Oktober 2020, Indonesia kembali berada dalam masa tidak baik-baik saja. Rakyat kembali digegerkan oleh keputusan para wakilnya yang mengandung banyak kejanggalan.
Di saat semua rakyat tertidur pulas, para anggota dewan tengah bekerja keras. Membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja, katanya. Mengatasnamakan kepentingan rakyat lantas mengambil keputusan secara tergesa, bahkan terkesan sepihak.
Dia mengamati jagat media sosial dan pemberitaan yang kini tengah ramai dipenuhi judul besar “RUU Cipta Kerja” atau “Omnibus Law.” Membaca dan menganalisisnya, serta menemukan beberapa poin penting, membuatnya sadar ternyata banyak sekali sisi negatif yang dihasilkan oleh RUU ini. Otaknya bekerja dan semakin bertanya-tanya, “Apa benar yang mereka sahkan ini adalah suara dari rakyat? Lantas suara rakyat mana yang mereka wakili?”
Lama dia berpikir, hingga sebuah pesan masuk muncul dari telepon genggamnya. Pesan masuk itu berisi pemberitahuan tentang diadakannya demo gabungan mahasiswa dan buruh di seluruh Indonesia, 8 Oktober 2020.
Dia, seorang mahasiswa baru, mengikuti demo bukan hanya karena sebuah ajakan atau tuntutan dari kampus. Dia sadar, ada aspirasi rakyat yang seharusnya disampaikan dan didengar oleh dewan. Dia rela berangkat dari Purwodadi jam 9 pagi menuju ke titik kumpul demonstrasi yang berada di Semarang.
Sepanjang perjalanan dia tidak melihat tanda-tanda dari para demonstran daerah lain. Suasana jalanan sepi. Akhirnya dia sampai di titik kumpul demo yakni Pelabuhan Tanjungmas. Suasana di titik kumpul sudah sangat ramai, dipadati oleh para mahasiswa dan buruh yang serentak mengenakan baju berwarna hitam serta ber-almet kampus masing-masing.
Setelah dirasa cukup, massa mulai melakukan perjalanan pada pukul 11.00 WIB. Mereka bersama-sama melewati arteri pantura, pelabuhan, dan bandara hingga sampai ke tujuan akhir, kantor DPRD Jawa Tengah. Perjalanan ini mereka lakukan dalam beberapa gelombang agar tidak terlalu memadati jalan dan membuat kisruh.
Sayangnya, dugaan mereka meleset. Saat tiba di kantor DPRD, mereka telah dihadapkan situasi yang ricuh antara aparat dengan demonstran dari rombongan lain. Bahkan gerbang kantor telah rubuh akibat kericuhan tersebut.
Mahasiswa, massa aksi dari pelabuhan, berusaha untuk mendamaikan suasana hingga akhirnya situasi dapat dikendalikan dan orasi mulai dilakukan dalam keadaan duduk. (Orasi ini sempat didengar. Ada salah seorang anggota dewan dari Fraksi Demokrat yang keluar dan berinteraksi dengan massa.)
Dia merasa senang karena demo kali ini berjalan lancar dan tidak terjadi keributan. Selama aksi pun tak jarang mereka menyenandungkan mars mahasiswa agar semangat massa tetap terjaga. “Semoga saja hasil demo ini nantinya mendapat kesan yang baik,” pikirnya.
Situasi dan kondisi masih terkendali dengan baik sampai sekitar pukul 15.30 hingga massa menyatakan sikap dan tuntutan. Usai, massa mahasiswa pun diinstruksikan untuk mundur. Namun, belum sempat massa mahasiswa membubarkan diri, muncul segerombolan provokator yang memancing para anak-anak STM untuk menyerang aparat. Provokator-provokator itu tidak berjaket almamater, bahkan sebagian besar memiliki tato di bagian tubuhnya—dapat dipastikan mereka bukan buruh ataupun mahasiswa.
Melihat hal itu, para mahasiswa bersama-sama membuat barikade di depan aparat. Namun usaha mereka gagal dan barikade yang dibuat jebol begitu saja. Lalu situasi menjadi tidak kondusif. Puncaknya, aparat akhirnya menyerang memakai meriam air dan gas air mata.
Keadaan kacau, massa berhamburan tak tentu arah, suara teriakan dan tembakan entah-apa pun menjadi satu padu sore itu. Dia juga segera melajukan motornya, pergi menjauh dari lokasi demonstrasi untuk mengamankan diri, khawatir akan ditangkap dan dituduh sebagai provokator. Susah payah dia berusaha beranjak sejauh mungkin dari tempat kejadian. Tak jarang dia berhenti sejenak untuk mengistirahatkan mata. Maklum saja, matanya perih terkena gas air mata.
Setelah aksi itu, dia mendapat kabar bahwa beberapa kawan satu kampus ikut tertangkap bersama para mahasiswa kampus lain dan juga anak STM. Di antaranya ada yang sempat dikabarkan menghilang alias tidak ditemukan keberadaannya. Dia bingung, sebab salah seorang teman perjalanannya juga tertangkap.
Akhirnya dia memutuskan untuk meminta bantuan dari LBH setempat. Syukur ia panjatkan karena temannya berhasil bebas dari kantor polisi sekitar pukul 2 dini hari. Beberapa kawan yang sempat menghilang juga satu per satu mulai ditemukan. Saat berada di kantor polisi, dia melihat banyak sekali anak STM yang tertangkap. Dia juga mendapat informasi bahwa yang tertangkap 260 orang—200 lebih pelajar STM, sisanya mahasiswa.
Pikirannya sempat bekerja, “Andai saja gerombolan provokator itu tidak datang pasti demo tidak akan berakhir seperti ini.” Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Begitu pula dengan pemberitaan yang muncul setelah aksi.
Banyak yang menyalahkan mahasiswa, mereka berkata bahwa peserta demo kali ini anarkis, tidak berperilaku baik, hanya bisa merusak fasilitas negara, dan ujaran-ujaran kebencian lainnya. Dia tidak menyalahkan opini masyarakat yang beranggapan seperti itu. Pasalnya, memang media massa dari mulai koran hingga TV hanya menampilkan cuplikan dari kejadian demo, dengan judul-judul yang menyudutkan posisi mahasiswa.
“Cih!” miris dia melihat ketidakadilan di negeri ini. Mahasiswa turun ke jalan demi harkat martabat rakyat, memperjuangkan suara rakyat, dengan keringat bercucuran, suara habis tak tersisa, bahkan ada sebagian yang harus berlumuran darah. Bukannya dibela, mahasiswa kembali disalahkan atas apa yang tidak mereka perbuat.
Sesederhana ini dibuat kecewa oleh negeri sendiri.
Kisah dari temanku, seorang mahasiswa baru.