Pilihan EditorTravelog

Belajar Silat Cimande

Gerak tangan-tangan menembus udara di sekitar kami hingga berembus. Lengan-lengan yang mengayun dengan kokoh itu membentuk semacam pagar penghalang bagi siapa pun yang mencoba menyentuh badan. Otot-otot tampak mengeras, mengancam dari balik kulit. Kelid, begitu nama jurus itu, diperagakan oleh Uwa Dama dan Ki Didih, dua orang pesilat aliran Cimande. Di tempat ini, meskipun dingin mengerubungi, semangat saya tetap menyala menyaksikan warisan tak benda itu diperagakan di hadapan saya.

Setelah usai, kami berbincang sembari menikmati kopi panas. Kebul asap kopi naik, perlahan-lahan menghilang dilalap udara dingin.

“Cimande itu meskipun terlihat keras sebenarnya tekniknya tidak untuk membunuh, hanya menegur,” terang Uwa Dama.

“Kuda-kuda yang dipakai pun jalannya mundur. Itulah filosofi yang orang Cimande pegang: tara pasea raga,” tambah Ki DIdih.

Memang Cimande diajarkan untuk menegur, bukan membunuh apalagi memusnahkan. Ki Didih, salah seorang guru besar Cimande, menambahkan bahwa dasar Cimande itu adalah taleq atau sumpah yang diambil sebelum menjadi murid. Taleq didasari pada ajaran agama Islam. Oleh karena itu Cimande kental sekali dengan unsur Islam, meskipun belajar silat ini tidak terbatas untuk kalangan tertentu. Ada 14 poin dalam taleq ini yang harus dipatuhi seluruh pesilat Cimande, salah satunya adalah bahwa belajar silat Cimande bukan untuk gagah-gagahan melainkan untuk mencari keselamatan dunia akhirat.

Pesilat-pesilat cilik sedang diajarkan silat aliran Cimande oleh Ki Didih/M. Irsyad Saputra

Oleh aliran-aliran silat lainnya, silat Cimande diakui sebagai bentuk silat tertua di Tanah Pasundan. Silat Cimande berasal dari Desa Cimande yang berada di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Suasana desanya asri, diimpit dua gunung, Gede dan Salak, selalu diembus angin baik siang dan malam sehingga tempat itu sejuk di kala siang dan dingin ketika malam menjelang. Ada lima kampung di Desa Cimande, yakni Tarikolot, Nangor, Babakan, Lemah Duhur, dan Kampung Baru.

Dalam beberapa versi soal asal usul silat ini, Abah Khaer merupakan tokoh yang berjasa menyebarluaskan aliran ini hingga menjadi terkenal. Berdasarkan versi Kampung Tarikolot, silat Cimande merupakan keterampilan yang diajarkan serta diwariskan oleh leluhur-leluhur Cimande untuk menjadi pelajaran bagi anak cucu. Gerakannya terinspirasi dari gerakan tubuh sehari-hari sehingga silat ini lekat dalam kehidupan.

Dua orang pesilat cilik sedang memperagakan silat Cimande/M. Irsyad Saputra

Ada tiga bentuk jurus yang diajarkan dalam silat Cimande yaitu kelid Cimande, pepedangan, dan tepak selancar. Belajarnya pun tidak diawali dengan kuda-kuda berdiri, tetapi duduk terlebih dahulu. Hal ini mengandung makna bahwa manusia memulai sesuatu secara berangsur-angsur. Tiada berdiri tanpa duduk terlebih dahulu.

Ki Didih merupakan keturunan langsung dari sesepuh Cimande Tarikolot. Diajari oleh beliau merupakan berkah tersendiri bagi saya sebagai penggemar bela diri tradisional. Beberapa jurus dasar beliau ajarkan kepada saya. Keras tangan beliau mulai menghantam tangan saya yang kurus. Sebentar saja tangan saya mulai terasa nyeri. Hasilnya langsung terlihat: bengkak.

Latihan bersama tiap malam Minggu di Saung Penca/M. Irsyad Saputra

Setelah dirasa cukup, bukannya menyudahi latihan, beliau malah menambah porsi latihan saya dengan kecer tangan. Kata beliau tangan saya belum cukup terlatih, maka perlu ditambah lagi. Kecer tangan memang menjadi bagian dari tahapan latihan silat Cimande. Fungsinya adalah menggeser serat daging yang ada di tulang sehingga rasa sakit ketika tangan dihantam tangan jadi berkurang. Latihan ini menggunakan medium tebu yang sudah dipadatkan dalam sekam padi yang panas hingga airnya hilang dan tebu itu menjadi lebih keras.

Tebu mulai diayunkan. “Puk! Puk! Puk!” demikian suara tebu bertemu dengan tangan saya. Tangan saya memerah dan lama-lama membiru. Rasanya nyeri seperti terantuk meja sekolah.

Peurih kudu jadi peurah,” ucap Ki Didih kepada saya. Artinya kurang lebih: kesusahan yang kita alami harus menjadi pelajaran yang sangat berharga. Dan memang itulah tujuan saya datang ke sini.

Hari-hari selanjutnya ketika tangan saya sudah terlihat seperti raksasa, barulah tangan saya mulai diurut Ki Didih.

“Orang tua kita dahulu mewariskan ilmu tidak tanggung-tanggung. Kita juga diajarkan untuk mengurut sebagai bagian dari latihan silat Cimande,” papar Ki Didih di hadapan saya. Nyut-nyutan rasanya ketika balur penca diusapkan ke tangan. Balur penca dibuat khusus oleh guru-guru yang mempunyai silsilah, tidak sembarangan orang bisa membuat minyak ini.

Sembari memerhatikan, saya juga diajari cara mengurut tangan saya yang bengkak. Cimande bukan cuma mengajarkan “merusak” tapi juga mengajarkan cara memperbaikinya.

Bersilaturahmi di Saung Penca/M. Irsyad Saputra

Saung Penca tempat Ki Didih melatih tidak pernah sepi dari orang-orang yang datang berkunjung, entah untung belajar silat, silaturahmi, atau bahkan urut. Bahkan orang-orang dari luar negeri yang penasaran dengan silat Cimande langsung datang belajar ke sana.

Sesepuh Cimande barangkali tidak pernah ke mana-mana, tapi Cimande terkenal di mana mana.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *