Travelog

Berziarah ke Makam Ki Ageng Selo, Menyusuri Jejak “Sang Penangkap Petir” (2)

Sebagai moyang yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa, penghormatan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta maupun Yogyakarta. Sebelum Grebeg Maulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala yang tersimpan di sebuah almari di kompleks makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta.

Masjid Ki Ageng Selo tampak dari depan/Badiatul Muchlisin Asti

Makam Ki Ageng Selo sendiri berada di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Kurang lebih 12 kilometer dari Kota Purwodadi ke arah Blora. Setelah sampai perempatan Ngantru, ambil arah ke selatan sekitar tiga kilometer. Makam ini setiap hari banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah, terutama di malam Jumat.

Bila kita berziarah ke makam Ki Ageng Selo, maka kita bisa menyusuri jejak-jejak Ki Ageng Selo di kompleks makam dan sekitarnya. Apa saja? 

Masjid Ki Ageng Selo

Masjid Ki Ageng Selo berada di sebelah timur makam Ki Ageng Selo. Menurut penuturan juru kunci makam Ki Ageng Selo, Abdul Rakhim, masjid asli peninggalan Ki Ageng Selo sudah dihancurkan oleh Belanda. Kemudian masjid itu dibangun kembali oleh Pakubuwana VI. 

Kemudian pemugaran masjid kembali dilakukan oleh Pakubuwana X pada sekira tahun 1930-an. Dalam pemugaran ini, serambi masjid mengalami penambahan luas sekitar dua meter dari bangunan utama. Juga bagian mihrab mengalami perombakan. Bangunan masjid mencirikan bangunan kuno dengan corak joglo—yang sebagian besar bangunan terbuat dari kayu jati dan masih asli.

Ruang dalam Masjid Ki Ageng Selo yang terbuat dari kayu jati dan masih asli/Badiatul Muchlisin Asti

Adapun bedug peninggalan Ki Ageng Selo hingga saat ini masih terjaga keasliannya. Bedug terbuat dari kayu opo-opo. Menurut cerita, satu batang kayu opo-opo dipotong menjadi dua. Potongan pertama digunakan untuk membuat bedug Masjid Ki Ageng Selo. Potongan lainnya digunakan untuk membuat bedug di Masjid Agung Demak. Jadi bedug yang berada di Masjid Ki Ageng Selo dan di Masjid Agung Demak sama alias kembar.

Pohon Gandri

Pohon gandri yang konon merupakan tempat Ki Ageng Selo mengikat petir yang ditangkapnya/Badiatul Muchlisin Asti

Pohon gandri (bridelia monoica) atau sebagian lainnya menyebut “pohon gandrik” diyakini merupakan pohon tempat mengikat petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Pohon itu bisa dijumpai di kompleks makam Ki Ageng Selo.

Almari Api Petir

Almari api petir terdapat di sebelah utara makam Ki Ageng Selo. Di dalamnya terdapat pelita atau lampu teplok yang konon apinya berasal dari petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Dalam sebuah karya ilmiah berjudul Potensi Makam Ki Ageng Selo Sebagai Destinasi Wisata Religi di Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan karya Riza Shirotul ‘Ibad disebutkan bahwa almari itu dibuka pada saat ada ritual pengambilan api pada bulan Muharram dan Maulid oleh rombongan dari Keraton Surakarta Hadiningrat.

Sawah Udreg

Disebut sawah udreg karena dulu merupakan tempat Ki Ageng Selo udreg-udregan atau bergelut melawan petir. Sawah itu sering juga disebut dengan nama sawah mendung, mungkin karena saat menangkap petir itu langit sedang dalam keadaan mendung. Sawah itu terletak di sebelah barat makam Ki Ageng Selo berjarak sekitar 300 meter.

Larangan Ki Ageng Selo

Selain jejak-jejak yang bisa kita susuri saat berziarah ke makam Ki Ageng Selo di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, kita juga bisa memperoleh informasi terkait dengan larangan-larangan dan pepali dari Ki Ageng Selo yang hingga saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Soal larangan, setidaknya ada dua larangan yakni larangan berjualan nasi dan larangan menanam waluh di depan rumah.

Jangan pernah mencari kuliner nasi di sekitaran kompleks makam Ki Ageng Selo dan pedukuhan Selo Pajimatan secara umum, karena tidak akan pernah dijumpai. Sejak turun-temurun, mitos larangan menjual nasi dari Ki Ageng Selo itu begitu dihormati oleh masyarakat setempat hingga sekarang.

Asal usul larangan itu konon bermula suatu hari saat Ki Ageng Selo kedatangan tamu. Seperti biasa, sang tamu disambut ramah oleh Ki Ageng Selo. Juga disambut dengan jamuan makan sebagaimana umumnya menghormati tamu.

Saat aneka makanan telah terhidang di meja, alangkah kagetnya Ki Ageng Selo ketika mengajak tamunya makan, tamunya menolak dengan halus. Rupanya sang tamu sudah makan di warung yang tak jauh dari kediaman Ki Ageng Selo. Kecewalah hati Ki Ageng Selo.

Dari sinilah kemudian muncul piweling atau larangan dari Ki Ageng Selo tentang larangan menjual nasi. Hingga sekarang, larangan itu masih dipatuhi oleh masyarakat setempat.

Warga juga dilarang oleh Ki Ageng Selo menanam waluh di pekarangan depan rumah. Waluh adalah tanaman merambat yang menghasilkan buah cukup besar berwarna orange. Ihwal pelarangan ini pun terdapat asal-usulnya.

Syahdan, suatu hari, Ki Ageng Selo sedang menggendong anaknya di halaman rumahnya yang ditanami waluh. Tiba-tiba datanglah orang gila yang mengamuk kepadanya. Ki Ageng Selo berlari menghindar tapi terjatuh terlentang karena kesrimpet atau tersandung batang wuluh. Tidak hanya jatuh, tapi kain yang dipakai Ki Ageng Selo lepas sehingga membuat auratnya terbuka.

Insiden itulah yang menjadikan Ki Ageng Selo kemudian melarang menanam waluh di pekarangan depan rumah. Larangan ini pun hingga saat ini masih dihormati oleh masyarakat setempat.

Pepali Ki Ageng Selo

Di samping larangan, Ki Ageng Selo juga meninggalkan pepali yang berisi ajaran luhur, tidak saja tentang akhlak mulia atau budi pekerti, tetapi juga mengandung pelajaran ilmu agama Islam yang terdiri dari 4 bagian, meliputi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.

Pepali itu disusun dalam bentuk lagu dan syair: Dhandhanggula. Salinan lengkap pepali Ki Ageng Selo dalam bahasa Indonesia telah disusun oleh R.M. Soetardi Soeryohoedoyo dalam bukunya yang berjudul Pepali Ki Ageng Selo.

Pepali sendiri berarti ajaran, petunjuk, atau aturan. Ada juga yang mengartikannya sebagai pedoman hidup.

Pepali dalam lagu dan syair yang berbentuk Dhandhanggula itu ditulis sendiri oleh Ki Ageng Selo sesuai dengan pakem yang berlaku dalam lagu dan syair Dhandhanggula dan semuanya berjumlah 17 bait. Jumlah baris tiap-tiap baitnya ada sepuluh. Suara akhir masing-masing baris adalah: i, a, e, u, i, a, u, a, i, a. Adapun jumlah suku kata masing-masing baris adalah: 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7.

Cuplikan pepali Ki Ageng Selo yang populer adalah sebagai berikut:

Pepali-ku ajinen mbrekati

Tur selamet sarta kawarasan

Pepali iku mangkene:

Aja agawe angkuh

Aja ladak lan jail

Aja ati serakah

Lan aja celimut

Lan aja mburu aleman

Aja ladak, wong ladak pan gelis mati

Lan aja ati ngiwa.

Artinya:

“Pepali”-ku hargailah supaya memberkahi
Pepali itu seperti berikut:
Jangan berbuat angkuh
Jangan bengis dan jangan jahil
Jangan hati serakah (tamak, loba)
Dan jangan panjang tangan
Jangan memburu pujian
Jangan angkuh, orang angkuh lekas mati
Dan jangan cenderung ke kiri.

Inilah pepali Ki Ageng Selo yang pertama dalam lagu dan bentuk syair Dhandhanggula. Dari cuplikan pepali di atas, kita bisa segera tahu, betapa adiluhung-nya ajaran dan wasiat dari Ki Ageng Selo yang justru seringkali terabaikan, tenggelam oleh pelbagai mitos dan mistis yang dinisbatkan kepada sosok Ki Ageng Selo—yang justru lebih mendominasi dan populer.

Pepali Ki Ageng Selo lengkap bisa dibaca di buku berjudul Pepali Ki Ageng Selo yang ditulis oleh R.M. Soetardi Soeryohoedoyo yang diterbitkan oleh CV. Citra Jaya Surabaya, Cetakan pertama tahun 1980. Atau buku berjudul Pandangan Hidup Kejawen dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela karya Dhanu Priyo Prabowo yang diterbitkan oleh penerbit Narasi, Yogyakarta, Cetakan pertama, tahun 2004.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Berziarah ke Makam Ki Ageng Selo, Menyusuri Jejak “Sang Penangkap Petir” (1)