Setiap menyebut nama Jogja, selalu terbersit di benak saya tentang kearifan warga, budaya, sejarah, hingga gemerlap kota. Namun sayang di masa pandemi sekarang gemerlap Jogja yang biasanya tak pernah mati itu akhirnya padam juga.
Minggu pagi, 4 Oktober 2020, saya menginjakkan kaki di Kota Pelajar. Kota tampak lengang, tak semacet biasanya. Objek-objek wisata pun sepi.
Lantas saya mencoba mampir ke Taman Sari. Tampaknya tempat wisata yang dulunya jadi tempat mandi para putri dan selir raja itu baru kembali dibuka. Ketika tiba di sana, saya lihat banyak tempelan tentang protokol kesehatan yang dibuat pengelola demi mencegah penyebaran COVID-19.
Salah seorang pengelola Taman Sari bercerita pada saya bahwa jumlah pengunjung menurun karena wabah. Dulu, setiap hari bisa sampai ratusan wisatawan yang datang. Untuk membeli tiket saja mesti rela dulu untuk mengantre panjang. Semasa corona, pelancong yang datang berkurang sampai setengahnya.
Tapi kapan lagi bisa merasakan Taman Sari kosong begini?
Parkiran mobil tak ramai. Saat melangkah menuju gapura utama istana air itu pun saya lihat tak banyak pelancong, pun para pedagang yang biasanya berjualan mengharap rezeki datang lewat para turis. Masih ingat betul saya, di tempat saya sedang berjalan ini dulu banyak sekali pedagang, entah yang menggelar dagangannya di kaki lima atau yang mengasong.
Saat asyik mengamati area taman yang sepi itu, seorang pria bertopi dengan handheld transceiver (HT) menghampiri saya. Ia bertanya dengan berapa orang saya akan masuk. Saya jawab bahwa saya datang berdua. Mendengar jawaban itu, ia mengarahkan kami ke titik kumpul yang berada di sebelah sana. Tampaknya ada aturan baru yang diterapkan di Taman Sari.
Sang petugas meminta kami menunggu beberapa menit. Mereka akan mengumpulkan pengunjung—minimal 8 orang, maksimal 10—sebelum dipandu memasuki area dalam Taman Sari. (Membatasi wisatawan dalam rombangan kecil rasanya adalah langkah yang strategis. Jika wisatawan bergerombol kemungkinan terjadinya penyebaran baru akan semakin tinggi. Jika penyebaran tetap tinggi, tentu kemungkinan bahwa tempat-tempat wisata di Jogja ditutup kembali akan lebih tinggi.)
Nyatanya kami menunggu agak lama. Dua puluh menit kemudian barulah terkumpul 8 orang wisatawan. Lalu, pemandu bertopi itu menempatkan seorang pemandu di kelompok kami. Sebelum rombongan kami mulai jalan, sang pemandu memberi tahu aturan-aturan yang harus ditaati saat berada di area dalam Taman Sari, termasuk soal protokol kesehatan. Salah satu hal yang mesti dipatuhi pengunjung taman sari adalah larangan untuk memegang dinding area Taman Sari.
Usai pengarahan itu, kelompok kami dipanggil ke lokasi untuk menunggu giliran masuk Taman Sari. Rasanya proses untuk masuk Taman Sari tak pernah serumit ini. Di lokasi tunggu itu suhu tubuh saya dan rekan-rekan serombongan dicek. Setelah itu kami diarahkan ke wastafel untuk mencuci tangan.
Lima menit setelah kloter pertama masuk, giliran kami tiba. Agar tak terjadi penumpukan massa, sang pemandu memberikan arahan tambahan soal alur perjalanan. Tak bisa berkeliaran sembarangan lagi sekarang.
Kami pun memasuki Taman Sari. Di beberapa titik ada petugas yang berjaga. Seperti polisi lalu lintas sedang bertugas membuka dan menutup jalan, para petugas itu mengatur interval waktu perjalanan tiap rombongan. Untuk berfoto-foto pun sekarang mesti mematuhi batas waktu.
Untuk sementara, tak bisa dulu berlama-lama di Taman Sari, setidaknya sampai Jogja gemerlap lagi.
Asli Kota Pahlawan. Menggeluti dunia kreatif, sehari-hari ia bercengkerama dengan konten.