Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, boleh dibilang merupakan daerah yang kaya destinasi wisata, utamanya wisata religi atau wisata ziarah. Di daerah ini banyak terdapat makam tokoh masa lalu yang legendaris. Salah satunya adalah makam Ki Ageng Selo.
Makam tokoh besar ini telah lama menjadi salah satu destinasi wisata religi yang sangat populer di Kabupaten Grobogan. Sosok Ki Ageng Selo sendiri lekat dengan legenda penangkapan petir, karena memang tokoh ini dimitoskan sebagai tokoh sakti yang dapat menangkap petir dengan tangan kosong.
Selayang Sosok Ki Ageng Selo
Siapakah sosok Ki Ageng Selo? Sebagaimana saat membincang sosok para wali dari anggota korp dakwah Walisongo dan murid-muridnya—yang populer sebagai penyiar Islam di tanah Jawa, riwayat hidup Ki Ageng Selo juga banyak diliputi aroma mitos dan mistis ketimbang aspek kesejarahannya. Padahal, dari sosok sejarah seperti Ki Ageng Selo, bisa digali kearifan hidupnya yang adiluhung yang bisa dijadikan paugeran (patokan, pegangan) dalam melakoni kehidupan. Banyak sejarawan yang menulis, kisah hidupnya pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah babad.
Zainal Abidin bin Syamsudin dalam buku Fakta Baru Walisongo (Pustaka Imam Bonjol, 2017) menyebutkan, menurut Babad Tanah Jawa, Ki Ageng Selo adalah salah seorang murid Sunan Kalijaga. Ki Ageng Selo merupakan moyangnya raja-raja Mataram.
Menurut Dhanu Priyo Prabowo dalam buku Pandangan Hidup Kejawen dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela (Penerbit Narasi, 2004) disebutkan, Ki Ageng Selo hidup di zaman pemerintahan Kerajaan Demak terakhir. Pada masa itu, Kerajaan Demak di bawah kekuasaan Kanjeng Sultan Trenggono (1521-1545 Masehi).
Nama kecil Ki Ageng Selo adalah Bagus Sogum atau Bagus Songgom. Setelah dewasa dan sepuh, Ki Ageng Selo lebih dikenal dengan nama Kiai Abdulrahman. Kemudian lebih dikenal lagi dengan nama Ki Ageng Selo hingga sekarang karena ia tinggal di Desa Selo—saat ini masuk wilayah Kecamatan Tawangharo, Kabupaten Grobogan.
Menurut sejarah, Ki Ageng Selo masih memiliki alur darah dengan Prabu Brawijaya V—raja terakhir Kerajaan Majapahit. Secara silsilah dapat disampaikan, Prabu Brawijaya V memiliki putra bernama Bondan Kejawan dari selirnya yang bernama Wandan Kuning.
Setelah dewasa, Bondan Kejawan diambil menantu oleh Ki Ageng Tarub, yaitu dikawinkan dengan putrinya yang cantik bernama Dewi Nawangsih. Dari perkawinan itu melahirkan Ki Ageng Getas Pendowo. Lalu Ki Ageng Getas Pendowo memiliki beberapa putra, salah satunya adalah Ki Ageng Selo.
Selain itu, Ki Ageng Selo juga masih memiliki alur saudara dengan Sultan Trenggono di Demak. Menurut sebuah literatur, antara Ki Ageng Selo dengan Sultan Trenggono diikat oleh tali persaudaraan, yakni kadang nak-sanak tunggal eyang (saudara sepupu satu nenek). Hal ini terjadi karena Sultan Trenggono terhitung cucu dari Prabu Brawijaya V, demikian juga Ki Ageng Selo. Keduanya hidup dalam satu zaman.
Ihwal Ki Ageng Selo merupakan moyangnya raja-raja Mataram, dapat dijelaskan sebagai berikut. Adalah cucu Ki Ageng Selo bernama Ki Ageng Pamanahan memiliki anak bernama Danang Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senopati. Sutawijaya seperti diketahui adalah Raja Mataram yang sangat masyhur.
Lahirnya Kerajaan Mataram memang tidak dapat dipisahkan dari sosok Ki Ageng Pamanahan—putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Selo, yang waktu itu dianggap berhasil oleh Sultan Hadiwijaya (penguasa Kerajaan Pajang) dalam mengalahkan Arya Penangsang melalui tangan anaknya Danang Sutawijaya. Melalui kemenangan anaknya ini, Ki Ageng Pamanahann dianggap berhasil dan kemudian diganjar dengan tanah Mataram yang waktu itu masih berupa hutan atau alas Mentaok.
Selama hidupnya, Ki Ageng Selo dikenal sebagai seorang petani sekaligus seorang wali yang cendekia dan juga mumpuni di bidang karawitan, seni lukis, dan seni ukir. Ki Ageng Selo-lah yang membuat pintu bledheg di Masjid Agung Demak, yang kini pintu aslinya masih dapat kita jumpai di Museum Masjid Agung Demak.
Legenda Menangkap Petir
Salah satu mitos atau legenda yang dinisbatkan kepada Ki Ageng Selo adalah perihal kesaktiannya yang sangat luar biasa, yakni dapat menangkap petir dengan tangan kosong. Dalam legenda diceritakan, syahdan, saat sedang asyik bekerja mencangkul di sawahnya yang terbentang luas, mendadak cuaca menjadi mendung. Dalam waktu singkat, petir atau bledheg datang menyambar-nyambar di atas kepalanya.
Sudah berulang kali Ki Ageng Selo mengucapkan kata-kata Subhanallah (Maha Suci Allah), tetapi petir masih menyambar. Bahkan hendak menyambar kepala Ki Ageng Selo. Apa boleh buat. Ketika petir hendak menyambar lagi, terpaksalah kemudian petir itu dilawannya.
Sebelum petir tertangkap, konon sempat terjadi pergulatan atau dalam bahasa Jawa disebut gelut atau udreg-udregan antara Ki Ageng Selo dengan petir tersebut. Sehingga sawah tempat Ki Ageng Selo bergulat melawan petir kemudian disebut dengan nama sawah udreg.
Setelah petir dapat ditangkap, petir lalu dicancang atau diikat pada sebatang pohon bernama pohon gandri. Sampai saat ini, dalam lingkup tertentu, masih terjadi perdebatan, apakah legenda penangkapan petir oleh Ki Ageng Selo itu fakta atau hanya mitos belaka.
Lekatnya legenda itu di benak masyarakat, menjadikan banyak yang masih percaya bahwa Ki Ageng Selo benar-benar dapat menangkap petir karena Ki Ageng Selo diyakini merupakan seorang wali yang diberi kesaktian oleh Allah. Namun tak sedikit pula yang tidak percaya karena penangkapan petir tentu bertentangan dengan realitas ilmiah.
Terlepas dari itu, T. Wedy Oetomo dalam buku berjudul Ki Ageng Selo Menangkap Petir (Yayasan Parikesit Surakarta, 1983) menyatakan bahwa takhayul atau keanehan yang tidak masuk akal (dalam legenda penangkapan petir) itu hanya semata-mata sebagai bumbu ramuan penyedap masakan.
Adapun juru kunci makam Ki Ageng Selo, Abdul Rakhim, dalam sesi wawancara dengan penulis menceritakan, petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo bukan petir pada umumnya. Tapi makhluk Allah yang mewujud dalam bentuk yang berubah-ubah, antara lain dalam bentuk kakek tua renta. Jadi bukan petir dalam konteks fenomena fisika yang terjadi di alam.Abdul Rakim menyebutkan, peristiwa penangkapan “petir” itu sendiri terjadi saat Pati Unus—Raja Demak yang kedua—meninggal, yaitu sekitar tahun 1521 masehi. Ketika itu, Ki Ageng Selo masih berusia sekitar 20-an tahun.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia