Di pelosok desa yang terik dan terkepung perkebunan sawit, seorang petani hutan konservasi urun gagasan dan harapan. Suara lantang di tengah ancaman nyalang mafia tanah.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon cempedak yang sedang berbuah. Salah satu komoditas unggulan bagi Kelompok Tani Hutan konservasi (KTHK) mitra Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Menjelang tengah hari, tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI tiba di Kuta Buluh Simalem (25/09/2023). Sebuah kampung paling ujung di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang. Permukiman terakhir sebelum masuk lebih dalam menuju kebun Hatuaon Pasaribu (58), narasumber perwakilan Kelompok Tani Hutan Konservasi binaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Letaknya memang seperti di antah-berantah. Enam puluh sembilan kilometer dari Stabat, ibu kota Kabupaten Langkat. Tujuh belas kilometer dari Jalan Lintas Medan—Banda Aceh. Satu setengah kilometer dari kantor Resor Sekoci TNGL. Terik. Berdebu. Jauh dari mana pun. Jika tidak memperbesar tampilan peta di layar gawai, lokasi kampung berpenghuni sekitar 50-an kepala keluarga ini tidak akan terlihat. Akses jalan hanya berupa makadam. Tanah yang akan licin dan berlumpur kala hujan. 

Ardi, sopir dari Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III, menepikan mobil di depan sebuah warung kopi. Dekat pertigaan gerbang masuk kampung. Tidak ramai. Hanya segelintir pria sedang mengobrol dan merokok. Matanya menatap ke arah kami. Nuansa tatapan yang sama dengan penjaga pos jaga sebelum kampung. Seolah penuh tanya, mau apa lagi mobil dinas double cabin milik taman nasional datang ke tempat ini? 

Sebagai penumpang paling depan, saya berniat turun lebih dahulu. Sembari membawa kamera yang saya gantungkan di leher. Baru hendak membuka pintu, Deta, fotografer Arah Singgah 2023 menyergah, “Kameranya taruh di mobil aja, Pak! Biar nggak terkesan intimidatif.”

Seketika saya tersadar. Area Resor Sekoci masih berselimut ketegangan. Pihak taman nasional sedang mengumpulkan bukti untuk menangkap Hasan Sitepu, residivis perambahan hutan merangkap mafia tanah. Informasi tersebut kami dapat paginya saat wawancara Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip di ruang kerjanya. Tak heran bila Deta, yang sudah kadung pakai kaus hitam #KawanLeuser, diminta ganti pakaian yang lebih netral. Buat jaga-jaga.

Saat berangkat, satu-satunya jaminan keamanan kunjungan waktu itu adalah Ardi karena mengenakan seragam pegawai beratribut TNGL. Kami sepakat turun hanya membawa satu action cam dan ponsel saja.

Di muka warung, Pak Pasaribu—begitu kami memanggil—menyambut dengan senyum terlebar yang ia punya. Tangan kami dijabat erat. Di balik kemeja biru dan celana bahan berwarna senada, badannya terbilang tegap dan kekar untuk orang seusianya. Bola matanya memerah tanda kurang tidur, menyiratkan manis getir menyintas masa-masa sulit di masa lalu. Siang itu Pak Pasaribu punya peran tak kalah penting selain menjadi narasumber, yaitu menghadirkan tambahan rasa aman.

Kami juga menyapa beberapa warga yang sedang ngopi. Salah satunya seorang Bapa Tua yang dipanggil Bolang. Dia adalah generasi kedua penghuni kampung yang telah dibuka sejak 1980-an. Kebanyakan penduduk beretnis Batak Karo. Keberadaan kampung ini sebenarnya belum pernah terekam resmi dalam catatan sipil mana pun.

“Ayo, duduk dulu. Mau pesan apa? Teh? Kopi?” tawar Pak Pasaribu. Ia mengajak beristirahat sebentar sebelum menengok kebun. 

Tidak lama, tiga cangkir cappuccino instan terhidang untuk saya, Deta, dan Ardi. Mauren, ketua ekspedisi, memilih minum air mineral di botol yang ia bawa. Pak Pasaribu setali tiga uang, “Saya gelas air putih saja.”

Di tengah obrolan, kopi panas itu saya lihat berulang-ulang. Mengingat situasi terkini yang belum terlalu kondusif, tiba-tiba sempat terlintas pikiran macam-macam. Dahulu Kerajaan Haru, yang didirikan oleh orang Batak etnis Karo pada abad ke-13, selalu membawa panah beracun ke hutan untuk perlindungan diri dari ancaman serangan apa pun. Namun, saya berusaha tenang dan memilih pasrah apa pun yang terjadi.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Mengikuti Pak Pasaribu menuju sebuah puncak bukit. Dia ingin menunjukkan kepada TelusuRI kawasan yang dulunya hutan berubah menjadi lahan perkebunan. Kami harus berjalan kaki karena jalur seperti ini tidak memungkinkan dilewati dengan kendaraan roda empat/Rifqy Faiza Rahman

16.000 hektare hutan yang hilang

Sejak tahun 1980-an, telah terjadi perambahan besar-besaran di Besitang. Kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan monokultur. Mayoritas ditanam rambung (karet) dan kelapa sawit. Pak Pasaribu sempat menyebut satu-dua nama perusahaan besar yang eksis pada masa Orde Baru. Bersama warga lainnya, ia pun dulunya sempat diajak berladang.

Ladang milik Pak Pasaribu terletak sekitar satu kilometer ke arah barat daya dari kampung. Aksesnya cukup sulit jika hanya naik mobil berpenggerak tunggal. Selain itu sinyal seluler nyaris hampa. Jika tidak bersama orang lokal, berjalan sendirian hanya mengandalkan Google Maps adalah langkah konyol. Ardi saja tidak tahu lokasi persisnya.

Untuk itulah Pak Pasaribu memandu di depan dengan motor bebeknya. Sesekali ia nyaris terjatuh karena ban selip di antara kerikil. Agak waswas juga melihat helm yang melindungi kepalanya tidak “klik”. Namun, kami baru akan mampir ke kebunnya nanti. Kami terus melaju sekitar 100—200 meter lagi sampai berhenti di persimpangan. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Tak ada akses lagi untuk mobil.

Seperti janjinya di awal, pria asal Padang Sidempuan itu mengajak kami ke suatu tempat sebelum sesi wawancara. Tentu peluh mengucur deras karena harus berjalan hampir satu kilometer di siang bolong. Menyusuri jalan setapak berupa tanah dengan kontur agak menanjak.

Jalur yang kami lalui sejatinya masuk zona pemanfaatan kawasan konservasi TNGL. Namun, sejauh mata memandang nyaris tak ada secuil pun jejak vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah sebagaimana mestinya. Kebanyakan sudah ditanam rambung dan kelapa sawit. Satu-satunya tanda yang menggembirakan adalah satu aliran sungai kecil berair jernih dengan debit kecil.

“Ini termasuk daerah-daerah yang sudah kritislah. Namun, tetap diupayakan bagaimana merehabilitasinya untuk penanaman kembali dengan tanaman-tanaman yang mendukung penghijauan,” terang Pak Pasaribu.

Tujuan kami adalah sebuah puncak dari punggungan bukit terbuka. Hanya semak belukar dengan tanah keras. Tanpa naungan teduh. Kalau tidak pakai topi, panasnya bikin sakit kepala. Di titik inilah Pak Pasaribu benar-benar berhenti. Tangannya menunjuk ke segala arah. Pak Pasaribu benar. Pemandangan menyedihkan itu terhampar jelas di depan mata.

“Dulu hutan ini lebat sekali. Jadi, [waktu] baru-baru kami kemari itu tumbuhnya [pohon] masih nampak. Itu besar-besar sekali. Kayunya masih banyak, tapi sekarang sudah berganti. Ada rambung, ada sawit. Ada yang belum ditanam, ada yang baru digarap, ada yang sedang ditanam,” jelasnya.

Kami bisa membayangkan perubahan itu dalam lorong waktu di pikiran. Padahal sebenarnya kawasan ini terlarang untuk penanaman kelapa sawit, karena mengganggu kelestarian hutan.

“Ini berarti dekat sama Gunung Leuser, Pak?” tanya saya.

“Oh, Gunung Leusernya ke sana lagi. Itu, yang nampak hijau-biru itu.” Nun jauh ke arah barat, memang terlihat gugusan pegunungan memanjang berpayung awan. Leuser hanyalah satu dari banyak puncak gunung di taman nasional ini. Ada Gunung Bandahara, Perkison, Loser, hingga Puncak Tanpa Nama.

“Tapi yang mengalami perusakan inilah antara lain. Kira-kira arealnya [yang rusak] ini 16.000 hektare lebih. Nah, kalau bapak-bapak tengok arah sini termasuk yang sudah gundul juga,” lanjut Pak Pasaribu mengarahkan telunjuk ke arah awal kami jalan kaki, “nah, kan? [Ada] tanaman sawit, bekas kebakaran.”

Saya agak terkejut mendengar Pak Pasaribu menyebut angka yang relatif spesifik. Sekitar 16.000 hektare hutan berarti lenyap tak berbekas. Bukan jumlah yang sedikit. Itu sudah hampir delapan persen dari total kawasan konservasi seluas 205.355,12 hektare yang diampu BPTN Wilayah III di Sumatra Utara.

Bahkan beberapa waktu lalu sempat berkembang wacana pembukaan perkebunan sawit mencapai 16.000 hektare. Menutupi lahan bekas hutan konservasi. Kata Pak Pasaribu, “Kita bayangkan kalau sampai ditanam sawit lagi ini 16.000 hektare, mau apa jadinya hutan ini?

Terdegradasinya 16.000 hektare area hutan hujan tropis dataran rendah di wilayah Besitang ternyata juga disebut Wiratno, Kepala Balai TNGL periode 2005—2007, dalam bukunya Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser: Tangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser (2013). Wiratno menyebut eksploitasi berupa pembalakan liar dan perambahan hutan untuk perkebunan karet dan sawit sebagai biang kerok terbesar kerusakan kronis lahan konservasi Leuser. Alih fungsi ke sawit bisa dibilang juga telah mengubah drastis lanskap Sumatra.

Edi Purwanto, direktur program dan ketua tim peneliti Tropenbos International Indonesia, memberi analisis tambahan. Dalam laporan Strategi Anti-Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatra: Menuju Paradigma Baru (2016) yang didukung UNESCO dan KLHK, perambahan kawasan Besitang menjadi makin parah setelah kedatangan pengungsi Aceh akibat konflik bersenjata antara TNI dan GAM sepanjang akhir 1990-an. Mereka membuat permukiman baru di sejumlah desa, yaitu Sekoci, Sei Minyak, Barak Induk, Damar Hitam, dan lainnya.

Para pengungsi Aceh menebang hutan dan membudidayakan lahan di kawasan Besitang. Penguasaan lahan tersebut ikut menarik para spekulan tanah dalam skala beragam. Besitang menjadi kawasan “jual beli” lahan yang dikendalikan oleh preman dan cukong dari Langkat, Binjai, dan Medan. Mafia tanah itu memanfaatkan keberadaan pengungsi Aceh sebagai “tameng” untuk memperluas lahan perambahan mereka. Belum lagi bermunculan aksi cari perhatian para politikus oportunis setempat, Mereka berupaya memperoleh dukungan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif. Akibatnya perusakan hutan terus “dipelihara” karena menjadi sumber mata pencaharian penduduk.

Di masa kepemimpinan Wiratno, TNGL telah melakukan berbagai tindakan penegakan hukum secara represif walau kurang berhasil. Justru tindakan tersebut memperkuat resistensi dan militansi perambah terhadap staf, polisi hutan atau ranger taman nasional. Upaya relokasi dari wilayah konservasi Besitang pun berlangsung alot. Ditambah ulah perusahaan perkebunan yang beraktivitas secara ilegal—selain karet dan sawit juga terdapat cokelat dan tanaman kering lainnya—oknum aparat kepolisian maupun militer, pejabat lintas pemerintahan, bahkan internal TNGL di masa lampau juga ikut bermain di lahan basah tersebut. 

Salah satu puncak konfliknya terjadi pada Juni 2011, ketika kantor Resor Sekoci TNGL dirusak dan dibakar kelompok perambah. TNGL seperti berjalan sendirian. Otoritas dan kontrol TNGL atas kawasan ditekan dari segala arah, yang selalu mengangkat isu hak asasi manusia. Untuk beberapa lama kantor resor dibiarkan kosong dan tidak ada kunjungan kawasan dari TNGL karena alasan keamanan. Jejak kantor resor lama yang hangus masih ada sampai sekarang. Namun, kantor resor baru pun saat ini sedang dalam “pendudukan” kelompok perambah dan mafia tanah. TNGL menengarai Hasan Sitepu sebagai dalang di baliknya. 

Dari konflik horizontal yang belum sepenuhnya tuntas tersebut, pihak KLHK kemudian melakukan evaluasi dan menggunakan pendekatan berbeda. Ketika Wiratno dilantik menjadi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) tahun 2017, ia meluncurkan program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai jalan tengah. Tujuannya menghambat perambahan dan memulihkan hutan dengan mengajak petani berbudidaya tanaman nonkayu. Program ini selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya dan Ekosistem Nomor: P.6/KSDAE/SET/Kum.1/62018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 

Skema perhutanan sosial tersebut merangkul masyarakat—di antaranya eks perambah dan pembalak liar—agar tetap dapat manfaat ekonomi sekaligus berkontribusi dalam upaya konservasi. TNGL menunjuk sebuah organisasi nirlaba, yaitu Yayasan PETAI (Pesona Alam Tropis Indonesia) untuk tugas pendampingan kemitraan, menyuplai bibit tanaman produktif, seperti rambutan, petai, jengkol, durian, dan tanaman-tanaman rakyat lainnya yang mendukung kelestarian hutan dan pemulihan ekosistem. Pada acara Kongres Petani di kantor Resor Sekoci TNGL (23/02/2018), Wiratno menyerahkan bibit pohon secara simbolis kepada Hasan Sitepu, yang waktu itu menjadi perwakilan belasan KTHK baru di kawasan Besitang.

Berdasarkan keterangan Pak Pasaribu, dari 16 KTHK di Besitang dengan total cakupan lahan mencapai 996 hektare, saat ini tinggal 11 kelompok yang aktif. Dari raut wajah dan nada bicara selama mengobrol bersama TelusuRI, tampaknya jalan menuju cita-cita mulia KTHK masih jauh panggang dari api.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pemandangan lahan terbuka yang dahulu merupakan hutan konservasi nan lebat. lalu terkikis karena perambahan ilegal. Tampak di kejauhan pegunungan yang juga termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sedang tertutup awan/Rifqy Faiza Rahman

Bertani untuk ekonomi dan konservasi

Pak Pasaribu tergabung dalam KTHK Sejahtera yang beranggotakan 39 orang petani (setara dengan 39 kepala keluarga). Saat ini ia didapuk sebagai ketua kelompok. Setiap anggota memiliki jatah lahan garapan maksimal dua hektare; yang berarti dua hektare tersebut menghidupi satu keluarga petani.

Setelah kurang lebih lima tahun berjalan, dengan segala kekurangan dan kelebihan, Pak Pasaribu termasuk satu dari beberapa orang yang masih memiliki komitmen dan harapan kuat sebagai petani mitra taman nasional.

Keterlibatan Pak Pasaribu sejak awal KTHK berdiri tidak didapatkan dalam waktu singkat. Sebelum benar-benar terjun menjadi petani, jejak kariernya diisi sebagai pegawai honorer di departemen pekerjaan umum hingga tenaga pengajar SMP dan SMA di Stabat.

“Tapi niat untuk bertani tetap ada, mungkin karena [saya] anak petani,” katanya. Di pekarangan rumah ia mencoba menanam pisang dan cabai rawit. Begitu mendapat hasil bagus dan pada saat bersamaan sedang jenuh jadi guru, timbul hasrat untuk mengembangkan lahan yang lebih luas.

Sampai akhirnya seorang kawan membawanya ke pedalaman hutan Besitang. Dahulu si kawan mengatakan jika lahan-lahan hutan di sana adalah tanah datuk (Kedatukan Besitang) atau tanah adat. Dalam benak awam Pak Pasaribu, lahan yang berstatus tanah adat bisa dimiliki. Ia kepincut dan membeli sepetak lahan untuk bertani.

“Berladanglah saya. Tanam ubi dulu, kemudian tanam jeruk lemon dan seterusnya,” katanya.

Pak Pasaribu lumayan lama berladang tanpa menyadari status resmi dari lahan garapannya. Tahun 2016, di tengah dinamika alih fungsi lahan yang kian marak saat itu, ditambah sosialisasi dan edukasi yang gencar dilakukan TNGL, Pak Pasaribu akhirnya menyadari sesuatu. Ladang yang ia tanam rupanya bukan tanah adat, melainkan kawasan TNGL.

“Kalau saya bilang, saya diotoi (ditipu),” kenangnya sambil tersenyum kecut. Ia berseloroh jika dahulu kena ajaran sesat. Pemikiran yang menganggap seluruh lahan adalah tanah adat memang lazim menjangkit masyarakat saat itu. Menimbulkan salah persepsi terhadap keberadaan hutan dan fungsi taman nasional.

Mengetahui kenyataan itu dia memilih tidak mundur. Ia justru tetap menjaga ladangnya dan ingin terlibat dalam pelestarian hutan. “Maka kita teruskan menanam pohon-pohon. Mulai dari jengkol, aren, petai, durian, dan semua [komoditas] yang mendukung lingkungan hidup,” tuturnya.

Pak Pasaribu mengaku keputusannya tersebut karena termotivasi dengan istrinya, Hati Situmorang (56). Sang istri adalah guru sekaligus aktivis lingkungan hidup di sebuah sekolah di Sunggal, Deli Serdang, yang juga memiliki program sekolah adiwiyata mandiri.

Ia sering diajak istrinya belanja bibit tanaman buah-buahan, yang lalu menginspirasinya menanam pohon rambutan di ladang. Melengkapi komoditas lain yang sudah ditanam, seperti jengkol dan durian. Kami sempat mencicipi rambutan binjai legit yang diambil dari kebun milik teman Pak Pasaribu, tempat wawancara pertama dekat puncak bukit.

Para petani KTHK memang tidak bisa sembarangan menentukan komoditas yang akan ditanam. Terlebih kondisi lahan yang ada sudah terbilang kritis, sehingga perlu menanam komoditas yang mendukung pemulihan ekosistem.

“Nah, sebenarnya yang sedang [kita] tanam ini menuju rehabilitasi, karena [membudidayakan] tanaman-tanaman MPTS (Multi-Purpose Tree Species). Tanaman MPTS [adalah] tanaman yang mendukung kepada [manfaat] kehutanan. Ada petai, ada jengkol, ada durian. Itu yang sedang tumbuh,” jelas Pak Pasaribu menyebut tanaman yang juga ditanam di ladangnya sendiri. 

Jengkol termasuk salah satu komoditas yang cukup menguntungkan. Harga jual per kilogram berkisar Rp12.000—15.000. Dalam satu kali panen, Pak Pasaribu bisa menghasilkan satu kuintal jengkol. Tergantung jumlah pohon yang tersedia untuk dipanen. Tanaman keluarga polong-polongan asli Asia Tenggara ini tidak memerlukan perawatan intensif. Dibiarkan saja sudah tumbuh sendiri dengan subur.

Kami juga melihat tanaman-tanaman musiman lainnya, seperti cempedak, matoa, dan kelapa. Selain memang dianjurkan, Pak Pasaribu menganggap tanaman buah mirip nangka itu bernilai ekonomi cukup bagus.

Sebagai selingan menunggu panen tanaman musiman, Pak Pasaribu dan anggotanya menanam tanaman pendek (tahunan). Mulai dari sayur-sayuran, seperti cabai dan terong; sampai dengan buah-buahan macam pisang dan buah naga.

“Memang masih satu tahun ini [sebagian tanaman] mulai berbuah. Walaupun belum banyak, tapi sudah nampaklah hasilnya. Paling tidak ratusan kilo sudah bisalah panen,” terang Pak Pasaribu.

Di balik peluang besar ekonomi dari bertani, masih terdapat sejumlah kendala berkaitan dengan sarana dan prasarana pertanian. Salah satunya persoalan pupuk.

“Pertanian di sini agak unik, khususnya tanaman jangka pendek (tanaman palawija). Asam tanahnya sangat tinggi. Jadi yang namanya pupuk, kalau bisa di sini jangan pupuk kimia memang. Organik di sini. Tetapi kadangkala di situlah keterbatasan masyarakat [mengakses pupuk organik],” jelas Pak Pasaribu.

Kendala pupuk tersebut berpengaruh signifikan pada beberapa komoditas, misalnya jeruk manis. Meskipun bernilai ekonomi tinggi, tetapi pengembangannya terhambat karena biaya produksi (harga pupuk dan pestisida) kerap tak sebanding dengan harga jual. Budidaya jeruk manis memang membutuhkan perawatan intensif, terutama pemupukan serta penanganan hama dan penyakit.

Mewakili kelompoknya, Pak Pasaribu berharap ada tambahan pendampingan berkala kepada para petani yang masih mengalami ketertinggalan. Diadakan penyuluhan mengenai teknik budidaya hingga dukungan modal kerja—berupa suplai bibit, pupuk, obat, dan sarana produksi lainnya. Diberikan edukasi tentang pentingnya lingkungan hidup. Tujuannya semata agar tidak sampai kembali mencari penghidupan menjadi petani sawit.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon aren yang dibudidayakan di kebun Pak Pasaribu. Berangan-angan untuk ditata lebih baik karena potensial dari segi ekonomi dan lingkungan/Deta Widyananda

Potensi aren dan wacana agrowisata

Di antara tanaman-tanaman nonkayu bernilai ekonomi tinggi yang ditanam KTHK Sejahtera, ada satu komoditas yang dianggap Pak Pasaribu sangat prospek untuk digarap lebih serius: aren.

Dengan berapi-api ia berujar, “Aren itu akan menjadi suatu aset yang luar biasa. Ekonominya luar biasa. Satu pohon aren itu bisa, bahkan melebihi hasil dari satu hektare sawit!”

Aren atau enau merupakan komoditas yang paling diimpikan Pak Pasaribu untuk bisa berkembang. Alasannya hampir seluruh bagian aren bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang terbuang sia-sia. Tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga fungsi lingkungan. Sudah banyak riset membuktikan kehebatan tanaman palma serbaguna itu.

Salah satunya penelitian Yuldiati dkk. (2016) dalam Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pemanfaatan Pohon Enau di Desa Siberakun Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi (2016). Fungsi penting  aren untuk ekologis terletak pada akarnya. Akar serabut aren sangat kokoh, dalam, dan kuat sehingga bisa menjadi penahan erosi tanah. Selain itu akar aren juga mampu mengikat air. Terlebih, seperti Pak Pasaribu bilang, kawasan garapan KTHK memang rawan erosi.

Manfaat yang didapat dari produksi aren lebih banyak lagi. Menurut Mody Lempang dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar, seperti dikutip dari jurnal Info Teknis EBONI Vol. 9 No. 1 edisi Oktober 2012, aren bisa menghasilkan buah, nira, dan tepung bernilai ekonomi tinggi untuk kebutuhan tradisional maupun industri. 

Pak Pasaribu tidak mengada-ada. Menanam aren selaras dengan misi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan.

Bahkan ia sudah membayangkan produk-produk turunan yang bisa dihasilkan dari aren. Contoh paling gampang membuat gula merah yang nantinya diolah menjadi gula semut. Menurutnya gula semut jauh lebih sehat sehingga bisa mengganti gula putih—penyebab diabetes. Katanya juga, orang-orang sekarang kalau ngopi juga sudah pakai gula merah.

“[Selain gula semut] sekarang aren ini juga sudah bisa diproduksi jadi biogas. Berarti bisa jadi untuk minyak (sumber energi alternatif). Nanti bisa dikembangkan [karena] sangat bagus sekali,” urai Pak Pasaribu seperti sedang presentasi di depan investor.

Tak main-main. Ia sudah melakukan kalkulasi. Misalnya, satu hektare terdapat 50 pohon aren. Satu pohon bisa menghasilkan tiga liter nira per hari. Berarti ada 150 liter yang bisa diolah menjadi 75 kilogram gula merah.

Saat ini terdapat kurang lebih 10.000 pohon aren. Tersebar di beberapa petak lahan yang digarap KTHK Sejahtera dan kelompok lainnya. Rata-rata masih pendek. Berarti ada potensi bahan baku 30.000 liter nira untuk 15 ton gula merah dalam satu hari. 

Optimisme Pak Pasaribu menanam satu juta pohon aren bukan bualan. Apabila ada investor diperbolehkan masuk mengembangkan aren—sebagai tanaman selingan saja, bukan fokus membuat perkebunan besar—tentu akan lebih banyak yang dihasilkan.

“Berapa tenaga kerja yang bisa diserap? Kemudian berapa dana yang bisa disuplai untuk pemerintah daerah? Nah, ini sampai sekarang pemerintah daerah belum memberikan pikiran ke situ.” Ia bahkan berharap “proposalnya” sampai ke meja direktur jenderal KSDAE atau bahkan menteri kehutanan, agar bisa melihat potensi aren tersebut.

Mimpi Pak Pasaribu tidak berhenti di aren. Ia membayangkan dalam lima tahun ke depan area lahan yang digarap KTHK bisa sekaligus menjadi daya tarik ekowisata, khususnya agrowisata buah. “Segala macam buah akan ada di sini. Jadi di TNGL, khususnya di hutan konservasi ini, biarlah boleh dikenal dengan kawasan buah,” pikirnya.

Secara pribadi, ia bahkan terang-terangan berharap bisa menjadikan hutan tersebut menjadi tempat favorit yang dikunjungi banyak orang. Menggusur rambung dan sawit—yang kini masih tumbuh semrawut—untuk didirikan pondok-pondok istirahat. Berwisata menyaksikan alam sambil menikmati buah. Mulai dari rambutan, cempedak, buah naga, durian, jeruk manis, alpukat, sirsak, dan banyak lagi. 

Rencana Pak Pasaribu tersebut sudah disampaikan kepada kepala bidang (kabid)—Kepala BPTN Wilayah III TNGL. Ia pun mengusulkan permohonan bibit-bibit buah yang akan ditanam. Usulnya direspons positif. Kabid membantu dengan menurunkan bibit-bibit yang diminta dan secara bertahap sudah kembali ditanam oleh masyarakat.

Angan-angan Pak Pasaribu terhadap budidaya aren dan agrowisata memang masih meniti jalan panjang. Satu suara optimistis tak akan berarti apa-apa tanpa sumbangan suara senada lainnya. Sebelum memulai, meminjam pernyataan Pak Pasaribu, semuanya memerlukan standar tata kelola dan keteraturan. Perlu sinergi satu sama lain. Ulah-ulah culas mafia bisa membuyarkan impian besar itu.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Di tengah ladang kacang tanah, Pak Pasaribu menunjukkan hasil panen jengkol (kiri) dan rambutan. Keragaman komoditas bisa menjadi nilai tambah petani KTHK/Deta Widyananda

Melawan tekanan sawit dan mafia tanah

Semangat yang diusung dalam skema kemitraan KTHK sebenarnya baik. Skema ini jadi titik temu antara upaya peningkatan ekonomi masyarakat dan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi. Lahan-lahan yang dulunya rusak bisa perlahan kembali hijau, sementara masyarakat juga mendapatkan hasil dari panen jengkol, kacang tanah, petai, durian, aren, dan lain sebagainya.

Konsep seperti itu tentu akan saling menguntungkan. TNGL tidak perlu repot-repot melakukan sosialisasi atau penegakan hukum berulang ketika masyarakat memiliki komitmen. Namun, tantangan program ini tidak sepele. Dalam praktiknya ternyata sulit mewujudkan tujuan ideal tersebut.

Pola pikir dan orientasi hidup setiap orang berbeda-beda. Tidak semua anggota KTHK mau “bersabar” menjalani proses yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Akibatnya, visi utama KTHK itu sendiri tidak akan bisa terwujud. Belum lagi petani-petani “liar” yang menggarap lahan secara ilegal di luar skema kemitraan. 

Pak Pasaribu menyampaikan pandangan kritisnya kepada kami, “Sebenarnya kenapa tidak bisa tercapai visi, itu tadi, karena terpengaruh dari orang yang punya kepentingan. Jadi, apa kepentingan orang di sini? Kepentingan orang tertentu, mengutak-atik lahan orang supaya bisa [dilakukan] jual beli. Contoh, lahanku diambil kemudian dijual. Bila perlu dijual lagi. Nah, itulah saya bilang yang perlu ditertibkan.”

Baginya praktik-praktik mafia tanah itu harus dihapuskan. Sebab seringkali petani di sini seperti tidak ada kepastian. Mereka punya lahan, tetapi bisa dalam sekejap diserobot orang dan diperjualbelikan.

Perbedaan persepsi dan kesenjangan kesadaran antarpetani anggota KTHK ini diakui oleh Palber Turnip. Ia menilai beberapa di antara mereka lebih memiliki keinginan untuk menguasai lahan daripada membantu program konservasi.

“Dia penginnya [lahan yang ada] dijadikan kebun sawit, karena memang sawit ini kan produk yang menggiurkan. Tidak susah untuk dirawat, bisa produksi sampai 25 tahun, per dua minggu bisa panen. Dan ini menjadi komoditas yang diminati pelaku-pelaku usaha, ya, mafia-mafia begitu,” terang pria yang mengawali karier sebagai polisi hutan itu. 

Andai Ada Seribu Pasaribu
Tampak aliran sungai membelah lahan perkebunan yang dikelola petani KTHK mitra Taman Nasional Gunung Leuser. Sampai kini masih ada oknum yang melakukan praktik jual beli lahan ilegal dan sedang ditangani TNGL/Deta Widyananda

Turnip, sapaannya, memperkirakan tidak lebih dari 25% dari keseluruhan anggota KTHK yang masih komit dalam KTHK. Termasuk Pak Pasaribu dan beberapa orang lainnya dari 11 kelompok aktif tersisa. Di sisi lain jauh lebih banyak yang tidak taat pada ketentuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara TNGL dan KTHK di awal program.

Sebagai tindak lanjut, ia bersama jajaran TNGL akan mengevaluasi kelangsungan KTHK setelah lima tahun ini berjalan. Salah satu poin mekanismenya, anggota yang tidak menaati PKS akan dikeluarkan dari program sehingga keberadaan mereka menjadi ilegal. Penegakan hukum pun berlaku.

Salah satu anggota KTHK yang paling menonjol untuk urusan mengangkangi hukum adalah Hasan Sitepu. Penduduk setempat yang dianggap tokoh masyarakat. Saat ini ia bak penjajah, karena menduduki kantor Resor Sekoci dan menanam dua hektar pepaya di sekitarnya tanpa izin.

Ada tindakan kriminal lainnya dari Hasan yang dibeber Turnip, “Dia sekarang aktif menjual beli lahan itu dengan modus biaya imas—pekerjaan memotong semak dan pohon kecil di permukaan tanah. Ada yang dia jual 15 juta per kavling [per dua hektare], ada yang 10 juta, ada bahkan yang 40 juta untuk 50 hektare itu.”

“Kalau rekan-rekan [TelusuRI] nanti bisa bertemu Hasan, dia selalu ngomong itu [jual beli lahan] demi rakyat,” tambah pria kelahiran Pematang Siantar itu. Jejaringnya memang tak main-main. Mulai level pengusaha hingga sejumlah kementerian yang membonceng investor asal Mesir. Mereka tak sadar jika sedang ditipu Hasan.

Sampai sekarang Turnip dan jajarannya sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkap Hasan. Di antaranya keterangan sejumlah korban yang diperdaya Hasan, mengambil beberapa kuitansi transaksi hingga akta jual beli sebagai bahan untuk proses hukum.

Langkah konkret Turnip dan petugas TNGL di bidang penegakan hukum tersebut sejatinya menjadi modal penting. Jaminan keberlangsungan para petani yang taat aturan. Seperti Pak Pasaribu, John Hendri, dan anggota lainnya. Itu menunjukkan komitmen pemangku kawasan dalam melibatkan masyarakat sebagai aktor utama pendukung konservasi.

Pak Pasaribu menaruh harapan lebih kepada pihak berwenang. Ia memandang akan sulit memberantas permainan mafia jika hanya mengandalkan personel internal TNGL. Ia berharap agar ada koordinasi intensif antarinstansi, khususnya bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK baik di Sumatra maupun pusat.

Baginya penegakan hukum juga memiliki fungsi untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir masyarakat. Supaya hilang anggapan lahan tersebut tidak bertuan sampai harus ditanam komoditas yang tak semestinya.

Di sisi lain Pak Pasaribu juga berharap kawan-kawan anggota KTHK lainnya untuk tetap memegang komitmen PKS sesuai kesepakatan. Tidak sedikit kolega yang ia kenal berubah pikiran dan berhenti di tengah jalan. Dipicu kecemburuan sosial, para petani anggota memang mudah kembali tergiur dengan uang cepat, seperti mengurus sawit atau bahkan mengekor Hasan Sitepu berdagang tanah secara ilegal. 

“Pesan saya untuk kawan-kawan, mari kita kita sama-sama jaga dan lestarikan hutan Taman Nasional Gunung Leuser ini. Saya pikir ini visi utama kita,” tutur Pak Pasaribu lugas, “kenapa? Ini [taman nasional] kan kebanggaan bangsa kita. Kebanggaan nasional.” 

Ia percaya hutan—dengan menanam jengkol, petai, rambutan, dan lainnya—akan memberikan nilai ekonomi kepada mereka. “Apalagi ini masih baru. Tanaman menghasilkan buah perdana. [Kita tunggu] dua tahun, tiga tahun, lima tahun ke depan itu, apa enggak luar biasa [hasilnya]?”

Di benak Pak Pasaribu, “Hutan ini bukan hanya [berguna] pada masa kita saja, tetapi hutan ini [juga bermanfaat] untuk generasi [setelah] kita. Kita [kelak pasti akan pergi] tinggalkan dunia ini, tetapi yang jelas kita meninggalkan suatu kehidupan di dunia.”

Ia menegaskan, kuncinya terletak pada kemauan mengubah tekad dan pola pikir agar mau melestarikan hutan. Merasa hidup cukup dengan dukungan sumber daya alam yang ada. Jika sudah begitu, tak ada tempat lagi untuk kelompok perusak macam Hasan Sitepu dan anak buahnya. Orang-orang yang tak akan tunduk pada alam. Orang-orang yang mengisi hidup hanya untuk uang.

Titipan untuk Jakarta

“Saya pun sebenarnya lama menunggu [momen] seperti ini [berbicara ke media]. Kenapa? Kesempatan saya akan menceritakan [kondisi di sini],” kata Pak Pasaribu.

Bisa dibilang Pak Pasaribu hanyalah sedikit orang di KTHK, khususnya wilayah Besitang, yang masih lantang menyuarakan keadaan lingkungan, sosial, dan ekonomi terkini. Pak Pasaribu tak gentar dengan keberadaan preman atau mafia tanah. Namun, ia tetap perlu dukungan lebih dari pemerintah daerah—kabupaten maupun provinsi—dan pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di mata Pak Pasaribu, Jakarta adalah tempat pejabat-pejabat tinggi yang diharapkan merawat payung harapan rakyatnya. Rakyat yang bertekad kuat mendukung pelestarian hutan sebagai anggota KTHK. 

Sebelumnya, bapak tiga anak itu mengaku sempat berencana pergi ke ibu kota. “Kalau saya punya dana, ada donatur, saya akan berangkat sendiri ke Jakarta. Bicara sama pejabat tinggi di sana, supaya memerhatikan kami.”

Keinginan Pak Pasaribu tersebut bukan tanpa alasan. Gamblang ia menyebut petani KTHK—yang berkomitmen tinggi—belum sepenuhnya berdaya. Tidak sedikit yang menganggap mereka sebagai orang bodoh karena tidak ikut menanam sawit. “Jadi, kita ini [seperti] orang yang tidak perlu uang begitu. Padahal yang kita lihat bukan hanya uang saja, tapi kelestarian lingkungan ini.”

Pak Pasaribu berani menggaransi jika kelompoknya siap mendukung visi utama KTHK. Mereka sudah berusaha keras meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian hutan. Ia menilai suaranya sangat penting didengar karena tidak semua petani memiliki komitmen senada. Tanpa dukungan dan komitmen bersama, harapan masyarakat sejahtera dan hutan lestari bagai pungguk merindukan bulan.

“Saya pikir itu yang sangat penting. Bila perlu kepada Bapak Dirjen, menteri atau pejabat negara. Coba kita lihatlah [sama-sama] kawasan ini. Kita sangat prihatin, Pak, melihat kawasan [hutan konservasi] seperti ini,” Pak Pasaribu menitip pesan, “jadi, mari kita sama-sama berupaya. Kami petani KTHK siap mendukung.”

Di akhir wawancara, Pak Pasaribu mengambil beberapa butir kelapa hijau dari kebunnya. Pohon kelapa itu tumbuh rendah, sehingga ia mudah menebas dan memetiknya tanpa harus memanjat. Ia memberikannya cuma-cuma untuk kami. Seolah paham betapa rasa dahaga sudah mengeringkan kerongkongan.

Kami kembali ke Kuta Buluh Simalem, tempat kami pertama berjumpa. Di pengujung waktu Pak Pasaribu sempat mengajak kami berjalan beberapa puluh meter. Melihat-lihat suasana kampung. Sementara Deta mengambil beberapa potongan foto dan video tambahan dengan kamera drone.

Udara sore yang memeluk Kuta Buluh Simalem masih gerah, meski tidak seterik beberapa jam sebelumnya. Di depan warung kopi kayu itu, kami berpisah. Berbincang untuk terakhir kali, saling menitip kabar dan doa. Dari dalam mobil, kami membalas lambaian tangan dan senyumnya. Ia bagaikan seorang kakek yang melepas kepergian cucu-cucunya ke tanah rantau.

Pak Pasaribu mungkin menyadari ide-ide besarnya sebagai petani KTHK belum akan terwujud secara ideal dalam waktu dekat. Namun, setidaknya ia lega karena sudah bercerita banyak. Menyuarakan kegelisahan sekaligus keping-keping harapan.

Andai ada Pasaribu-Pasaribu lainnya di tempat ini; yang jauh lebih pantas menjadi tokoh itu sendiri daripada seorang residivis yang ditokohkan. Andai ada lebih banyak lagi sosok seperti Hatuaon Pasaribu; yang tulus mendukung konservasi dan merindukan hijaunya hutan seperti empat dekade lalu. (*)


Foto sampul:
Hatuaon Pasaribu berbicara keresahan dan harapan petani mitra konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar