-an begitu tenang dan damai, pinggiran Kamboja sedang dilanda perang saudara. Setelah Sihanouk digulingkan tahun 1970, Kamboja dikuasai rezim militer Lon Nol. Rezim ini pun kemudian harus menghadapi perlawanan Partai Komunis Kamboja yang disebut Khmer Rouge (Khmer Merah) oleh Norodom Sihanouk.
Lon Nol akhirnya tumbang. Pagi hari tanggal 17 April 1975, Khmer Merah merangsek ke Phnom Penh. Dengan dalih menyelamatkan warga dari serangan pesawat tempur AS, pasukan Khmer Merah “mengevakuasi” warga Phnom Penh ke desa-desa.
Haing Ngor ikut dalam gelombang eksodus besar-besaran itu. Bersama para perawat dan pegawainya di klinik, sambil mendorong vespa kesayangannya, Ngor berjalan ke selatan. Ia tak tahu bahwa pagi itu adalah awal dari perjalanan panjang yang pada akhirnya akan membawanya pergi jauh dari tanah kelahirannya.
Kamp-kamp kerja di Battambang
Pemimpin baru Kamboja adalah “Angka,” semacam “Big Brother” dalam novel legendaris karya George Orwell, “1984” (1949). Meskipun namanya disebut di mana-mana, dan ialah yang menggerakkan rakyat Kamboja untuk berkumpul di kamp-kamp kerja (atau desa-desa yang tak ubahnya seperti kamp kerja), tak ada seorang jelata pun yang tahu Angka itu siapa.
Dari Phnom Penh, Ngor digerakkan Angka ke kamp-kamp kerja di Provinsi Battambang, daerah di sebelah barat Danau Tonle Sap yang dikenal sebagai lumbung padi Kamboja. Tangannya yang biasanya memegang pisau bedah kemudian dipaksa untuk menggenggam gagang pacul; yang dihadapinya sehari-hari bukan lagi pasien melainkan sawah dan bendungan.
Di kamp kerja, makanan, yang porsinya tak seberapa, dijatah. Ngor dan Huoy perlahan-lahan kehilangan berat badan. Ada kalanya dapur umum tidak menyediakan makanan selama berhari-hari sehingga mereka harus mencari tambahan gizi sendiri dari tumbuhan dan hewan liar apa pun yang mereka temukan.
Mereka mau tak mau mengambil kebijaksanaan dari pepatah konyol Kamboja: “Makan apa pun yang punya dua kaki kecuali tangga, apa pun yang punya empat kaki kecuali meja, apa pun yang terbang kecuali pesawat” (hal. 175). Pipi mereka menjadi tirus dan tempurung lutut mereka semakin menonjol.
Tiap malam, setelah seharian bekerja di sawah, mereka diwajibkan untuk ikut “rapat,” tempat doktrin dirapal terus-menerus dan kebohongan diulang-ulang sampai berubah menjadi “kenyataan.”
Relasi sosial praktis tidak eksis, kecuali hierarki sosial antara para budak perang dan kamerad Khmer Merah. Antara 1975-1979 di Kamboja kepercayaan adalah komoditas paling mahal. Kawan baik, kenalan, atau kerabat bisa saja menjadi malaikat maut. Itu adalah masa-masa untuk menyelesaikan “kum” alias dendam yang menahun.
Berkali-kali dijebloskan ke dalam tangsi Khmer Merah
Rezim Khmer Merah tidak terlalu menyukai kaum intelektual, termasuk dokter. Bagi mereka, segala yang berbau Barat adalah kapitalis, dan kapitalis adalah musuh bersama yang harus dihancurkan. Maka, setiap kali ada yang “berbisik” pada Angka bahwa Ngor dahulunya adalah seorang dokter di Phnom Penh, tangan Ngor diikat kemudian ia digelandang ke tangsi.
Menurutnya, setiap kali ia masuk penjara, yang “mengerjainya” adalah seorang bekas pegawai rumah sakit di Phnom Penh. Namanya Pen Tip. “Aku adalah target favoritnya, sebab aku pernah menjadi atasannya secara sosial, sebagai seorang dokter” (hal. 320).
Tapi entah kenapa Ngor selalu berhasil keluar dari tangsi Khmer Merah dalam keadaan hidup. Padahal siksaan yang ia alami bukanlah siksaan yang main-main: kelingking dipotong,* “dipanggang” di atas tumpukan jerami, kepala ditetesi air selama berhari-hari.
Ia pastinya kesal. Namun, bagaimanapun juga, ia adalah seorang pemeluk Buddha yang percaya bahwa apa yang ia alami sekarang adalah “kama” atau karma dari kehidupan sebelumnya.
Kedua kalinya ia lolos dari siksaan Angka, ayah Ngor menasihatinya begini: “Jarang sekali ada yang pulang setelah mereka dibawa pergi. Kau sudah dua kali kembali. Mulai dari sekarang, tutup mulutmu. Tanamlah pohon randu. ‘Dam doeum kor.’ Apa pun yang terjadi, jangan beri mereka kesempatan untuk kembali membawamu pergi” (hal. 271)
Tapi, tentu saja itu bukan kali terakhir ia dijebloskan ke penjara.
Keluar dari Kamboja
Eksperimen sosial Angka jauh dari kata berhasil. Panen tetap hanya sekali setahun. Saluran irigasi dan bendungan tak ada yang jadi. Sementara itu, rakyat tetap saja kelaparan dan konsisten berada di ambang hidup dan mati.
Sekitar tahun 1974 muncul desas-desus bahwa ada sebuah kelompok bernama Khmer Serei alias Pasukan Pembebasan yang sedang bersiap-siap di perbatasan Thailand-Kamboja untuk menjatuhkan Khmer Merah. Banyak budak perang yang diam-diam melarikan diri ke barat untuk bergabung dengan kelompok itu.
Kenyataannya, yang “berjasa” menggulingkan Angka, yang ternyata adalah Soloth Sar alias Pol Pot, adalah tentara Vietnam. Mereka sudah tak tahan lagi dengan laku ugal-ugalan pasukan Pol Pot di perbatasan Kamboja-Vietnam, yang seenaknya menyerang desa-desa Vietnam dan merampas harta benda warga. Dengan pasukan yang lebih disiplin dan artileri yang lebih canggih, tentu mudah saja bagi Vietnam untuk menduduki Kamboja. Sekitar bulan April 1979, pasukan Vietnam sudah tiba di pedesaan Battambang, tempat Haing Ngor tinggal.
Pasukan Angka kocar-kacir. Kamp-kamp kerja mulai ditinggalkan. Haing Ngor dan beberapa orang anggota keluarganya yang masih tersisa (Huoy meninggal dalam persalinan, ayahnya dibawa ke tangsi dan tak pulang-pulang, ibunya meninggal di sebuah kamp antah berantah) akhirnya berjalan ke arah barat, Thailand.
Ngor tinggal beberapa waktu di Thailand. Sambil menunggu untuk diberangkatkan ke Dunia Baru, Amerika Serikat, ia sempat bekerja sebagai dokter di kamp pengungsian di sekitar Aranyaprathet. Tanggal 30 Agustus 1980, Haing Ngor bersama ratusan pengungsi lain dari Kamboja, Laos, dan Vietnam, terbang selama dua hari ke San Francisco, via Hong Kong dan Honolulu.
Sekitar empat tahun kemudian, pada malam pengumuman Academy Awards ke-56, 9 April 1984, di Dorothy Chandler Pavilion, Los Angeles, Haing Ngor berdiri di podium sambil menggenggam Oscar. Lalu, dua belas tahun kemudian, 25 Februari 1996, ia ditembak dan menghembuskan napas di Beaudrey Street, L.A, ribuan kilometer dari tanah kelahirannya.
(*) Diralat pada 24 Januari 2019 pukul 17:44. Sebelumnya ditulis “kuku dicabut.” Haing Ngor tidak mengalami pencabutan kuku, melainkan pemotongan kelingking. Meskipun demikian, Ngor pernah melihat seorang tahanan Khmer Merah yang dicabut kukunya saat ia pertama kali ditahan. Kisahnya ada di Bab 9 yang berjudul Angka Leu.