Pagi itu masih sepi. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saat bulan puasa, para santri (dan teman-teman saya) akan tidur sebentar, biasanya mulai pukul 06.30-an. Namun, saya tidak, karena saya sudah bersiap untuk memulai sebuah perjalanan.

pagi di bumi Dieng
Pagi di bumi Dieng/Helmi Santosa

Barangkali, hari ini adalah awal puasa terbaik saya

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

“Ke mana?”
“Naik.”

Begitulah jawaban saya tiap kali ada yang bertanya saya hendak pergi ke mana.


gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng
Gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng/Helmi Santosa

Cerah dan sedikit berawan. Suasana pada pagi, Selasa 13 April 2021, tampaknya memang sedang berpihak kepada saya—hanya untuk pagi itu.

Motor terus melaju naik. Benar, saya tidak bohong. Saya memang sedang naik, karena ketika saya sedang menikmati hijaunya lahan perkebunan yang berada di kaki bukit, selangkah lagi saya sudah hampir memasuki Dataran Tinggi Dieng.

Sebelum masuk kawasan Dieng, saya sempat berhenti sebentar di sebuah gardu pandang. Kalau dari bawah, letaknya berada di kanan jalan. Parkirnya cukup luas dan tidak memakan bahu jalan. Dan yang terpenting, dari sini kita bisa melihat bagaimana Tuhan menjadikan bumi Dieng tampak begitu asri nan sejuk.

pemandangan dari gardu pandang Tieng (2)
Pemandangan dari gardu pandang Dieng/Helmi Santosa

Puas menikmati panorama perkebunan, saya kembali melanjutkan perjalanan. Naik lagi, menuju Dataran Tinggi Dieng.

Saat itu kira-kira pukul 10 pagi, dan saya sedang asyik menyusuri jalanan Dataran Tinggi Dieng yang meliuk-liuk. Sangat indah, sekaligus ngeri. 

Bagi yang sudah pernah, pasti tahu kalau di sepanjang jalan menuju Dieng ini ada banyak kebun kentang, terletak di lereng-lereng perbukitan yang lumayan curam, dengan kemiringan hampir 90 derajat. Kadang terlihat beberapa petani yang menggendong hasil panen mereka sambil menuruni bukit, dan itulah yang membuat saya kagum.

Siapapun bisa tergoda untuk singgah dan menjelajahi bumi Dieng, apalagi saat itu Dieng sedang cerah-cerahnya. Namun, bukan di sini tujuan saya. Perjalanan yang akan saya tempuh masihlah jauh sehingga saya tidak sempat mampir dan menikmati keindahan alam Dieng lebih lama.

Meski begitu, saat sedang menyusuri hamparan buminya yang membentang dan tinggi (kita bisa memandang jauh dari sini, tanpa penghalang), ditambah sejuk dan dinginnya udara Dieng, saya rasa, mungkin inilah awal puasa terbaik saya—sepanjang hidup yang sudah saya jalani.

Rasanya lepas dan bebas.

Tidak ada jagoan yang berdiam di kandang

Kalau dari tadi saya berjalan naik, kini sudah saatnya turun. Dieng sudah berada jauh di belakang. Saya segera menelpon seorang teman yang memang sudah lama ingin saya kunjungi. Rumahnya cukup jauh, terletak di Kec. Kalibening, Kab. Banjarnegara. 

Di sepanjang perjalanan menuju ke sana, sesekali saya berhenti untuk melakukan video call. Iya, untuk menunjukkan lokasi saya dan meminta arah. Persimpangan mana yang harus saya ambil dan di gang mana saya harus belok, kurang lebih seperti itu. Cukup merepotkan memang, karena saya hanya sendiri.

Lewat satu jam lebih, akhirnya saya bertemu dengannya tepat di jalan masuk menuju kampungnya, jalan beraspal kasar yang diapit oleh hamparan persawahan yang membentang luas. Dugaannya bahwa saya hanya datang seorang diri adalah benar, karena ia heran kenapa saya sampai menelepon berkali-kali di sepanjang jalan. 

Melepas tawa sebentar, kami segera meluncur menuju rumahnya. Yang penting sudah sampai.

Waktu itu hampir tengah hari, beberapa menit menjelang adzan Dzuhur. Sebagaimana remaja lainnya, yang saya lakukan pertama-tama tentu saja numpang nge-charge. Barulah kemudian setelah kami selesai melaksanakan shalat Dzuhur, obrolan panjang mengalir di antara kami berdua hingga waktu menunjukkan pukul 2 siang. Waktunya saya pamit. Perjalanan masih panjang.

Sayangnya, hujan mulai merintik. Di teras rumahnya, saya segera mengenakan mantel dan memakai sandal jepit (sebelumnya sepatu). Bila menunggu reda, saya khawatir kesorean saat tiba di tujuan nanti, terlebih perjalanan kira-kira akan memakan waktu 2—3 jam. Akhirnya saya bergegas pamit, meninggalkan rumah mungilnya dan menuju jalan perbukitan yang dari kejauhan tampak gelap.


Benar-benar sepi, hanya ada saya seorang diri. Jalan yang meliuk naik-turun dan rimbun karena lebatnya pepohonan di tepi jalan. Sesekali saya merinding karena, selain hari yang memang sudah mulai gelap, kondisi di jalanan perbukitan itu benar-benar sepi dan sunyi, apalagi kadang hujan turun cukup deras. Saya pun hanya berpapasan dengan dua-tiga kendaraan, setelah itu tidak ada lagi. 

Namun, di samping itu, saya lebih sering merasa geram karena sudah hampir satu jam tapi saya belum juga keluar dari jalanan perbukitan ini. Sedikit jengkel, dan lebih karena bosan. Saya sempat berhenti sebentar untuk mengecek Google Maps, baru kemudian saya tahu kalau saya sedang berada di Pemalang. Ini salah satu foto jalan yang sempat saya ambil.

Begitu keluar dari perbukitan ini, saya sangat merasa lega. Akhirnya rasa jengkel saya berakhir sudah. Sangat membosankan harus melewati jalan tersebut seorang diri.

Saya lalu berhenti di sebuah persimpangan yang kebetulan sedang ada dua orang bapak-bapak di situ. Langsung saja saya berhenti dan menanyakan arah Kota Tegal. Setelah ditunjukkan arahnya, saya kembali meneruskan perjalanan.

Tentang subjudul ini, “Tidak Ada Jagoan yang Berdiam di Kandang”, dari sinilah ceritanya bermula.


jalan perbukitan di Pemalang (2)- Helmi Santosa
Jalan perbukitan di Pemalang/Helmi Santosa

Sore itu, di Pantura, cuacanya cukup cerah—dan tangan saya juga sudah mulai menghitam. Sangat berbeda dengan satu setengah jam yang barusan saya lalui. Agak ngeri ketika saya yang mengendarai motor harus sesekali “mengalah” dan memberikan jalan untuk kendaraan-kendaraan besar yang melaju kencang. Banyak sekali kendaraan besar yang melintas di jalur Pantura.

Karena tak ada belokan, saya terus saja melaju hingga kemudian, secara tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya. Tangan saya, yang tadi kepanasan, sekarang mulai menggigil kedinginan. Hujan turun sangat deras.

Saya masih terus melaju. Ketika terlihat sebuah keramaian yang saya yakini itu adalah kota, saya sedikit melambat. Mengamati papan petunjuk, berharap ada tulisan arah jalan menuju Slawi. Begitu kata Google Maps.

Saya hendak mengunjungi teman saya di salah satu ponpes di Tegal. Pondoknya terletak di Kec. Margasari, dan untuk menuju ke sana, katanya lebih dekat lewat Slawi.

Di sebuah perempatan kecil, masih di Pantura, saya melihat ada papan arah menuju Slawi. Tanpa pikir panjang, saya belok, keluar dari Pantura. Saya sekarang sudah memasuki jalan pasar yang ramainya bukan main, apalagi saat itu adalah hari pertama puasa. Ada banyak sekali orang, pejalan kaki dan pengendara, yang berkerumun dan mondar-mandir untuk membeli takjil, sedangkan saya sendiri, mulai punya firasat kalau saya kesasar.

Bukannya balik arah dan masuk lagi ke Pantura, saya terus saja melaju dan masuk semakin jauh. Orang-orang mulai jarang terlihat, dan sialnya, yang ada di sekeliling saya sekarang hanyalah sawah. Baterai ponsel saya sudah hampir habis, jadi saya matikan datanya, termasuk Google Maps; saya hanya akan memakainya untuk menelepon. Kini, saya kehilangan arah di tempat antah-berantah.

Yang saya tahu sekarang adalah bahwa saya harus terus jalan, jangan sampai saya bermalam di sini. Itu gila. Saya terus menyusuri jalan ini, yang kadang berlubang dan hanya dikelilingi sawah, tanpa tahu ke mana saya mengarah. Waktu itu sudah hampir Maghrib, sudah setengah jam lebih saya di jalan ini dan tidak juga terlihat ada jalan besar atau apa pun itu. Hanya sawah dan jalan berlubang, juga matahari yang perlahan mulai tenggelam.

Kalau kalian tahu, dan saya jujur, ketika itu saya hampir menangis dan dada mulai terasa sesak karena jengkel. Seketika itu juga saya teringat nyamannya berada di rumah. Saya pun jadi ingat saat saya bisa menyetir mobil di Jogja, di rumah. Saya sering ugal-ugalan dan berlagak sok jagoan. Sekarang, saya hampir menangis karena kesasar di negeri orang. Malu rasanya. Sangat malu.

Cerita selanjutnya mungkin akan terdengar dramatis, tapi memang itulah yang terjadi. Kalau saya berhenti sekarang, entah kapan saya akan sampai tujuan. Jadi, saya memutuskan untuk terus lanjut. Kebetulan ada seorang bapak yang baru pulang kerja, saya bertanya lagi, arah Kota Tegal. Ia mengatakan, kalau Tegal masih jauh ke arah barat. Benar, hampir satu jam lebih ini, sejak saya keluar dari Pantura, ternyata dari tadi saya berjalan ke arah timur. Itu artinya saya harus putar balik, dengan waktu tempuh dua kali lipat.

Beruntung, tak jauh dari lokasi saya tersebut ada persimpangan menuju jalan besar yang ternyata adalah Pantura. Langsung saja saya melaju sekencang mungkin, gaspol. Adzan Maghrib sudah berkumandang dari tadi dan saya belum berbuka. Tatkala melihat Indomaret, saya langsung menepi, membeli dua botol minuman ringan, lalu berbuka. Lega rasanya. Lega sudah keluar dari tempat antah-berantah, dan lega karena sudah melepas dahaga.

Singkat cerita, saya sudah memasuki Kota Tegal. Saya nyalakan Google Maps sebentar, lalu menuju ke pondok. Bukan, bukan pondok di Margasari. Ini adalah pondok tempat bertugas teman saya yang lain, sebut saja Mas Komandan. Saya tiba di sini sebelum Isya. Saya menceritakan perjalanan saya barusan kepadanya, saya diberi makan, lalu singgah di ruang tamu.

Saya sudah tidak mungkin lagi untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Jadi, saya minta teman saya yang di Margasari itu untuk datang menjemput. Jarak antara pondoknya dan pondok Mas Komandan ini sekitar 30-an km. Ia pun akhirnya tiba saat jamaah di sini tengah mengerjakan shalat tarawih. Kami bertemu dan mengobrol. Khususnya saya, yang tentu saja bercerita lebih banyak.

Usai shalat tarawih, Mas Komandan mengantarkan kami berdua sampai ke perbatasan kota, saling berpamitan. Selepas itu, kami berdua menuju Margasari, sejauh 30-an km, dalam gelapnya malam di bumi Tegal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar