Travelog

Catatan Kecil Perjalanan ke Pantai Oesina

Perjalanan waktu selalu akan mempertemukan kita dengan serangkaian kejadian dan pertemuan tak terduga dalam hidup. Segala ketidakterdugaan itu kemudian akan menjelma menjadi kepingan-kepingan cerita yang tidak saja kita nikmati, tetapi juga menjadi tempat belajar untuk menata diri menjadi lebih baik lagi. 

Sepenggal kutipan itu saya tulis di notes ponsel ketika saya dan teman-teman mahasiswa Modul Nusantara melakukan perjalanan kecil ke Pantai Oesina. Meski perjalanan itu tidak lebih dari rekreasi sejenak untuk mengisi waktu-waktu terakhir kebersamaan di Kupang, nyatanya perjalanan itu punya kesan, pesan, warna, dan makna tersendiri. 

Momen kebersamaan menjadi hal yang paling kami kenang dari perjalanan tersebut. Celotehan akrab yang mencairkan suasana hingga cerita dan keluh yang kami bagi bersama, pada akhirnya benar-benar telah menyatukan kami sebagai saudara. Dari sana jugalah, saya belajar banyak tentang betapa berharganya sebuah kebersamaan. 

Rencana perjalanan ke Pantai Oesina sudah kami matangkan beberapa hari sebelumnya. Pantai Oesina akhirnya kami pilih sebagai tujuan perjalanan kali ini. Faktor cuaca, jarak ke lokasi yang terbilang cukup dekat dari Kupang, dan beberapa pertimbangan lainnya membuat kami menyepakati destinasi ini sebagai tujuan perjalanan kali ini. 

Saya sendiri sempat gusar dengan hujan yang turun sejak pagi hari itu. Beruntungnya hujan reda sebelum pukul 13.00 WITA. Beres hujan, kami segera berkomunikasi lewat WhatsApp grup perihal keberangkatan kami ke sana. Jumlah rombongan kami yang cukup banyak membuat kami harus menyewa tiga unit mobil.

Waktu keberangkatan kami yang molor dari rencana awal diperparah dengan keterlambatan rombongan kami yang lain. Saya dan beberapa kawan lain yang berangkat dari Kuanino tiba lebih dulu di jalur 40 dan harus menunggu selama kurang lebih 30 menit. Setelah dua mobil rombongan lainnya tiba, kami segera melesat menuju Pantai Oesina.

Saya dan salah seorang kawan bernama Sim, berangkat menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari pengalaman kuliah, cerita sebagai mahasiswa perantauan, pembahasan ringan perihal cita-cita dan realitas pertemanan, hingga beragam topik lain yang kami bicarakan sembari menikmati angin sejuk yang menuntun kami menuju Oesina. 

Kejadian-kejadian kecil dalam hidup selalu punya porsi besar untuk membentuk diri kita menjadi lebih baik. Obrolan-obrolan santai yang kadang kita anggap biasa, pada saatnya akan menjadi tempat yang baik untuk kita menimba pelajaran hidup. 

Setelah perjalan sekitar 30 menit, kami tiba di pertigaan menuju Pantai Oesina. Saya sedikit kaget ketika tiga mobil rombongan kami tidak berbelok ke jalur tersebut dan malah terus melaju menyusuri jalur menuju Pantai Tablolong. Semula saya menduga bahwa kami mengalihkan tujuan kami ke Tablolong yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalur masuk Pantai Oesina. Dugaan saya ternyata salah, mobil rombongan kami terus melaju melewati gerbang masuk Pantai Tablolong hingga memasuki gerbang yang bertuliskan Selamat Datang di Kampung Bahari Nusantara, Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat. 

Pemandangan di Kampung Bahari Nusantara Tablolong/Oswald Kosfraedi

Mobil lalu berhenti, saya lalu diberitahu oleh Dhava bahwa teman-teman saya yang muslim akan menjalankan salat terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Oesina. Sembari menunggu teman-teman lain melaksanakan ibadah salat, saya dan beberapa kawan yang lain menikmati pemandangan pantai yang berhias kapal-kapal nelayan yang terparkir rapi. Di kiri kanan kami, para nelayan tampak sibuk dengan kesibukannya masing-masing, juga anak-anak yang bermain dengan riangnya. 

Mengalami momen hari itu seketika membuat rasa bahagia bercampur haru membuncah dalam dada. Betapa saat itu juga saya mensyukuri keberagaman yang ada di antara kami semua.   

Kawan, keberagaman itu indah tiada tara: di dalamnya kita bisa tumbuh menjadi sahabat tanpa perlu membangun sekat, kita bisa berjalan sebagai saudara tanpa perlu ada tembok pemisah. 

Usai salat, kami lalu bergerak menuju Oesina. Suasana di Pantai Oesina masih cukup ramai ketika kami tiba. Beberapa rombongan keluarga masih tampak menikmati suasana Oesina. Ada juga  sekelompok anak muda yang berkumpul sembari bercerita. Sebagian pengunjung ada juga yang berenang, dan tentu saja ada lagi yang sekadar berfoto. Ah, betapa alam memberi segalanya dan kita tinggal memilih bagaimana kita menikmatinya. 

Kebersamaan di Pantai Oesina/Oswald Kosfraedi

Sebelumnya, pada 2020 lalu, saya datang ke pantai ini bersama teman-teman satu jurusan. Saya masih ingat betul bagaimana waktu itu kami memacu kendaraan dengan begitu terburu-buru hanya untuk menikmati sunset di tempat ini. Oh iya, bicara tentang keindahan sunset, Pantai Oesina  adalah salah satu tempat yang selalu menyajikan keindahan itu. Namun, sore hari ini saya tidak berharap banyak bahwa kami dapat berjumpa dengan matahari terbenam karena cuaca sedang mendung. 

Pantai Oesina tidak saja dikenal karena pesona matahari terbitnya. Kenampakan alam yang berhias pasir putih dengan debur ombak yang tenang menjadi citra dari pantai ini. Selain itu, fasilitas pendukungnya pun sudah memadai dengan ketersediaan lopo dan juga fasilitas umum lain yang dapat digunakan pengunjung. 

Namun, Pantai Oesina rupanya sudah banyak berubah. Kondisi alamnya memang masih sama, sayangnya sampah-sampah yang berserakan begitu saja menjadi pemandangan yang tak elok untuk dilihat. Saya menyaksikan sendiri ketika tiba di sana bagaimana sampah tersebar di berbagai titik Pantai Oesina, ironisnya sampah-sampah itu bahkan sampai ke laut.  

Sore hari itu kami berbaur satu menikmati suasana dengan penuh persaudaraan. Kami bergantian mengabadikan kebersamaan sore itu dengan berfoto. Tawa kami bersahutan satu sama lain, sambil sesekali diselingi dengan obrolan-obrolan serius yang kami bagikan bersama. Momen-momen itu sekali lagi membuat saya tersadar betapa cepatnya waktu berjalan. Kebersamaan kami yang rasa-rasanya baru dimulai kemarin kini hanya tersisa beberapa hari lagi. 

Atas berbagai momen membahagiakan dalam hidup, ada saat di mana kita ingin sekali menghentikan waktu. Sayangnya, waktu tidak akan pernah bisa diajak kompromi: ia akan tetap berjalan maju. Maka di saat kita merasa betapa kebahagiaan itu berharga, kita hanya perlu menikmati momen yang sedang kita jalani dengan segenap rasa syukur. 

Sunset di Pantai Oesina/Oswald Kosfraedi

Matahari yang perlahan turun seketika menciptakan goresan jingga nan indah pada hamparan cakrawala yang luas. Pesona matahari terenam Pantai Oesina yang sering saya ceritakan pada teman-teman Modul Nusantara benar-benar tampak nyata di hadapan kami. Saat-saat itu kami nikmati bersama, hingga akhirnya rintik hujan yang mulai berjatuhan dan malam yang kian menjelang membuat kami bergegas meninggalkan Pantai Oesina. 

Sekembali dari Oesina, kami tak langsung melesat ke Kupang. Kami kembali ke Kampung Bahari Nusantara di Tablolong, sekali lagi untuk menjalankan ibadah salat bagi teman-teman yang lain. Setelah usai, barulah kami kembali Kupang. 

Pada perjalanan pulang, Dhava akhirnya mengambil kemudi sepeda motor dan saya menumpang mobil sewaan kami. Kami tiba di Kupang sekitar pukul 20.00 WITA. Setelah kenyang mengisi perut saat makan malam, barulah kami pulang ke tempat kami masing-masing. 

Kita akan didewasakan dengan segala pengalaman yang pernah kita alami. Setiap perjumpaan, kebersamaan, dan semua hal yang kita jalani, pada saatnya akan menjadi tempat kita menimba pelajaran untuk segala hal yang akan kita hadapi di hari depan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Sepenggal Cerita dari Selatan Pulau Timor—Fatubraun