Travelog

Secuil Kisah Perjalanan dari Pecinan Pasuruan, “Mutiara Merah” Pesisir Utara Jawa Timur

Perjalanan ke Jawa Timur kali ini, saya ditemani seorang rekan yang sudah saya anggap saudara sendiri. Tujuannya tentu supaya tidak melamun sendiri sepanjang jalan. Tujuan kami yakni kawasan Pecinan Pasuruan. Titik awal keberangkatan dari Solo sekitar pukul 23.00, perjalanan darat dengan bus sampai Jawa Timur subuh. 

Selepas bersih-bersih badan dan sarapan pagi, perjalanan kami lanjutkan menuju Pasuruan. Sebuah kota di pesisir utara Jawa Timur berbatasan dengan Bangil dan Probolinggo. Setiba di Pasuruan, tujuan kami masih cukup jauh.  Jalan santai, kalau ada warung makan berhenti. Untung ada warung soto, kami langsung mampir makan tidak sampai 10 menit  selesai lanjut jalan. 

Salat Zuhur hampir terlupa oleh kami. Buru-buru kami ke masjid. Selepas salat dan istirahat di serambi, kami meninggalkan masjid. Jalanan nampak lengang saat kami melanjutkan perjalanan, jalan santai tidak sampai 10 menit, lalu tibalah kami di tujuan yakni Kampung Pecinan di Jalan Hasanudin Pasuruan. Jangan dibayangkan Kampung Pecinan yang ramai layaknya Surabaya atau Jakarta, di sini berbeda 360 derajat. 

Gapura pemakaman Tionghoa bergaya oriental di Pecinan Pasuruan/Ibnu Rustamadji

Gapura Bergaya Oriental, Tetenger Pecinan Pasuruan

Suasananya jauh dari hingar bingar, padahal dekat jalur utama Pantura Jawa Timur. Sepi dan banyak pohon rindang. Kami putuskan untuk menghabiskan waktu hanya di Pecinan Pasuruan. Tetiba sinar matahari terbias tembok tinggi menutup separuh badan jalan, menarik perhatian kami. Pucuk dicinta ulam pun tiba, benar saja dugaan saya ini gapura pemakaman Tionghoa.

Kami mulai menelusuri Pecinan Pasuruan dari gapura bergaya oriental berinskripsi Bahasa Mandarin yang artinya ‘makam umum’ di Jalan Hasanudin. Jika ada gapura makam Tionghoa, berarti lokasi Pecinan tidak jauh lagi. Benar saja, dari Jalan Hasanudin hingga Jalan Soekarno-Hatta, berjejer apik peninggalan Tionghoa masih bisa dinikmati selama perjalanan. 

Setelah dari gapura oriental, langkah kaki terhenti tepat di seberang gapura yakni di Rumah Singa. Apa dasar penyebutan Rumah Singa? Ternyata, karena terdapat dua patung singa tengah mencengkeram ular di kakinya.

Gedung utama dari Rumah Singa milik keluarga Kwee Khoen Ling Pasuruan/Ibnu Rustamadji

Rumah Singa, Kediaman Kapitan Kwee Khoen Ling, Langkah Awal Penelusuran Pecinan

Saya tertegun melihat detail ornamen bangunan ini, terlintas dalam pikiran siapa pemiliknya. Lalu, berbekal informasi dari Kwee Hong Sien selaku perwakilan keluar marga Kwee Pasuruan, kami mendapatkan cerita panjang mengenai Rumah Singa.

Rumah ini dibangun tahun 1800 oleh Tan King Soe. Lieutenant Chineezen Tan Kong Sing menjadi pewaris selanjutnya, lalu Tan Hing Nio dan suaminya, Kwee Khoen Ling menjadi pewaris terakhir pada tahun 1937. Tan Hing Nio sendiri masih memiliki hubungan dengan Nyai Roro Kindjeng di Surabaya. Sedangkan Kwee Khoen Ling merupakan putra sulung dari Luitenant der Chineezen atau Mayor Tituler Kwee Sik Poo. 

Kwee Sik Poo menjabat 26 Maret 1886 – 2 Oktober 1926. Setelah mengundurkan diri, Kwee Khoen Ling menggantikannya. Luitenant Kwee mendapatkan gelar Groote Zilveren Ster, sebagai Ridder in de Orde van Oranje Nassau. Ia juga menjadi bagian dari dewan kehormatan Societeit Harmonie Pasuruan. 

Kwee Khoen Ling menempati Rumah Singa sepeninggal sang ayah, lalu Muhammad Bin Thalib membeli rumah masa kecilnya ini. Ditangan Muhammad Bin Thalib, kediaman Mayor Kwee Sik Poo tetap dipertahankan keasliannya. 

Puas menelisik sejarahnya, pandangan beralih bagian detail eksterior bergaya classic roman style, interior bergaya art nouveau. Vas porcelain bergaya Tiongkok dan meja kursi keluarga Kwee, masih ada didalam rumah. Beranda depan, tiga pintu dan bovenlicht berhias kaca patri warna biru. Rumah utama diapit dua paviliun kiri dan kanan.  Dua patung singa sejak tahun 1840, ketika Mayor Kwee masih di kediaman awal yang sekarang menjadi milik keluarga Bin Thalib. 

Saat tengah membidik setiap sudut Rumah Sing, tetiba seorang penarik becak di bawah pohon randu melambaikan tangan. Kami pikir mau mengantar keliling, saya reflek untuk menolak dan memberi jawaban karena tidak butuh bantuan. 

Ternyata, kami salah menerima maksudnya, si bapak cuma memberi petunjuk untuk bergeser kesamping, ia menunjuk rumah lama di belakangnya. Sontak kami hanya bisa tertawa. Ternyata Rumah Singa punya tiga bangunan. Kamu kemudian menyeberang, meminta izin ke pengelola rumah untuk berkeliling.

Yayasan Pancasila, Bekas Kediaman Keluarga Han di Pasuruan

‘Yayasan Pancasila’ begitu yang tertulis di beranda depannya. Gedung bergaya indische empire dengan kolom gaya Romawi, dan halaman luas ini merupakan kediaman keluarga Luitenant der Chineezen Han Pasuruan. Inskripsi batu nisan makam keluarga Han di belakang gedung membuktikannya. Inskripsi dalam nisan tertulis Kwee Twan Nio oud 72 Jaar, dan Han Tiauw Hie oud 28 Jaar. Zonen: Han Kian Kie dan Han Kian Sien, dan Dochter: Han Hoen Nio, schoon zoon Kwee Thiam Leng. 

Interior gedung tampak mewah dengan 6 kamar tidur saling berhadapan, dan terhubung satu sama lain. Setiap kamar memiliki dua daun pintu, sisi luar kayu dan sisi dalam kaca putih bergrafir bunga. Beranda belakang didesain seperti hall dan terhubung dengan halaman belakang. Beranda samping menghubungkan kamar dan halaman samping.

Beranda depan dihias tiga pintu utama, ditopang 8 kolom gaya Romawi. Fasad depan bagian atas berhias wajah singa, dengan hiasan rumit di sudutnya. Langit-langit berbahan besi bermotif seperti surya Majapahit. Lantai luar marmer, bagian dalam tegel motif. Sudut halaman belakang, terdapat makam Tionghoa marga Han pemilik rumah. 

Tampak depan Klenteng Tjoe Tik Kiong Pasuruan/Ibnu Rustamadji

Klenteng Tjoe Tik Kiong, Tempat Ibadah Keluarga Opsir Pasuruan

Tujuan kami selanjutnya Klenteng Tjoe Tik Kiong dan Hotel Daroessalam. Karena kakak saya seorang Tionghoa, jadi kami memutuskan istirahat sejenak di klenteng sekaligus sembahyang. Di sana saya menghidupkan hio low. Selesai menghidupkan hio, saya memutuskan keluar dan melihat wayang potehi. 

Klenteng Tjoe Tik Kiong Pasuruan, diduga dibangun tahun 1600-an. Mengacu pada simbol koin yang terukir di tembok kiri klenteng, lengkap dengan sosok dua harimau mengelilingi. Tuan rumah Klenteng Tjoe Tik Kiong yakni Dewi Mak Co yang dikenal sebagai dewi pelindung laut.

Wayang potehi digelar untuk umum, karena pada intinya untuk memberikan hiburan kepada dewa dan masyarakat. Pertunjukan ini untuk menghormati sang dewi, sekaligus Dewi Kwan Im.

Di Klenteng Tjoe Tik Kiong, saya diijinkan untuk membawa berbagai macam kopian buku-buku milik klenteng, salah satu yang saya bawa mengenai ajaran Tao. Malahan, saya disuruh membawa masing-masing satu buku di lemari setinggi 2 meter di beranda klenteng.

Selesai sembahyang, kami pamit ke pengurus klenteng dan melanjutkan perjalanan ke kediaman Mayor Kwee.

Beranda depan Hotel Darussalam, bekas kediaman Kwee Siek Poo/Ibnu Rustamadji

Hotel Darussalam, Kediaman Mayor Kwee

Sebelum perjalanan berakhir, kami singgah ke Hotel Darussalam.  Masih menukil informasi dari Kwee Hong Sien, rumah inilah sejatinya kediaman Mayor Kwee Sik Poo. Salah satu peninggalannya yang paling indah yakni altar sembahyang leluhur yang terbuat dari batu berukiran rumit. Strukturnya masih dipertahankan sampai sekarang. 

Altar tersebut dibuat tahun 1830 ketika keluarga Mayor Kwee masih menempati kediaman, sebelum akhirnya dijual. Muhammad Bin Thalib seorang keturunan Arab-Hadramaut, menjadi pemilik rumah Mayor Kwee selanjutnya. Bin Thalib membeli kediaman ini sekitar tahun 1930-an. Ia menggunakannya sebagai rumah pribadi. 

Pewaris tunggal, Hanif Fachir bin Thalib lalu mulai mengalihfungsikan kediaman ini menjadi hotel. Hotel Daroessalam masih mempertahankan keaslian bangunan dan perabotan yang ada. Terutama peninggalan keluarga Mayor Kwee, yakni altar leluhur. Fasad depan hotel, terdapat hiasan rumit dengan mahkota di tengah dan inskripsi “Daroessalam.”

Penamaan “Darroesalam” guna mengenang Muhammad bin Thalib yang selalu membuka pintu rumah ini 24 jam. Tidak tanggung-tanggung, sang kakek setiap hari menyembelih satu ekor kambing untuk menjamu tamu. 

Hotel Darussalam, kediaman pertama Kwee Siek Poo Pasuruan/Ibnu Rustamadji

Hotel Darussalam bergaya indische, dengan tiga elemen utama budaya Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Elemen Eropa terlihat dari penggunaan pilar besi berulir, di ruang tengah hotel. Kolom gaya Romawi di beranda depan dan belakang, lantai marmer dan tegel motif seluruh ruang. Langit-langit kamar tidur utama berhias dewa-dewi Yunani Kuno. 

Elemen Tionghoa di bagian tembok luar dengan atap pelana ciri rumah tradisional Tiongkok, dengan permukaan segitiga dan trapesium dengan sudut kemiringan tajam.  Selain itu juga altar leluhur Mayor Kwee di ruang utama.

Elemen Jawa tampak pada tata ruang dan penggunaan gebyok gaya Eropa antara ruang makan dan altar leluhur.

***Ketiga bangunan tersebut masih ada hingga sekarang, tapi tidak semuanya menjadi ruang publik. Harapan besar kami yang hanya penikmat dan blusuker bangunan kuno, kelestarian bangunan abad ke-18 di pecinan Pasuruan ini mampu bertahan menghadapi gempuran zaman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah di Balik Dharma Boutique Roastery, Rumah Kopi Tertua Semarang