Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pernah hidup sejumlah tokoh yang diyakini merupakan murid Sunan Kalijaga, di antaranya ada Ki Ageng Selo—yang lekat dengan mitos dapat menangkap petir dengan tangan kosong, dan Kyai Santri Jaka Sura.
Sosok yang disebut terakhir, Jaka Sura, makamnya terletak di Dusun Tlogotanjung, Desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan. Sebagaimana makam aulia lainnya, makam Jaka Sura—atau populer dengan nama julukan Kyai Santri, ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah.
Hanya saja, ramai para peziarah yang datang ke makam ini tidak setiap hari, melainkan hanya pada hari pasaran Jumat Wage. Pada hari itu, kompleks makam Kyai Santri tidak hanya ramai oleh para peziarah, namun juga oleh riuh para pedagang yang membuka lapak. Para pedagang yang berasal dari Desa Tlogorejo dan sekitarnya itu menjajal keberuntungan, mengais rezeki dengan banyaknya peziarah yang datang.
Siapa Sosok Kyai Santri?
Dari penuturan Kyai Afifudin, tokoh agama sekaligus sesepuh Desa Tlogorejo—yang kediamannya tak jauh dari makam Kyai Santri, Kyai Santri bernama asli Jaka Sura. Ia merupakan keponakan sekaligus murid kinasih Sunan Kalijaga. Jaka Sura merupakan putra dari pasangan Empu Supa dan Dewi Rasawulan—adik kandung Sunan Kalijaga. Dari pasangan ini, lahir dua putra, yakni Jaka Supa dan Jaka Sura.
Suatu hari, Sunan Kalijaga mengutus Jaka Sura untuk mencari Siti Fatimah—kakak Jaka Sura dari lain ibu. Singkat cerita, bertemulah Jaka Sura dengan kakaknya itu yang telah menikah dengan Empu Sura Niti dan menetap di pedukuhan Cogeh—saat ini menjadi bagian dari Desa Tlogorejo, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak.
Tinggallah kemudian Jaka Sura di rumah kakaknya itu dan mengembangkan syiar Islam di sana. Namun seiring berjalannya waktu, kehadiran Jaka Sura rupanya mengusik kakak iparnya, Empu Sura Niti. Empu Sura Niti cemburu dengan kedekatan Jaka Sura dengan Siti Fatimah, istrinya. Padahal, kedekatan itu hanyalah kedekatan seorang adik dengan kakaknya atau sebaliknya.
Karena itu, Empu Sura Niti merencanakan untuk membunuh Jaka Sura. Di sebuah hutan, Empu Sura membunuh Jaka Sura. Tak jauh dari tempat terbunuhnya Jaka Sura, terdapat telaga dan pohon tanjung. Sehingga kelak kemudian hari, tempat itu dinamakan pedukuhan Tlogotanjung—yang berasal dari dua kata, tlogo yang berarti telaga atau mata air, dan tanjung yang merujuk kepada pohon tanjung.
Tempat itulah yang kini terdapat makam Kyai Santri Jaka Sura dan setiap Jumat Wage diziarahi oleh para peziarah dari berbagai daerah.
Versi Lain tentang Sosok Kyai Santri
Selain penuturan dari Kyai Afifudin di atas, ada versi lain terkait sosok Jaka Sura. Versi itu disampaikan oleh Heru Hardono—yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang peminat kajian sejarah lokal Grobogan.
Menurut Mbah Bejo, Kyai Santri—atau versi Mbah Bejo lebih pas disebut Mbah Santri, merupakan murid Sunan Kalijaga yang ikut dalam rombongan pencarian kayu untuk bahan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan pulang ke Demak, ada seorang santri yang sakit dan meninggal dunia. Rencananya, santri yang meninggal itu mau dibawa pulang dan dimakamkan di Demak.
Namun karena para santri capek dan juga harus membawa kayu sirap yang berat, atas perintah Sunan Kalijaga, santri tersebut akhirnya dimakamkan di daerah di mana mereka beristirahat dari perjalanan. Sunan Kalijaga meminta agar santri yang meninggal itu dimakamkan di tempat yang dapat dilihat oleh orang yang lewat, sehingga makam itu bisa dirawat.
Seorang penggembala kerbau yang mengetahui makam murid Sunan Kalijaga itu, lalu merawatnya secara sukarela. Sejak itu, diceritakan, keberkahan meliputi hidupnya. Kerbau gembalaannya menjadi bertambah banyak, sehingga ekonominya meningkat.
Karena tidak tahu nama murid Sunan Kalijaga yang dimakamkan itu, maka oleh penggembala kerbau itu, makam itu diberi nama “Makam Santri”—yang kelak populer dengan nama “Makam Kyai Santri Jaka Sura”—dan pada perkembangannya ramai diziarahi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah.
Wisata Religi dan Kuliner
Seiring waktu, makin banyak peziarah yang datang ke makam Kyai Santri. Tahun 1990-an, seiring makin banyaknya peziarah, warga setempat mulai memanfaatkannya untuk mengais rezeki dengan menggelar lapak. Setiap Jumat Wage—yang menjadi hari berziarah di Makam Kyai Santri, warga menggelar dagangan, ada yang berbentuk makanan, mainan, ikan hias, dan lainnya. Saat ini, selain warga setempat, para pedagang juga banyak yang berasal dari luar desa.
Kenapa waktu berziarah hanya pada Jumat Wage? Menurut Kyai Afifudin, konon Jumat Wage merupakan hari lahir (weton) Kyai Santri. Sehingga hari itu diyakini merupakan hari terbaik untuk berziarah ke makam Kyai Santri. Dengan demikian, jadilah setiap Jumat Wage, makam Kyai Santri sangat ramai, tidak hanya oleh banyaknya peziarah, namun juga para pedagang.
Banyaknya pedagang, menjadikan tempat ini juga bisa menjadi destinasi wisata, tidak hanya wisata ziarah (religi) namun juga wisata kuliner. Menurut Choerozak Ibnu Marjan, tokoh muda Desa Tlogorejo, di sini ada sejumlah kuliner ikonik yang dikembangkan warga, antara lain dawet, brondong, dan tapak bélo. Sejumlah peziarah yang berziarah karena nazar, mereka sering memborong dawet lalu membagikannya kepada orang-orang yang berada di kompleks makam.
Sisi negatifnya, sebagaimana fenomena serupa yang terjadi di makam-makam aulia atau para wali di berbagai daerah, di kompleks makam Kyai Santri juga muncul banyak pengemis. Mereka duduk sambil meminta-minta belas kasih para peziarah sejak memasuki gerbang menuju makam. Beruntungnya, kehadiran mereka tak terlalu mengganggu, karena bila peziarah tidak memberi, mereka “tidak memaksa”, misalnya dengan membuntuti peziarah—yang sering terjadi di tempat lain.
Dalam lingkup Jawa Tengah, terkhusus di wilayah Grobogan, makam Kyai Santri memang tidak sepopuler makam-makam aulia lainnya seperti makam Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Getas Pendowo, namun potensi kepariwisataan Makam Kyai Santri tak bisa dipandang remeh. Ramainya pengunjung dan pedagang, meski hanya setiap Jumat Wage, membuktikan makam ini sangat potensial untuk di-branding sebagai destinasi wisata religi yang cukup prospektif.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia