Terik dan panasnya sinar matahari siang itu tidak menyurutkan semangat para petani di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) untuk berkumpul; mendiskusikan tentang masa lalu, kini, dan nanti lahan pertaniannya. Mereka adalah generasi kedua dari program transmigrasi masa Orde Baru, mayoritas berasal dari Jawa Tengah. Orang tua mereka sudah menanam padi sejak awal tiba di Tubaba, sudah melewati banyak negosiasi dan kompromi tentang budidaya padi yang politis dan kultural ini. Namun, saya gelisah, karena tidak satupun dari kami yang berkumpul di bawah rumah panggung itu mengetahui asal mula padi di Indonesia. Kecuali Pak Hery, seorang petani Demak yang sengaja diundang ke Tubaba untuk menginspirasi rekan-rekan sejawatnya tentang budidaya padi dan proses pengolahannya.
Aroma kopi dan pisang goreng menyeruak dari meja di hadapan saya ketika Pak Hery, memulai silsilah singkat padi di Indonesia. Berdasarkan narasinya, padi yang ada di Indonesia saat ini merupakan percampuran antara kelompok Japonica dari Cina Selatan dan kelompok Indica dari India, sehingga menghasilkan varietas padi Javanica. Perkawinan ini menghasilkan ciri khas beras yang tidak terlalu pulen dan lengket seperti jenis Japonica (beras untuk sushi) dan berukuran tidak telalu panjang dan besar seperti beras jenis Indica (beras basmati atau arborio untuk risotto).
Pada perkembangannya, jenis ini kemudian “dikawinkan” dengan banyak keunggulan lainnya sehingga menghasilkan sejumlah varietas padi yang banyak ditanam di Indonesia saat ini. Seperti yang saat ini dibudidayakan Pak Hary di Demak, varietas padi spesial yang menghasilkan beras premium berkualitas tinggi dengan aroma khasnya sendiri. Menurutnya, sejarah budidaya tanaman tidak hanya terbatas pada sisi biologisnya saja, namun juga mencakup jejak peradaban, termasuk akulturasi budaya hasil interaksi bangsa dan ras yang mengkonsumsi dan menyebarkan tanaman tersebut.
Sore harinya di tepi kolam buatan, ditemani gemericik air dan puluhan Ikan Koi, saya tenggelam dalam mini riset tentang sejarah padi di Indonesia dengan berselancar di dunia maya. Ternyata sejarah padi memang kompleks, terlebih jika kita sandingkan dengan kajian genetik, geografi, historis dan arkeologi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh para peneliti di New York University, Washinton University, Standford University, dan Purdue University menyebutkan bahwa Padi Asia (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman tertua di dunia.
Berdasarkan bukti arkelogi, padi Japonica pertama kali ditanam di Lembah Sungai Yangtze Cina Selatan sekitar 9000 tahun lalu. Sedangkan padi Indica ditanam pertama kali di Lembah Sungai Gangga India, sekitar 5000 tahun lalu. Selain itu, teori evolusi menjelaskan dua kubu yang berbeda. Teori satu-asal (single-origin) menyatakan bahwa Japonica dan Indica merupakan hasil domestikasi dari padi liar yang lebih tua yaitu Oryza rufipogon. Sedangkan teori multi-asal (multi-origin) menjabarkan bahwa terdapat perbedaan genetik yang signifikan antara Japonica dan Indica.
Dalam perjalanannya, terjadi pendinginan global sekitar 4200 tahun lalu, yang menyebabkan penurunan temperatur dan kelembaban global, sehingga mengharuskan petani-petani di Cina (dan Asia Timur) ini bermigrasi ke banyak lokasi, termasuk ke Asia Tenggara, dan Indonesia. Berdasarkan laporan studi NYU ini, padi Japonica pertama kali didomestikasi di Indonesia sekitar 2500 tahun lalu. Pada periode yang sama, melalui jalur perdagangan padi Indica juga mulai ditanam di nusantara.
Kegelisahan saya tidak kunjung sirna, alhasil pada hari yang sama, saya mengajak Pak Hery berdiskusi lebih mendalam. Di sebuah rumah panggung milik Kepala Desa. Sambil menyantap gorengan, Pak Hery melanjutkan kisah perjalanan padi di Nusantara. “Sejarah padi juga bisa kita lihat di beberapa peninggalan sejarah, misal di bangunan candi atau kitab-kitab kerajaan tua,” ujarnya. Hal ini menambah keyakinan saya atas kebenaran studi yang dipublikasikan NYU. Mungkin, jika pandemi sudah cukup reda, saya bisa membuktikan sendiri dengan melihat relief candi-candi yang dimaksud Pak Hery. Padi Javanica atau yang kini masuk kelompok Japonica tropis, memiliki citra kuliner tersendiri; “Puak Melayu / Ras Melayu bisa dibilang yang paling mampu meramu, ibarat koki, ras ini paling jago meramu (berakulturasi),” tutur Pak Hery.
Menurutnya, di Indonesia, perbedaan rasa, aroma, dan tekstur beras juga tergantung suku dan lokasi, contoh Suku Jawa di Surabaya menyukai beras yang berbeda dengan beras yang dikonsumsi oleh mayoritas Suku Minang di Sumatera Barat. Di Jawa, orang lebih suka beras yang pulen, lembut dan agak lengket menggumpal. Sedangkan di Sumatera Barat, Suku Minang suka beras solok, yang pulen namun tidak lengket, atau lebih terpisah alias terburai. Beras Cianjur yang disukai di Pulau Jawa lebih mirip dengan beras dari padi Japonica, sedangkan Beras Solok, berukuran panjang lebih mirip beras dari padi Indica, mirip basmati.
Pak Hery menambahkan, tiap daerah sebenarnya memiliki padi khas sendiri disesuaikan dengan kesukaan orang-orang yang menetap di lokasi itu. Hal ini yang kemudian menjadi passion-nya untuk membudidayakan padi premium dengan ciri khas daerah-daerah di Indonesia. Menurutnya, penyeragaman bibit padi hibrida di Indonesia itu melanggar kodrat, selain menyebabkan ketergantungan petani kepada “pencipta” bibit, kebijakan ini juga membunuh khasanah cita rasa beras Indonesia, yang sejatinya beragam. Seharusnya, tiap daerah dapat memiliki padi dan beras khasnya masing-masing, dan ini bisa menjadi potensi bisnis tersendiri untuk para petani. Mereka dapat menciptakan pasar dan menentukan harga sendiri, tanpa harus terikat pada lingkaran setan panen raya atau tergantung pada ketersediaan dan subsidi bibit dari Pemerintah.
Diskusi kami ditutup dengan makanan khas Lampung, Seruit, campuran ikan bakar dengan beragam sambal terasi lengkap dengan tempoyaknya (fermentasi durian). “Ini padi hibrida Mapan05, nasinya pulen dan lengket, kapan-kapan coba beras aromaterapi punya saya, selain wangi punya nilai gizi yang lebih baik untuk kesehatan, dan anti diabetes,” celetuk Pak Hery, yang disambut tawa para petani Tubaba.
Senang membaca, makan, dan jalan-jalan.