Saya duduk di dermaga pada malam gelap. Permukaannya berupa kayu yang kini sudah dilapisi karpet biru dari satu ujung ke ujung lain. Hanya ada sedikit terang dari taburan bintang dan sinar bulan di angkasa. Kesunyian sedikit terpecahkan oleh deburan ombak yang terus merangsek ke tepian.
Malam itu di Mola saya akan mendengar cerita bintang dari suku Bajo, pengembara laut Wakatobi yang hidupnya bergantung pada bintang dan benda-benda angkasa lain, entah untuk menentukan arah mata angin, tinggi atau rendahnya gelombang laut, memperkirakan cuaca, bahkan untuk menebak jumlah hasil tangkapan ikan.
Saya ditemani Ibu Ati, sang pemandu pengganti, yang malam itu tampak gugup. Sepenuturannya, ia tak terbiasa bercerita seorang diri. Suaminya, yang ia nilai lebih lihai bercerita, malam itu memilih melaut. Rekan-rekannya yang lain juga entah ke mana. Alhasil, Ibu Ati “solo karier” menjelaskan tentang benda-benda angkasa kepada saya dan kawan-kawan.
Gugup membuat bicaranya kadang berulang. Meski begitu, saya siap mendengar dengan saksama segala yang diceritakan Ibu Ati.
Ia bergegas bercerita. Katanya: takut bintang yang bakal dijelaskan keburu hilang ditelan malam.
“Coba saya tanya barat di mana?” kata Ibu Ati membuka cerita malam itu, setelah ia memperkenalkan diri.
Saya yang buta arah mata angin hanya diam. Biar rekan-rekan saya yang menjawab. Setelah pertanyaan soal mata angin itu cerita pun bergulir. Laser lalu ia sorot ke langit, menunjuk gugusan bintang. Itu Pupuru, gugusan bintang yang dalam ilmu astronomi disebut Pleiades. Kemunculannya bulan November selepas matahari tenggelam jadi tanda arah timur laut. Mengikuti arah Pupuru, kita bakal menuju Pulau Buru, Ambon, dan Maluku.
Benda langit, “kompas” alam “plus-plus” bagi orang Bajo
Di kesempatan lain, Ibu Ati kembali menyorotkan laser ke sebuah gugusan bintang yang disebut Lalayah. Dalam ilmu astronomi, Lalayah dikenal sebagai Crux atau Southern Cross (Salib Selatan). Kehadirannya menjadi tanda arah selatan. Semula saya kesulitan mencari pola mana yang sebenarnya ditunjuk. Rasanya, semua sama saja, tak ada pola khusus. Setelah beberapa menit, barulah saya bisa “melihat” Lalayah. Sepertinya saya memang mesti banyak belajar soal astronomi.
Tapi malam itu tak ada waktu untuk matrikulasi. Semakin dalam Ibu Ati bercerita, semakin banyak pula nama (gugusan) bintang yang disebutkan. Semakin banyak nama bintang yang disebutkan, semakin saya sadar betapa “tangkasnya” saya dalam astronomi.
Kemudian, dari cerita Ibu Ati, saya jadi tahu bahwa ternyata, bagi orang Bajo, bintang bukan sekadar penanda arah. Bintang jatuh atau meteor dipercaya jadi tanda rezeki. Konon, di sekitar perkiraan lokasi jatuhnya “bintang” itu, banyak ikan bakal berkerumun. Maka, begitu melihat meteor menukik, orang Bajo akan segera mendekat ke lokasi.
Benda langit yang “dibaca” orang orang Bajo tak hanya bintang. Mereka juga mengamati bulan. Jika bagi kita bulan hanyalah sekadar penerang malam, bagi orang Bajo bulan adalah tanda. Pasang-surut air laut bisa dibaca dari posisi dan fase bulan, begitu juga (perkiraan) hasil tangkapan dan—konsekuensinya—harga ikan di pasaran.
Dalam komunitas Bajo, terlebih di kalangan nelayan, kemampuan membaca benda-benda langit memang diwariskan turun-temurun. Benda langit menjadi “kompas” alam plus-plus di tengah laut. Akurasinya pun sudah dibuktikan oleh kajian-kajian ilmu astronomi—setidaknya menurut penuturan Ibu Ati.
Lalu, Ibu Ati menyodorkan saya peta bintang. Sayang sekali; bahkan sehabis dikasih peta bintang saja saya masih kebingungan!
Mitos lokal soal kawin lari yang dipicu oleh posisi benda langit
Meski dingin makin merasuk ke tubuh dan saya makin kebingungan membaca bintang, saya tetap bertahan mendengar cerita Ibu Ati. Semakin malam ceritanya malah semakin seru. Puncaknya adalah saat ia menyinggung soal mitos lokal. Setidaknya ada dua mitos yang dipercaya suku Bajo soal benda langit.
Pertama adalah mitos soal Mbok Garagase. Cerita soal Mbok Garagase sebenarnya sudah saya dapat dari para pemuda setempat yang memandu saya keliling Kampung Bajo Mola. Kata mereka, kisah itu secara turun-temurun diceritakan orangtua ke anak-anak supaya mereka lekas tidur. Singkatnya, Mbok (Nenek) Garagase atau Nini Anteh ini membuat jala di bulan dan digunakan buat menjaring anak-anak yang ribut pada malam hari.
Mitos kedua adalah soal hubungan antara posisi benda-benda langit dan kawin lari. Kemunculan bintang dan bulan—aslinya planet—yang letaknya berhimpitan menandakan keesokan harinya bakal terjadi kawin lari. Percaya atau tidak, menurut Ibu Ati mitos ini selalu tepat.
“Jadi kalau malam kita lihat bulan dan bintang berdekatan, wah kita sudah ramai dan bertanya-tanya [apakah] besok ada yang kawin lari,” cerita Ibu Atik sambil tertawa.
Tawanya malu-malu saat bercerita soal kawin lari. Saya lalu memancingnya untuk bertutur lebih banyak soal kawin lari.
“Memang banyak di sini yang kawin lari?” tanya saya penasaran.
Jawaban Ibu Ati cukup mencengangkan. Mayoritas anak muda Bajo Mola memang kawin lari. Mereka melakukannya untuk menyiasati mahar yang terlalu mahal dan menghindari seks di luar nikah. Malam saya di Mola itu pun ditutup dengan rasa penasaran soal kawin lari. Apakah di pulau-pulau lain di Wakatobi kawin lari juga bukan suatu hal yang aneh?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.
Makasih… cerita yang asyik penuh makna, walaupun cuman sepintas tapi membuat saya sadar behwa begitu tingginya ilmu orang Bajo ..