Perjalanan LestariTravelog

Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau

Pelabuhan Matahari Terbit di Sanur, pagi itu sudah ramai wisatawan. Kami yang baru saja memasuki area parkir, sudah menyangka bakal ramai tapi tidak seramai ini. Puluhan orang berjejal menanti keberangkatan menuju Nusa Penida, pulau yang menjadi tujuan kami dan peserta Kok Bisa Green Creators Academy: Local Impact yang akan diselenggarakan hari itu bersama kelompok Nuansa Pulau. Rencananya, kami akan belajar sedikit tentang terumbu karang beserta cara transplantasinya di sana.

Pelabuhan Matahari Terbit tampak bersolek. Nuansa pelabuhannya mirip dengan bandara. Di lantai dua, ada teras luar yang menghadap langsung laut yang memisahkan Nusa Penida dan Bali. Pelabuhan ini baru satu minggu diresmikan, salah satunya karena ada gelaran G20 di Nusa Dua. Kami yang baru pertama kali ke sini menjadi terkagum-kagum. Pun, dalam pikiran saya terngiang bahwa kadang hanya demi sebuah acara seremonial, suatu tempat bisa berubah drastis; jalannya, pelabuhannya, bandaranya.

  • Pelabuhan Sanur
  • Peserta KBGC

“Ini, makan dulu. Biar nggak ngantuk di kapal,” celoteh Mauren, yang membuyarkan lamunan saya tentang pelabuhan.

Semua peserta menikmati pemandangan dari pelabuhan; ada yang berfoto dengan latar belakang laut, ada yang memperhatikan kapal yang lalu lalang di kejauhan, ada juga yang sedang membuat konten video. Tak lama berselang, kami pun satu per satu menaiki kapal. Sepersekian menit terlewati dari jadwal keberangkatan yang tertera di karcis, saya menjadi gusar. Para peserta yang tadinya terlihat antusias, jadi terlihat resah karena jadwal keberangkatan tampaknya terlambat. Kami semua dibuat mati kebosanan.

45 menit berlalu dalam gelisah, akhirnya kapal bernama The Tanis yang kami tumpangi mulai dikemudikan. Guncangan kapal mulai terasa. Sepanjang penyeberangan, gunung-gunung terlihat indah di sisi kiri. Awalnya saya menikmati perjalanan ini, tetapi pada akhirnya saya memilih untuk tidur.

Ini merupakan kali kedua saya naik kapal dalam hidup. Dan, jujur saja, naik kapal tidak semenyenangkan naik pesawat. Ombak yang saling bertautan menghantam lambung kapal, agak membuat saya gusar, membayangkan kalau-kalau perahu ini terhempas dan kami semua terbalik. Alamak! Saya jadi ketakutan sendiri karena overthinking. Mungkin, trauma semasa kecil karena jatuh dari jetski membuat saya enggan menatap lekat ombak. 

Tiba di Nusa Penida

Dari kejauhan, tanah Nusa Penida sudah terlihat mencolok dengan kapal-kapal yang banyak besandar di pantainya. Pulau ini sama sibuknya dengan Bali daratan yang ramai dengan aktivitas pariwisata. Baru saja kaki melangkah untuk pertama kalinya menuju ke Pelabuhan Penida, saya harus merasakan getirnya jatuh di atas air laut. Baju dan tas yang saya bawa jadi basah semua. Alangkah sebalnya saya hari ini! Kegiatan belum mulai saja, ujiannya sudah cukup meledakkan isi kepala.

Mauren dan Eghi mulai memanggil nama peserta satu per satu, memastikan semua berhadir dan tidak ada yang ketinggalan. Ayu, Debbie, dan Dudu ikut mendokumentasikan kegiatan di tengah arus keluar masuk wisatawan. Selepas presensi, Eghi memimpin rombongan berjalan ke arah parkiran, sementara Mauren sibuk menelpon sang supir yang akan menjemput.

Dari arah yang berlawanan, tampak seorang pria berbaju ungu yang muncul dari arus turis, yang bergerak melawan arah. Ketika rombongan kami berpapasan dengan dia, kami acuh saja, tak mengira dialah yang menjemput kami. Tiba-tiba, dari belakang rombongan, Ayu menyapanya dengan sumringah.

“Bli Gusti!”

Lelaki berbaju ungu itu segera mengenali suara Ayu yang berteriak memanggilnya dan menghampiri rombongan kami. 

“Ayo ke depan, sudah ada mobil yang menunggu kalian,” jelasnya.

Sebuah mobil mini bus sudah menunggu kami di pinggir jalan utama yang cukup sempit dilalui banyak kendaraan. Rombongan kami bergegas naik untuk menghindari kemacetan yang semakin riuh.

Tempat tujuan kami adalah Nuansa Pulau, sebuah kelompok pemuda yang bergerak di bidang transplantasi terumbu karang. Mereka adalah pemuda-pemuda lokal yang dilibatkan untuk memahami alam tempat tinggal mereka, terutama soal laut dan terumbu karang. 

Nuansa Pulau
Foto bersama di depan Nuansa Pulau/Kok Bisa

“Karena materi sudah saya bagikan sebelumnya, saya yakin kalian semua bisa baca. Sekarang silahkan tanya, dari pertanyaan serius sampai pertanyaan konyol,” ucap Pak Pras yang membuka materi pagi itu. Rahmadi Prasetyo, atau yang biasa akrab disapa Pak Pras, merupakan seorang dosen dari Universitas Dhyana Pura yang juga merupakan seorang Coralist Expert di Indonesia, mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta.

“Apakah karang bisa hidup di air tawar apa hanya di air laut?” tanya salah seorang peserta.

“Jawabannya tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena tidak ada karang yang bisa hidup di air tawar, tetapi ada beberapa karang yang tahan dengan salinitas yang tidak terlalu asin. Tapi hampir semua karang ada di laut dengan salinitas 33-35, dan itu asin,” papar Pak Pras.

“Apa dampak fish feeding pada terumbu karang?” salah satu peserta lain bertanya.

“Itu bantuan langsung tunai kepada ikan,” terang Pak Pras diikuti gelak tawa peserta, “Dalam fisiologis dan ekologis tentang hewan laut, kita tidak merekomendasi kegiatan tersebut, karena bakal mengganggu daya juang ikan untuk makan,” lanjutnya.

“Kalau dampak ke karangnya ada, Pak?”

“Kalau dampak ke karang sebenarnya tidak ada, yang jelas kan makanan itu organik dan itu pasti akan hancur juga. Yang berdampak adalah waktu dia memberi makan ikan,[yang mungkin] kakinya menendang karang.”

Lanjut, pertanyaan lainnya dari peserta perempuan yang menanyakan soal aktivitas pariwisata apa yang tidak ramah terhadap terumbu karang. “Yang pertama, yang paling parah adalah kicking ya, kicking itu aktivitas fisik yang akhirnya akan merusak karang. Yang kedua adalah fishibing, yang itu akan membuat massa berkelompok. Yang ketiga adalah masalah muring atau penjangkaran. Kalau kapal lempar jangkar pasti ke bawah kan? Pasti kena karang. Salah satu yang paling disarankan adalah memakai fixed mooring boey, tapi nggak semua tempat ada kan?” jelas Pak Pras.

Kemudian pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut para peserta, Pak Pras menjelaskan pemaparannya dengan telaten dan ringan. Saya tidak terpikirkan bahwa materi terumbu karang bisa seasyik ini untuk dimengerti. Penjelasan Pak Pras berlanjut pada bagaimana karang bisa dikategorikan sebagai hewan, zonasi jenis karang, cara perkembangbiakan, dan lain sebagainya. 

Menurut Pak Pras, pengetahuan tentang alam ini perlu disampaikan kepada masyarakat luas dengan bahasa yang paling sederhana, terutama di media sosial yang sekarang sangat mudah untuk diakses. Nantinya, hal-hal sederhana ini bisa membantu masyarakat luas menjadi paham kenapa terumbu karang sangat berarti bagi ekosistem laut.

Interaksi cair antara kami dan Pak Pras membuat waktu menjadi berlalu sangat cepat, tak terasa saat yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba: berkebun terumbu karang! Sebelum peserta pergi ke laut untuk menanam terumbu karang, Bli Nyoman memberikan penjelasan mengenai bagaimana prosedur penanaman terumbu karang beserta media yang digunakan, reef stars. Ada 15 fragment dalam satu reef stars, yang terbagi di beberapa sisi. Di setiap sisinya, kecuali tiga sisi lain yang digunakan untuk mengikat reef stars satu sama lain, terikat satu baby coral yang akan harapannya akan tumbuh setelah berada di laut.

  • Materi terumbu karang
  • Pemasangan terumbu karang
  • Memasang fragmen karang

Satu per satu peserta dengan telatennya mengikat bayi-bayi karang ke reef stars. Tidak satupun di antara mereka yang tak antusias. Bahkan beberapa peserta ingin mengikat lebih banyak karang dari jumlah yang sudah ada.

Meski langit cukup kelabu, tiada satupun air yang jatuh ke bumi siang itu. Kapal yang tertambat di pinggir pantai sudah memanggil kami untuk menaikinya. Kondisi saat itu laut cukup tenang, angin tidak berhembus kencang. Setelah mengikuti aba-aba dari Pak Pras dan kru Nuansa Pulau, semua yang berada di kapal mulai menceburkan diri. Masing-masing mulai mengamati terumbu karang yang tumbuh di sekitaran Nusa Penida. Terumbu karang di perairan Nusa Penida kondisinya cukup bagus. Setelahnya, kami meletakkan tiga reef stars di dasar laut dengan kedalaman 7 meter. 

Berkah terbesar Bali adalah laut. Laut bagi masyarakat di Nusa Penida adalah tautan langsung menuju Sang Hyang Widhi. Jauh sebelum peraturan perundang-undangan tentang pelestarian ekosistem laut dibuat, masyarakat di Pulau Nusa Penida sudah memberlakukan hukum adat atau disebut awigawig yang melindungi alamnya dari eksploitasi berlebih. Meskipun gemerlap pariwisata sempat mengancam alam Penida yang memukau, lambat laun kesadaran masyarakat kembali tumbuh, seiring pengajaran dan pembelajaran yang mereka dapatkan.

Seusai lelah snorkeling dan santap siang. Acara berlanjut dengan pemaparan Menjadi Green Content Creator oleh Debbie Marteng. Sebagai seorang kreator konten, Debbie menceritakan kiat-kiat apa saja yang diperlukan untuk bisa survive dalam dunia perkontenan. Ia juga membagikan cukup banyak tips untuk peserta dalam membuat karya video kampanye perjalanan lestari dan tentu saja perjalananya menjadi seorang kreator konten.

“Sebelumnya saya tidak tahu apa-apa tentang gambar, tapi sok tahu aja tentang menggambar. Ternyata, pas kontennya naik. Akhirnya saya bikin clay artwork; bikin asbak, celangan, terus kontennya naik juga,” ceritanya. Debbie mengingatkan bahwa untuk jadi kreator konten perlu ketelatenan dan konsistensi yang tinggi. Kreatifitas perlu terus diasah untuk tetap menghasilkan konten yang digemari orang banyak. 

“Di dunia ini tidak ada yang baru, adanya ATM (Amati Tiru Modifikasi),” tutur Debbie meyakinkan para peserta untuk berani mulai membuat konten sepulang dari Nusa Penida.

  • Kebun karang
  • Reef star
  • Reef star
  • Reef star
  • Debbie Marteng

Kala mentari tak nampak jua karena kepulan awan yang mulai semakin rapat, kami semua harus menyudahi kegiatan di Nusa Penida. Seharian berkawan dengan laut dan matahari membuat sebagian kulit saya terbakar. Saya dan Mauren harus meninggalkan teman-teman di belakang untuk mengurus tiket kapal menuju ke Bali daratan. Semoga saja hujan tidak turun. 

20 menit berselang, para peserta mulai berdatangan ke pelabuhan. Kami menghabiskan sisa waktu di Penida berkumpul di warung untuk jajan dan minum kopi. Kapal datang, dan kami masuk dan mengecek semua peserta agar tidak ada yang tertinggal.

Tapi tunggu! Ada dua orang yang tidak terlihat batang hidungnya di kapal. Jangan-jangan mereka ketinggalan di pelabuhan? Atau jangan-jangan mereka masih di Nuansa Pulau?

Saya menjadi agak sedikit panik.

Mauren mulai berkeringat gugup dan naik ke atas dek untuk menghitung kembali peserta. Setelah bolak-balik sampai tiga kali, dua orang yang kami cari ternyata duduk santai di beranda. Syukurlah, di hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan ini, saya mengakhirinya dengan duduk mengantuk di kursi kapal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *