Pagi ini saya sudah harus pamit. Saya akan melanjutkan perjalanan saya yang—untuk kali ini, dirahasiakan. Saya tidak ingin ada yang tahu. Jadi, ketika ada yang bertanya, saya hanya menjawab, “Mau balik.” (bukan ‘pulang’). Dan memang, nyatanya saya memang balik lagi ke Jogja—hanya untuk numpang lewat. Lalu, sekitar pukul 8 lebih, saya sudah meninggalkan dinginnya bumi Temanggung yang selalu menyambut saya dengan hangat.

Masih sejauh inikah?

Kurang lebih pukul 10 saya singgah di sebuah pom bensin di Jl. Raya Jogja-Solo, saya sudah di Jogja. Lalu, secara kebetulan dua orang teman mengirim SMS, bertanya, sudah sampai mana. Tentu saya menjawab kalau saya sudah sampai di Jogja, dan saya tidak berbohong. Mereka hanya perlu tahu cukup sampai di sini. 

Setelah mengisi bensin dan angin ban, saya kembali jalan, berkendara di bawah teriknya matahari di siang bolong.

Masjid Agung al-Aqsha Klaten - Helmi Santosa (2)
Masjid Agung al-Aqsha Klaten/Helmi Santosa

Adzan Dzuhur berkumandang, dan kebetulan sekali waktu itu saya sudah tiba di Masjid Agung al-Aqsha, Klaten. Masjid yang besar dan megah. Saya berada di tempat dan waktu yang tepat untuk meneduhkan raga dan jiwa saya.

Bisa kalian lihat sendiri, siang itu, Kamis, 15 April 2021, langit sedang cerah-cerahnya—dengan kata lain, sangat terik. Sebelum lanjut, saya sempat melihat Google Maps untuk melihat jarak menuju kota yang akan saya singgahi selanjutnya. Allahu akbar, masih sejauh inikah? Hampir 300 km menuju timur, dengan waktu tempuh kurang lebih delapan jam. Saya tidak mungkin kembali, dan saya juga belum mau pulang. Jadi, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan—yang diiringi oleh sekian banyak keraguan di awal langkahnya.

Lelah, bosan, dan takut

Sampai hari ini saya masih agak menyesal tidak memfoto tangan saya yang gosong terbakar. Belang. Lengah saya terlihat lebih putih, tapi tidak dengan tangan saya yang benar-benar menghitam. Hal itu mulai tampak sejak saya berkendara dari Klaten. Langit cerah di sepanjang perjalanan. Terlebih, di wilayah-wilayah ini memang cukup terkenal dengan udaranya yang panas dan cukup gersang. 

Beruntung menjelang Ashar cuaca sudah mulai teduh. Ketika itu saya sudah memasuki perbatasan Sragen, kembali beristirahat di salah satu masjidnya yang lumayan besar.

Melihat posisi saya saat ini, saya sadar kalau saya sudah kian menjauh. Konyol kalau harus kembali lagi, tapi perjalanan di depan juga tampaknya masih sangat panjang, apalagi saya tipe orang yang tidak sabaran. Namun, sekali lagi, meski terdengar dramatis, memang beginilah adanya. Saya sudah bertekad mengambil jalan saya, jadi saya harus menempuhnya. Dan motor pun kembali melaju.

Coba kalian duduk tanpa kursi dan lihatlah bagaimana posisi tubuh kalian. Seperti sedang memasang kuda-kuda, ya? Begitulah posisi saya selama berkendara. Jok motor saya adalah jok single seat dan rata. Saya juga membawa tas yang terisi penuh, di depan dan punggung saya. Kalian bisa membayangkannya sendiri. Karena lelah, saya kembali berhenti di pom bensin. Tidur-tiduran di sembarang kursi panjang dan mulai berbicara sendiri.

Tapi itu tidak lama, karena saya segera beranjak. Kurang lebih sekitar pukul 5 sore saya sudah berada di perbatasan Ngawi-Bojonegoro, menyusuri jalannya yang memang sangat bagus, tapi sepi. Hanya ada hutan di kiri-kanan. Sesekali naik, lalu turun lagi. Jarang ada permukiman di sini. Walau kadang ada bus-bus AKAP dan truk Pertamina yang melintas, perlahan saya mulai takut. 

Di hari yang mulai gelap dan di tempat yang jauh dari pemukiman, yang saya takutkan hanyalah apabila terjadi sesuatu dengan motor saya. Saya hanya sendiri—kalian tentu bisa membayangkannya. Namun, syukurlah, tidak terjadi apa-apa.

Jembatan Suramadu - Helmi Santosa
Jembatan Suramadu/Helmi Santosa

Menyeberangi pulau

Untuk kali kedua, saya kembali berbuka di teras Indomaret. Kali ini saya sudah berada di Lamongan. Masih tersisa tiga jam lagi hingga saya tiba di tujuan, rumah seorang kawan.

Agak sial, malam itu hujan kembali turun cukup deras. Belum lagi ketika telah memasuki kota tujuan, saya diberi tahu kalau saya salah mengambil jalan. Saya memutar terlalu jauh, belasan kilometer. Itu menghabiskan hampir setengah jam waktu saya, yang seharusnya sudah sampai jika tadi tidak salah jalan. Akhirnya, setelah lebih dari 12 jam perjalanan, hampir pukul 10 malam, saya sampai juga di rumah kawan saya di Sidayu, Gresik.

Malam berlalu cepat. Pagi ini kami berencana melihat Jembatan Suramadu. Hanya butuh sekitar satu jam untuk menuju ke sana. Menjelang tengah hari, kami berdua sampai.

Ini adalah perjalanan terjauh saya. Saya sendiri juga tidak menyangka bisa sampai sejauh ini, padahal di awal, bahkan sebelum memulainya, saya sempat ragu. Mungkin itulah sebabnya suatu perjalanan akan terasa mudah bila kita selalu mengingat tujuan yang hendak dicapai, dalam hal apapun.

Sepulang dari Suramadu, kami juga menyempatkan diri mampir dan melihat-lihat kota Surabaya. Duduk-duduk sebentar di taman Monumen Suroboyo, menikmati sore yang sibuk dan padat di Surabaya.

Saya di perjalanan bukan tanpa masalah. Di Surabaya, ketika baru saja motor saya keluar dari bengkel untuk ganti oli, baru beberapa meter berjalan, kabel kopling saya putus, dan saya harus kembali lagi. Tapi seperti itulah hidup, tak ada yang selalu benar-benar mulus. Persiapkan saja sebaik mungkin.

Taman Monumen Suroboyo - Helmi Santosa
Taman Monumen Suroboyo/Helmi Santosa

Temukan makna “rumah” versimu, lalu pulanglah

Sabtu, 17 April, kembali saya berpamitan dengan kawan saya itu. Hari-hari yang menyenangkan bisa berjumpa kembali dengannya.

Siang yang terik kembali saya hadapi. Tangan saya sudah sangat hitam dan kering. Sedikit saja digaruk, akan terlihat kulit-kulit kering yang mengelupas.

Kembali, Lamongan, Ngawi, dan Bojonegoro, saya lalui. Paginya, sebelum pulang, saya sudah menelepon seorang kawan di Cepu, bilang mau mampir menginap dan dia mengiyakannya.

Saya tiba di pondok tempat ia bertugas sekitar pukul 5 sore. Letak pondok tersebut berada di sisi petak persawahan yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan yang lepas karena tidak ada bangunan-bangunan besar di sekitarnya. Lagi-lagi, saya kembali bisa menikmati senja yang tenang dan syahdu.

Malamnya, kami berdua jajan di sebuah angkringan yang berada di gapura perbatasan Jateng-Jatim. Sayang, hampir semua pengunjung mengabaikan protokol kesehatan. Maka dari itu, kami sengaja memilih tempat yang jauh dari keramaian, di belakang gapura.


Suasana pagi hari masih sepi; kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Barulah siang harinya kami berdua berangkat bersama. Setelah hampir dua jam berkendara, kami berpisah. Teman saya menuju Solo, sedangkan saya terus ke Jogja. Pulang.

Selama perjalanan pulang itu, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran berkesan dari perjalanan saya selama seminggu ini. Dari yang semula ketika pergi saya amat muak tinggal di rumah, kini, setelah melalui perjalanan hampir 1000 km seorang diri, saya sudah bisa memaknai sepenuhnya arti ‘pulang’ dan sangat menantikan waktu kapan saya bisa pulang. Bagi saya pribadi, kita akan benar-benar ‘pulang’ jika kita bisa menemukan arti dari sebuah “rumah”.

Sebab, di sepanjang perjalanan, saya menyaksikan sendiri orang-orang yang untuk sesaat, atau bahkan selamanya, kehilangan “rumah”. Ada yang memang karena tuntutan, seperti bekerja, sehingga harus pergi meninggalkan rumah selama beberapa waktu lamanya. Ada juga yang memang memilih atau terpaksa meninggalkannya karena diterpa berbagai masalah, seperti anak-anak jalanan. Di luar sana masih banyak orang yang belum bisa pulang dan menemukan makna “pulang”.

Karena itu, selagi masih memiliki tempat berpulang, temukan dulu makna “rumah” versimu sendiri, setelah itu, pulanglah.

Ditutup dengan sempurna

Seperti yang saya sebutkan di awal kisah, perjalanan saya kali ini sepertinya benar-benar direstui oleh orang tua dan juga dikehendaki oleh Tuhan. Saya sudah masuk wilayah Jogja sekitar pukul 16.30-an, dan sampai di rumah pukul 5 lebih. Saya mengetuk pintu rumah, masuk, bersalaman dsb., mendengarkan cerita-cerita baru dari adik-adik, mandi, dan kemudian duduk bersama keluarga, dalam satu meja, untuk menanti waktu berbuka.

Seolah dilebihkan, layaknya film drama, tapi memang beginilah ceritanya. Kepergian saya selama seminggu sungguh sangat bermakna, memberikan pelajaran baru yang sama sekali berbeda. Dan ketika saya sedang berada dalam perjalanan pulang dan telah menemukan sendiri makna “pulang”, saya bersyukur segalanya ditutup dengan sempurna.


Akhir kata, mengutip dari TelusuRI, semoga cerita perjalanan saya kali ini bisa membuat kalian terinspirasi.

“Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekalipun akhirnya akan hilang ditelan zaman… ”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar