Travelog

Menyusuri Warisan ‘Londo’ di Cimahi

Dua pohon mahoni tumbuh menjulang dengan daun-daunnya yang rimbun, membuat suasana menjadi teduh dan adem suasana di salah satu sudut taman yang ada antara Jalan Baros dan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Cimahi, Jawa Barat. Salah satu pohon mahoni kutaksir telah berusia lebih dari 50 tahun. 

Taman kecil itu sama sekali tak berpagar. Jeritan klakson sepeda motor dan mobil sesekali terdengar nyaring tatkala aku berdiri tepat di tengah-tengah taman, menghadap ke arah barat. Di bibir taman yang menghadap ke Jalan Baros dan yang menghadap ke Jalan Jenderal Sudirman terpasang plang nama taman: “Wilhelmina Queen Park.” Jadi, orang yang lalu-lalang langsung dapat mengetahui nama taman ini. 

Taman Wihelmina/Djoko Subinarto

Wilhelmina, yang bernama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau, adalah anak dari Raja Willem III. Ia memimpin Kerajaan Belanda selama lebih dari setengah abad, dari tahun 1890 hingga tahun 1948. Keberadaan Taman Wilhelmina di Cimahi ini seakan ingin menggarisbawahi bahwa kota seluas 40,37 kilometer meter persegi ini tak bisa dilepaskan dari bagian sejarah pemerintahan kolonial Belanda di masa lampau.

Seperti juga Kota Bandung, hingga kini Cimahi masih menyimpan sejumlah warisan dari masa pemerintahan kolonial Belanda. Contohnya, tepat di seberang Taman Wilhelmina, di sebelah utara, berdiri Gereja Katholik Santo Ignatius, yang dibangun pada tahun 1906. Sampai akhir tahun 1970-an, satu atau dua pastor Belanda masih terlihat beraktivitas di gereja ini. Sejauh yang kuingat, pastor Belanda itu kerap mengendarai vespa berwarna turquoise.

Berjalan lebih ke utara lagi dari Gereja Santo Ignatius, kita akan bersua dengan sebuah taman lain, yang lebih luas dibanding Taman Wilhelmina. Orang-orang Cimahi sekarang menyebutnya Taman Kartini. Dulu, Taman Kartini ini bernama Juliana Park. Juliana adalah Ratu Belanda, yang bertahta dari tahun 1948 hingga tahun 1980.

Sepanjang sisi barat Taman Kartini ditumbuhi pohon palem raja. Di zaman old, seluruh bagian Taman Kartini tertutup rapat oleh hamparan rumput, yang sekilas bak karpet hijau. Sekarang, sebagian area taman ini dipasangi paving block dan beton. Di masa lalu, yang menjadi ikon Taman kartini adalah tiga pohon kenari yang berdiri tegak lurus di ujung taman, sisi utara. 

Tahun-tahun 70-an dan 80-an, sebagian anak yang bersekolah di SD Baros, tatkala mereka pulang sekolah dan harus melewati taman ini, kerap berburu buah kenari tua yang berjatuhan dan berserakan di sela-sela rumput Taman Kartini. Selain dimakan dagingnya, kenari tua yang dipulung, bagian tempurungnya, biasanya dibuat kerajinan tangan, berupa cincin dan kalung.

Taman Kartini/Djoko Subinarto

Di tengah Taman Kartini, membentang aliran sungai kecil, berair jernih, yang kemudian membentuk kolam mungil di tengah-tengah taman. Namun, seiring berjalannya waktu, aliran sungai kecil itu lantas hilang. Dulu di sepanjang aliran sungai kecil yang membentang dari sisi utara Taman Kartini, masih dapat kita jumpai satwa air seperti belut, ikan bogo, ikan wader (impun) maupun kepiting. Di masa lalu pula, sebagian pemilik delman di Cimahi, kerap memanfaatkan rumput Taman Kartini untuk bahan pakan kuda mereka. Delman, selain juga becak, termasuk salah satu moda transportasi utama warga Kota Cimahi di masa silam.

Di seberang Taman Kartini, membentang rel kereta api Bandung-Jakarta, dan sekaligus berdiri pula Stasiun Cimahi, yang dibangun tahun 1884. Di masa pendudukan Jepang, Stasiun Cimahi ini menjadi saksi bisu bagaimana para tawanan perang dari daerah Serang diangkut menggunakan kereta api dan diturunkan di Stasiun Cimahi untuk kemudian berjalan kaki ke arah selatan menuju kamp-kamp tahanan di kawasan Willem Straat (sekarang Jalan Ratulangi), Cimahi.

Dari ujung utara Taman Kartini, jika kita bergerak ke arah barat, sekitar 900 meter, maka kita akan sampai ke Rumah Sakit Dustira. Ini rumah sakit legend di Cimahi, selain Rumah Sakit Cibabat. Jika ada yang mengaku orang Cimahi, namun sama sekali tidak mengetahui Rumah Sakit Dustira ataupun Rumah Sakit Cibabat, maka patut diragukan ke-Cimahi-annya. Pemerintah Belanda membangun Rumah Sakit Dustira untuk memberikan pelayanan kepada para tentaranya yang waktu itu bertugas di Cimahi dan sekitarnya. Di masa pendudukan Jepang, Rumah Sakit Dustira sempat dijadikan pusat perawatan tawanan serdadu Belanda dan serdadu Jepang.

Rumah Sakit Dustira/Djoko Subinarto

Dustira dibangun pada tahun 1887. Awalnya bernama “Militaire Hospital”. Baru pada tahun 1956 diberi nama Rumah Sakit Dustira. Nama Dustira sendiri diambil dari nama Mayor Dr. Dustira Prawiraamidjaya, sebagai bentuk penghormatan korps Siliwangi atas jasa-jasa jasa-jasa Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya yang telah menunjukkan nasionalisme dan patriotismenya dalam ikut membantu para pejuang di medan peperangan dan sekaligus memberikan pertolongan bagi para korban peperangan, khususnya untuk wilayah Cimahi, Padalarang, dan sekitarnya. 

Sebagai rumah sakit militer, tentu saja sebagian dokter yang bekerja di rumah sakit ini merupakan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif. Kendatipun berfungsi sebagai rumah sakit militer, Rumah Sakit Dustira tidak hanya melayani pasien dari kalangan militer. Rumah sakit ini juga menerima pasien dari kalangan masyarakat umum. Rumah Sakit Dustira saat ini menjadi rumah sakit percontohan bagi rumah sakit-rumah sakit lainnya yang ada di lingkungan TNI.

Sampai awal tahun 1980-an, sebagian besar area Rumah Sakit Dustira adalah taman-taman nan asri. Dengan kata lain, area tamannya jauh lebih luas ketimbang bangunannya. Namun, seiring kebutuhan ruangan untuk pasien dan kepentingan lainnya, taman-taman di Rumah Sakit Dustira kian menyusut.

Dari depan Rumah Sakit Dustira, jika terus bergerak ke utara, kita akan sampai ke kawasan Sriwijaya. Di masa silam, kawasan ini adalah lapangan yang cukup luas, yang antara lain digunakan untuk latihan terjun tentara. Kini, Lapangan Sriwijaya sudah tinggal nama. 

Dari kawasan Sriwijaya apabila kita ikuti rute jalan yang ke arah utara, kita bakal sampai ke pusat Kota Cimahi, di mana terdapat satu-satunya bekas gedung bioskop di Cimahi yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang ini. Nama gedung bioskop itu adalah RIO, yang berada persis di sebelah timur Alun-Alun Cimahi. 

Bergaya art deco, bioskop RIO dibangun untuk memberi fasilitas rekreasi dan hiburan para tentara londo di masa lampau. Hingga awal tahun 2000-an, bioskop RIO masih beroperasi, sebelum kemudian dialihfungsikan menjadi pusat perdagangan. Di tahun 70-an, sekolah-sekolah dasar di Kota Cimahi—bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia— kerap menggelar acara nonton film bareng di bioskop RIO. Sebagian hasil penjualan tiket nonton bareng itu didonasikan untuk sejumlah kegiatan sosial. Misalnya, membantu korban bencana alam.Dibandingkan, 30 atau 50 tahun lampau, paras Cimahi memang telah banyak berubah. Kendati begitu, sejumlah warisan dari era kolonial yang ada di kota ini masih dapat kita saksikan hingga kiwari. Bagi sebagian orang, khususnya para oldtimer Cimahi, warisan-warisan yang masih tersisa itu niscaya bakal memuncratkan kembali sejumlah kenangan lawas ihwal wajah asli Kota Cimahi, yang, sayangnya, tak mungkin dikembalikan lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mengunjungi Ereveld Pandu, Komplek Pemakaman Belanda di Bandung