Selain Tugu Tauco di Cianjur, terdapat pula Tugu Lampu Gentur, Tugu Kecapi Suling, dan Tugu Kuda Kosong. Adakah makna atau pesan-pesan tertentu di sebalik tugu-tugu tersebut?
Selama ini, tauco begitu identik dengan Cianjur. Begitu menyebut Cianjur, yang mungkin segera terlintas di benak sebagian orang adalah tauco. Julukan Kota Tauco melekat kuat-kuat pada Cianjur. Itu tidak salah. Lembar-lembar sejarah mencatat tauco telah masuk ke wilayah Cianjur jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.
Sejumlah literatur menyebut pembawa tauco pertama ke Cianjur adalah seorang pedagang asal Tiongkok bernama Tan Kei. Diperkirakan itu terjadi sekitar tahun 1880. Sejak itu pula industri pengolahan tauco di Cianjur mulai berkembang, yang berangsur menjadikan produk hasil fermentasi rebusan kacang kedelai ini kemudian identik dengan Kota Cianjur.
Nama Cianjur sendiri dapat merujuk kepada setidaknya dua wilayah administratif. Yang pertama yaitu Kabupaten Cianjur, dengan luas sekitar 3.614 kilometer persegi. Yang kedua adalah kecamatan Cianjur, yang sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Cianjur, dengan luas sekitar 26,15 kilometer persegi.
Jika melintas ke tengah-tengah Kota Cianjur, persis di perpotongan Jalan Dr. Muwardi dan Jalan HOS Cokroaminoto, di antara jejeran toko oleh-oleh khas Cianjur, kita dapat melihat Tugu Tauco. Keberadaan tugu ini tentu saja untuk kian menegaskan bahwa tauco memang identik dengan Cianjur.
Terlihat replika tiga botol tauco raksasa berwarna kecoklatan, yang seolah sedang mengucurkan tauco ke sebuah mangkuk, terpajang di Tugu Tauco. Kabarnya, di awal-awal sejak peresmiannya, tugu ini dilengkapi dengan air yang memancur. Namun, saat melongok tugu ini, di siang bolong berawan, pada pertengahan Mei 2022 lalu, saya sama sekali tak mendapati adanya air yang memancur. Yang justru membuat saya agak prihatin yaitu keberadaan beberapa coretan hasil dari tangan-tangan jahil di sekitar tugu nan ikonik ini.
Dan berbicara tugu ikonik di Cianjur, Tugu Tauco bukan satu-satunya. Jika bergeser ke sebelah barat, sekitar 1,7 kilometer dari Tugu Tauco, kita dapat bersua dengan Tugu Lampu Gentur. Tatkala meluncur dari arah Kota Kembang, Bandung, menuju kawasan Puncak atau sebaliknya, Tugu Lampu Gentur ini pasti akan kita lewati.
Lampu gentur merupakan salah satu produk kerajinan khas Cianjur yang kini telah menjadi warisan budaya tak benda Kabupaten Cianjur. Gentur sendiri merujuk kepada nama sebuah kampung di Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, tempat lampu hias ini diproduksi. Selain untuk memenuhi pasar domestik, produk lampu gentur Cianjur juga diekspor untuk memenuhi permintaan pasar di sejumlah negara.
Kecapi suling
Bergeser ke arah timur dari Tugu Lampu Gentur dan Tugu Tauco, kita dapat menjumpai tugu lainnya yakni Tugu Kecapi Suling. Tugu ini berada di Jalan Raya Bandung Cianjur. Persisnya di daerah Sukamantri, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur.
Tugu Kecapi Suling mengapit Jalan Raya Bandung-Cianjur. Dengan demikian, ada dua tugu berdiri di tepi jalan. Jika meluncur dari arah Cianjur, Tugu Suling berada di sisi kiri, sementara Tugu Kecapi berada di sisi kanan kita.
Kecapi dan Suling keduanya adalah waditra (instrumen musik) yang lazim dipergunakan dalam musik-musik tradisional Sunda, terutama pada tembang Cianjuran dan musik degung.
Sayang, seperti juga Tugu Tauco, beberapa coretan terlihat pula menghiasi tugu ini. Di saat yang sama, rumput liar tumbuh subur sementara kepingan-kepingan sampah bertebaran di sekitar tugu.
Kurang lebih lima kilometer dari Tugu Kecapi Suling, ke arah Bandung, berdiri tugu ikonik lainnya, yaitu Tugu Kuda Kosong. Tugu ini menjadi bagian dari taman kecil, yang menjadi pembatas perpotongan jalan antara Jalan Raya Bandung-Cianjur dan Jalan Raya Cibogo-Ciranjang.
Kuda kosong adalah salah satu seni tradisional khas Cianjur. Unsur utama dalam seni kuda kosong adalah kuda beserta aksesorisnya, hiasan bunga, payung, penuntun kuda plus beberapa prajurit sebagai pengiring.
Cikal bakal seni kuda kosong bisa dilacak ke masa pemerintahan kerajaan Mataram. Konon, di masa itu, Raja Mataram memberi hadiah berupa sebilah keris, seekor kuda, dan bibit pohon saparantu kepada Dalem Cianjur, Raden Kanjeng Aria Wiratanudatar.
Saat dibawa ke Cianjur, kuda hadiah dari raja Mataram tersebut hanya dituntun alias tidak ditunggangi. Begitu sampai ke Cianjur, kuda hadiah itu langsung diarak keliling kota dan sekaligus menjadi sebuah tontonan bagi masyarakat Cianjur. Sejak itulah, konon, seni kuda kosong lahir di Cianjur dan lantas menjadi salah satu seni tradisi yang identik dengan Kabupaten Cianjur.
Atraksi seni kuda kosong pernah dilarang dipertontonkan selama rentang tahun 1998-2006 oleh pemerintah Kabupaten Cianjur. Penyebabnya karena sebagian besar masyarakat Cianjur masih meyakini bahwa atraksi kuda kosong dilakukan dengan melibatkan hal-hal mistis dan gaib yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.
Namun, pada tahun 2006, saat masa kepemimpinan Bupati Tjetjep Muchtar Soleh, setelah melakukan musyawarah dengan para ulama dan budayawan setempat, seni kuda kosong akhirnya dapat kembali dipertunjukkan di hadapan publik. Saat ini, seni kuda kosong hanya ditampilkan pada acara perayaan hari jadi Kabupaten Cianjur dan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tentu saja, di samping Tugu Kuda Kosong, Tugu Kecapi Suling, Tugu Tauco, dan Tugu Lampu Gentur, Cianjur masih menyimpan beberapa tugu ikonik lainnya. Misalnya, Tugu Pandan Wangi di Rancagooong serta Tugu Teh di Sukanagara.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.